Pages - Menu

08 Maret 2010

Setelah 40 Tahun Hok-gie...

APA yang masih mungkin dihikmahkan dari sebuah buku tentang Soe Hok-gie selang 40 tahun setelah kematiannya? Pada posisi kita yang memang sudah sedemikian meneladani Hok-gie sebagai sosok yang idealis, humanis, dan moralis; tentulah tidak cukup memeriksa buku ini sebagai ikhtiar untuk semata mengingat nama Hok-gie. Tidak cukup bila diniatkan sebagai resepsi mengekalkan memori belaka. Lebih dari itu, kehendak macam apa sejatinya yang kini mendorong kita untuk menampilkan figur Hok-gie sekali lagi? Ya, tidakkah buku Catatan Seorang Demonstran (1983) tersiar masyhur buat meneladani Hok-gie sebagai ''intelektual muda yang berani, lantang, dan sekaligus romantis''?

Nah, lewat penerbitan buku yang penggarapannya dikerubut sejumlah kawan dekat dan pengagum Hok-gie ini memang tebersit suatu kehendak membikin sekaligus menegaskan sekian definisi atas Hok-gie. Setidaknya setelah sejarawan Australia John Maxwell melalui disertasi Soe Hok-gie: A Biography of Young Indonesian Intellectual (1997) mendefinisikan Hok-gie sebagai intelektual. Satu karakter yang begitu kuat dan mengakar dengan didukung pemeriksaan atas pemikiran akademik dan artikel-artikel Hok-gie. Ada skripsi sarjana muda Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 (1964), ada skripsi Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1969), termasuk kumpulan artikel Hok-gie yang tersusun dalam buku Zaman Peralihan (1995).

Satu lagi, buku Catatan Seorang Demonstran terbitan LP3ES -kali pertama dipublikasikan Yayasan Mandalawangi dengan judul Catatan Seorang Pemuda Indonesia (1972)- yang tampak menonjolkan kesan progresif Hok-gie yang aktivis. Maka, kalau mau berceletuk sebentar, kira-kira seperti apa ungkapan Hok-gie melihat energi masyarakat dan mahasiswa yang belakangan hari kerap diwarnai aksi protes? Sebagaimana dituliskan Rudy Badil (hlm. 266), mungkin sekali beginilah pernyataan pesan Hok-gie yang tertuju kepada pemangku kekuasaan, ''Jangan memancing perasaan anak-anak muda itu. Mereka anak-anak zaman sekarang yang pemarah. Mereka itu angkatan the angry young men, bukan crossboys lagi, bukan hippies juga."

***Hok-gie -dalam konteks pembahasan aktivisme gerakan mahasiswa- memang merupakan ''tipe langka'' di tengah periode kontestasi politik ideologi masa itu, persisnya pada senjakala pemerintahan Soekarno dan awal menyingsingnya kekuasaan rezim Orde Baru. Tipe langka, demikian Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006:84) mencermati aktivisme Hok-gie. Tipe langka dari eksponen gerakan mahasiswa ''Angkatan '66'' -yang sepanjang kurun sejarah pascaproklamasi sohor diidentikkan sebagai tonggak pertama ''gerakan mahasiswa sebagai gerakan (moral) politik''.

Tipikal Hok-gie itu merujuk pada rekam jejaknya yang tak menjadi bagian organisasi politik dan partai ideologis apa pun, bahkan sampai batas akhir hidupnya. Padahal, menurut Rum, masa itu ''mahasiswa Jakarta pada umumnya jauh lebih lebur sebagai bagian atau bahkan perpanjangan tangan dari kelompok-kelompok politik ideologis yang ada dalam struktur Nasakom''. Yang perlu dicatat di sini, aktivitas gerakan di era kontestasi politik ideologi tak mungkin dilepaskan dari aspek pergaulan dan kesesuaian pemikirannya. Untuk kasus Hok-gie, dia dekat dengan aktivis Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan sempat menaruh simpati ke PSI (Partai Sosialis Indonesia).

Meski demikian, Hok-gie yang nonpartisan tak larut tercemari. Contoh soal, ketika awal 1969, KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) mulai ditinggal ranjang organisasi-organisasi mahasiswa. Sejak itu, KAMI pun secara de facto telah bubar. Padahal, dua tahun sebelumnya (1967), Hok-gie sudah mengkritik virus pengaruh partai politik di tubuh KAMI yang tersuntikkan di bawah selubung ideologi. Maka, Hok-gie menyerukan supaya ''bagaimana mengurangi dan akhirnya menghapuskan pengaruh-pengaruh partai politik dalam tubuh organisasi-organisasi mahasiswa". Wajar sajalah, bagaimana mungkin sikap moral organisasi mahasiswa mampu konsekuen. Sebab kalau konsekuen, ''semang'' bakal menyerang ''induk''-nya.

Yang tak kalah krusial untuk disimak agar jadi bahan teladan pada masa gawat kini ialah pandangan Hok-gie terhadap sistem demokrasi terpimpin. Secara normatif, Hok-gie tidak menyenangi pemimpin yang justru menjadikan sistem demokrasi sebagai instrumen untuk menindas partai politik lain. Tidak juga terhadap sistem demokrasi yang direkayasa untuk memperluas ranjang kekuasaan dan otoritas politik segelintir elite. Tak ayal, Hok-gie pun lebih bersimpati kepada Sutan Sjahrir karena figurnya tulus dan jujur sehingga jarang ditemukan dalam diri pemimpin politik lain kala itu. Tidakkah ludesnya rasa tulus dan sikap jujur pemimpin begitu mencemaskan kehidupan negara-bangsa kita sekarang?

Buku yang digadang-gadang untuk menampilkan (sekali lagi) kesosokan Hok-gie ini paling cocok dicerna sebagaimana tuturan Jakob Oetama -yang mengenal Hok-gie antara 1965-1969 bersamaan dengan seringnya Hok-gie memasukkan artikel ke kantor Kompas. ''Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu, dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-gie pantas ditampilkan,'' tulisnya (hlm. xiv).

Pantas dengan cara bagaimana? Jakob menganjurkan dengan jernih akal, ''Dilakukan tidak dengan maksud mengultusindividukan, ...melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, utamanya integritas dan kebersihan hati.'' Pembaca, kita ditantang untuk itu.

Judul buku: Soe Hok-gie ...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya

Editor: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan R.

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Cetakan: Pertama, Desember 2009

Tebal: xl + 512 halaman

*) M. Lubabun Ni'am Asshibbamal S., aktivis pers mahasiswa, kuliah di Jogjakarta
Sumber www.jawapos.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar