Oleh : Saiful Amin Ghofur
JEAN Couteau sewaktu berkunjung ke Bali sempat geleng-geleng kepala. Couteau mendaraskan kekaguman anomalis ketika melihat seorang pemuda membeli bensin. Saat membayar, pemuda itu bukannya merogoh saku, tapi justru membuka ritsleting dan menarik lembaran uang dari dalamnya. Kala ditanya, dia menjawab seraya mengarahkan jemari telunjuknya: dari sinilah uang meruyak tak kurang-kurang.
Ketakjuban budayawan asal Prancis itu serasa ditahbiskan kembali dalam film Cowboys in Paradise besutan Amit Virmani yang sedianya di-launching Mei ini. Sebagaimana disingkap Amit dalam situs cowboysinparadise, inspirasi film itu bermula tatkala berlibur ke Bali beberapa tahun silam dan bersua dengan seorang bocah lelaki berumur 12 tahunan. Bocah lelaki itu mengutarakan keinginan berapi-api untuk belajar bahasa Jepang. Dia terobsesi untuk menjadi gigolo yang mengangsurkan kenikmatan surgaloka bagi gadis Negeri Sakura saat besar kelak. Alamak!
Film dokumenter yang membabar lika-liku prostitusi gigolo pemuda Bali di kawasan Pantai Kuta itu tak pelak menyulut kontroversi. Bahkan, tidak sedikit warga Bali yang meradang sembari menyumpah serapah pria asal Singapura berdarah India itu. Dikhawatirkan, film tersebut akan merusak citra pariwisata Pulau Seribu Pura. Sungguhkah!?
Bali memang eksotis. Ombak yang bergulung-gulung menyuguhkan histeria permainan surfing, pesona terumbu karang di dasar lautan menyajikan keindahan olahraga diving, dan menjadi saksi matahari tenggelam di ufuk senja Pura Uluwatu sungguh melenakan mata. Maka, tak berlebihan Palguna (2006) meneguhkan kesempurnaan panorama yang tak akan pernah ditemukan kecuali di Pulau Dewata.
Hatta, sulit dimungkiri bahwa popularitas Bali di mata masyarakat internasional acap meroket tinggi ketimbang negara Indonesia. Mereka tak jarang lebih mengenal Bali namun alpa terhadap Indonesia. Sebagian mereka beranggapan bahwa Bali adalah negara tersendiri. Eksotika Bali itulah yang menjadi magnet dan menyedot ribuan turis asing untuk sekadar rehat di sana. Ibarat kembang, Bali diserbu serumpun kumbang-kumbang pemuja kenikmatan dalam beragam cungkupnya. Dan, pariwisata Bali tumbuh pesat bak cendawan di musim penghujan.
Bali pun mengalami pergulatan identitas. Bali terantuk dalam kegamangan kultural di tengah serbuan modernisasi dan globalisasi yang datang bergelombang. Tragisnya, budaya adiluhung Bali pelahan-lahan keropos, tak kuasa melawan rayuan budaya luar yang ekstrem dan cenderung permisif. Pada ruang itu pula tabir Cowboys in Paradise bisa disibak.
Cowboys in Paradise mengirim pesan betapa industri seks serta perilaku seks menyimpang sedemikian bersimaharajalela di Bali. Seks pranikah, misalnya, bagi sebagian remaja Bali, adalah gejala yang lumrah. Riset Wimpie Pangkahila pada 1981 terhadap 633 remaja (245 siswa dan 288 siswi) mengungkap 27 persen siswa dan 16 persen siswi pernah berhubungan seks sebelum nikah. Pada 1991 Hilda Sudana melakukan riset serupa terhadap 108 remaja Bali. Hasilnya cukup mencengangkan: 58 persen mengangguk setuju terhadap seks pranikah.
Industri seks di Bali pun segendang sepenarian. Meski tidak terpacak secara formal, lokalisasi terselubung kerap dijumpai. Seperti dilansir Tokoh Bacaan Wanita dan Keluarga, No 376/Th VIII, 12-18 Maret 2006: 4: di Denpasar sebaran prostitusi di balik pintu menumpu pada delapan titik. Mulai Belanjongan dan Semawang, Jalan Danau Tempe, Carik (Ubung), Gatot Subroto, serta tiga lokasi di Padanggalak dengan jumlah penjaja kenikmatan dunia sekitar 600 perempuan.
***
Adapun, kehadiran gigolo sejatinya bukan kisah usang. Pada 1988 Atmadja pernah merilis penelitian bertajuk Kiper di Pantai Lovina: Studi Sosial Budaya tentang Pria Penyedia Pelayanan Seksual di Buleleng Bali. Publikasi riset Atmadja tempo itu cukup menggemparkan. Istilah kiper merujuk pada penjaga gawang dalam sepak bola. Artinya, mereka menangkap bola-bola kenikmatan yang digiring turis bule perempuan.
Motif para kiper itu tentu saja tak terlepas dari pemenuhan budaya konsumtif. Sutrisno (2004: 232) mencatat bahwa budaya konsumtif telanjur dinobatkan sebagai bagian dari eksistensi diri. Mereka berpagut dengan semboyan, ''Saya adalah apa yang saya beli.'' Mestinya semboyan itu memintal semangat kerja keras. Namun, mereka lebih memilih solusi instan, tak peduli melabrak tatanan etika dan moral. Lebih cepat, lebih baik!
Budaya konsumtif tersebut telah mengaburkan nilai guna dan nilai simbolis. Konsumerisme sering merajuk mereka berbuat tidak berdasar pada kebutuhan, melainkan berlandas pada keinginan, sehingga mereka tak lagi selaku user, melainkan consumer. Batas antara kebutuhan dan keinginan lantas kian tipis, setipis kulit bawang. Lambat laun, budaya konsumtif akan membentuk kesadaran ideologis.
Di sisi lain, muncul hipotesis bahwa menjadi kiper adalah sebuah kebanggaan. Bukan semata-semata karena mendulang keuntungan finansial, melainkan mampu menikmati sekian banyak perempuan bule yang berasal dari berbagai negara. Selama ini memang berkembang asumsi bahwa bule memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada orang Bali. Maka, kebanggaan itu bertautan erat dengan pelampiasan rasa rendah diri tersebut sehingga terjadilah pembalikan struktur logika.
Kebanggaan itu pula yang mendenyar dari seorang lelaki yang sempat diwawancarai salah satu stasiun televisi swasta baru-baru ini. Dengan sangat ekspresif, dia mengisahkan telah meniduri tak kurang dari 600 perempuan bule sepanjang karirnya menjadi kiper. Dia memiliki 7 anak yang terpencar di mancanegara. Bahkan, sampai hari ini dia menerima sedikitnya Rp 20 juta saban wulan dari profesinya itu.
Serangkum potret buram Pulau Dewata itu memang sudah sepatutnya membuat kita mengelus dada. Bahwa ada agenda global yang diracik dengan skenario amat apik tidak semata-mata meruntuhkan citra Bali, melainkan ekspansi kolonialisme kultural baru yang justru menjadi ancaman nyata bangsa Indonesia. Dan, Cowboys in Paradise belumlah seujung kuku agenda kolonialisme kultural itu. Mengutuk Cowboys in Paradise sebagai prahara Pulau Dewata tanpa melakukan evaluasi nyata sama halnya dengan menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Ah! (*)
*) Saiful Amin Ghofur, peneliti muda MSI UII Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar