Semua anak lahir tidak dalam kondisi ''berisi'' atau memiliki kecerdasan yang diwarisi dari orang tuanya. Anak-anak lahir dalam ruang alam pikiran kosong namun memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Sehingga apa pun mampu dipelajari oleh seorang anak tanpa mempedulikan dari latar belakang apa ia terlahir. Dengan demikian semua anak mempunyai potensi sama untuk menjadi pribadi yang sempurna atau cacat.
Pakar pendidikan anak dari Italia, Dr Alexis Carrel (1947), mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang paling kaya. Masa ini seyogianya didayagunakan dengan sebaik-baiknya. Tugas pendidik adalah memanfaatkan masa-masa awal kanak-kanak ini tanpa menyia-siakannya.
Masa kanak-kanak oleh Maria Montessori, penulis buku The Absorbent Mind ini, disebut sebagai periode emas pendidikan. Pada periode inilah semua kehidupan pribadi seseorang dimulai, dibentuk, dan diarahkan. Seorang anak akan mampu menjadi pribadi dengan kemampuan, skill, dan pengetahuan apa pun sesuai yang diharapkan, jika pada periode pendidikan awal dilakukan dengan tepat dan benar.
Maria Montessori membagi perkembangan pribadi anak dalam tiga tahapan, yakni usia 0-6, 16-12, dan 12-18 tahun. Semua periode ini saling terkait dan tidak terpisahkan. Artinya jika pendidikan pada periode awal mengalami kegagalan, bukan tidak mungkin pada periode selanjutnya juga mengalami kegagalan. Periode pertama (0-6 tahun) merupakan periode paling sensitif, masa peka, sekaligus usia emas anak dalam pendidikan.
Jika orang dewasa mempelajari sesuatu dengan kesadaran yang ia miliki mengenai apa yang diinginkan, maka berbeda dengan mentalitas yang dimiliki anak. Jika kita menyebut mentalitas dewasa sebagai sadar, maka mentalitas anak justru sebaliknya, yakni mentalitas tak sadar. Namun bukan berarti jenis mentalitas tak sadar serta-merta lebih rendah. Menurut Maria Montessori pikiran tak sadar bisa jadi paling cerdas dibandingkan dengan pikiran sadar. Anak memiliki jenis kecerdasan yang tak sadar ini, dan kecerdasan inilah yang menghasilkan kemajuan yang mengagumkan. Anak menyerap impresi-impresi pengetahuan di luar dirinya bukan dengan pikirannya namun dengan hidupnya itu sendiri (hal. 38-39).
Seorang anak akan mampu berkembang dengan baik pada tahap perkembangan selanjutnya jika tahap awal ini mampu dilalui dengan baik. Seringkali periode awal ini mengalami gangguan atau krisis yang harus dilewati. Pertama, krisis oral sensorik (mulut). Krisis ini terjadi saat bayi pada masa menyusui. Pelajaran yang dilewati adalah tumbuhnya dasar rasa percaya diri pada seorang anak. Seorang anak yang memperoleh asupan ASI secara teratur akan memiliki dasar kepercayaan diri yang kuat. Rasa dasar percaya diri anak akan melemah jika ia sering mendapati kekecewaan, misalnya kebutuhan ASI yang tidak terpenuhi. Jika krisis ini tidak mampu dilewati akan tumbuh perilaku-perilaku sepeti sinis, tidak percaya diri, pesimistis, selalu kecewa, tidak terbuka, dan selalu merasa gagal.
Kedua, krisis anal maskular (dubur) yang berlangsung pada usia 2 hingga 3 tahun. Pada masa ini anak belajar mengontrol tubuh mereka, khususnya kebersihan dan mobilitas. Latihan membuang ''hajat'' dan membersihkannya merupakan aktivitas yang sering ditemui. Namun lebih dari itu anak belajar berlari, memeluk orang tua, dan mempertahankan mainannya. Kegagalan melewati krisis ini hanya akan menjadikan seorang anak yang memiliki kepribadian seperti robot, malu-malu, peragu, penakut, selalu merasa salah, dan setiap kali itu pula meminta maaf.
Ketiga, krisis genital lokomotor yang berlangsung antara usia 3 hingga 6 tahun. Pada tahapan ini mulai memahami fisiknya, anak mulai bertanya mengapa mereka berbeda dengan lawan jenisnya. Kegagalan dalam melewati fase ini bisa berakibat fatal dalam pertumbuhan psikologisnya terutama yang terkait dengan kehidupan seksual. Seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak peka pada bidang seks, takut impoten, memikirkan yang bukan-bukan, dan kadang banyak omong namun tidak berisi. Kegagalan dalam melewati krisis ini bisa jadi gagal dalam melewati krisis berikutnya, yakni krisis atensi, keremajaan, dan kedewasaan muda.
Jika mampu melewati ketiga tahapan krisis tersebut seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi dengan kemampuan mental yang luar biasa. Pribadi yang memiliki inisiatif, penuh ide baru, optimistis, dinamis, ambisius, senang dengan hal-hal baru, produktif, dan segala predikat positif lainnya. Pendeknya, fase krisis yang mampu dilewati dengan baik akan mengantarkan seorang anak menjadi pribadi yang sempurna secara psikologis. (*)
*) Karuni Ayu Sawitri, koordinator elompok Kajian Studi Ilmu Pendidikan (KSIP) Banyuwangi
Judul: The Absorbent Mind; Pikiran yang Mudah Menyerap
Penulis: Maria Montissori
Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: xxx + 532 halaman
Sumber Jawa Pos 8 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar