Pages - Menu

10 Desember 2008

Pembiayaan Pembangunan

Beberapa waktu lalu saya diundang mengikuti seminar di Buenos Aires,Argentina,untuk berbagi saran terkait pembiayaan pembangunan.Semua peserta,selain saya,berasal dari Amerika Latin.

Tujuan seminar memang berupa upaya mencari alternatif pembiayaan pembangunan untuk Amerika Latin.Pendirian Banco del Sur (Bank Selatan) adalah sebuah contoh. Lembaga pendanaan ini menyediakan bantuan pembangunan dengan conditionalities yang lebih pas bagi kondisi negara-negara berkembang dibandingkan apa yang dipersyaratkan oleh Bank Dunia dan IMF.

Sebenarnya, ketika Asia dilanda krisis pada 1998, Jepang dan beberapa negara Asia sempat mengusulkan pembentukan sebuah lembaga pendanaan Asia, semacam ”Asia Monetary Funds”, namun gagal karena tidak disetujui Amerika Serikat (AS). Dalam krisis kali ini, usulan tersebut sempat kembali diangkat.

China, dengan cadangan devisa terbesar di dunia, mungkin bisa diharapkan “memimpin”jalan menuju pembentukan lembaga sejenis.Lebih dari sekadar pendanaan,beberapa isu berikut saling terkait menjadi bagian dari pembiayaan pembangunan.

Enam tahun lalu di Monterrey, Meksiko, ratusan pemimpin negara mendeklarasikan sebuah kesepakatan terkait pembiayaan pembangunan dengan isu-isu spesifik terkait perdagangan, bantuan pembangunan, investasi, penyelesaian utang luar negeri,mobilisasi sumber daya nasional, serta reformasi arsitektur keuangan global. Ringkasnya, deklarasi tersebut mencakup berbagai hal terkait pendanaan pembangunan.

Demi pencapaian MDGs, misalnya, negaranegara berkembang dianjurkan mengatasi ketergantungannya pada pembiayaan eksternal lewat peningkatan sumber daya dalam negeri. Untuk itu, dibutuhkan reformasi fiskal serta instrumen pengurangan dampak krisis ekonomi lain, termasuk pajak efektif terhadap perusahaan transnasional,pemberantasan korupsi, pencegahan capital flight, serta upaya mengembalikan dana “curian” penguasa korup yang disimpan di luar negeri.

*** Dalam perdagangan internasional perlu diupayakan perubahan arah dan paradigma dalam bernegosiasi dengan WTO.Percepatan liberalisasi perdagangan harus dibendung, minimal sejalan dengan kebutuhan pembangunan. Pada saat sama, negaranegara kaya perlu dituntut agar menghentikan subsidi (produk) pertanian yang diekspor ke negara berkembang.

Uni Eropa,misalnya,sudah berjanji menghentikan semua subsidi ekspor pada 2013 terlepas dari hasil negosiasi WTO.Sebuah langkah yang harus dirintis dari sekarang dan diikuti negara kaya lainnya. Aspek yang perlu dirumuskan ulang adalah peran lembaga keuangan internasional terkait keterlibatannya dalam perumusan kebijakan perdagangan.

Selama ini, agenda Aid Effectiveness negaranegara OECD, masih menggunakan kajian kelayakan kelembagaan dan kebijakan sebuah negara oleh Bank Dunia yang mensyaratkan percepatan liberalisasi sebagai ukuran “good policy and good governance”. Sesuatu yang disinyalir telah banyak merusak pasar dan UMKM negara penerima bantuan.

Hal ini,berbarengan dengan rendahnya komitmen negara kaya terkait bantuan pembangunan. Data dari Sekretariat OECD,misalnya, menunjukkan sebagian besar negara anggotanya tidak memenuhi janji mereka untuk memberikan bantuan sebesar 0,7% dari GDP.

Selain itu, diperlukan sebuah resolusi politik terkait perbaikan kuantitatif dan kualitatif bantuan serta pemantauan tentang berapa besar dana yang secara riil ditransfer dari Utara ke Selatan.Termasuk penyelesaian utang luar negeri yang selama ini merupakan porsi terbesar dari transfer dana Selatan yang miskin ke Utara yang kaya.

Pengurangan utang luar negeri masih jauh dari apa yang disepakati di Monterrey, yaitu alokasi 0,7% GDP untuk bantuan pembangunan negara kaya kepada negara miskin. Lebih dari itu, dalam Deklarasi Milenium tercantum kesepakatan untuk secara menyeluruh menyelesaikan utang luar negeri negara-negara berkembang.

Bagi Indonesia, kewajiban mencicil utang (dalam dan luar negeri) masih menyandera anggaran negara. Dalam RAPBN 2009 yang dibacakan Presiden SBY beberapa waktu lalu, porsi pembayaran utang tercatat hampir 15%, masing-masing Rp59 triliun untuk pokok utang dan Rp110 triliun untuk bunga utang.

Saat ini utang pemerintah tercatat sekitar Rp1.300 triliun atau lebih besar daripada anggaran belanja negara pada 2009 sebesar Rp1.222 triliun. Karena itu, perlu dicarikan solusi komprehensif agar utang yang sebagian besar merupakan warisan rezim sebelumnya itu tidak menjadi beban generasi saat ini dan mendatang.

Untuk utang luar negeri, mungkin bisa dimintakan haircut kepada kreditor secara bilateral atau multilateral. Alasannya, sebagaimana kita tahu, utang di masa lalu banyak yang tak tepat sasaran.Untuk utang dalam negeri, terutama dari obligasi rekap, pemerintah harus mengambil langkah bijak.

Apalagi, kini bank-bank tersebut banyak yang berpindah tangan.Paling tidak langkah yang diambil menguntungkan negara dan menghilangkan beban utang. Terakhir,Kesepakatan Monterrey terkait keharusan pelibatan negara berkembang dalam standard-setting bodies yang mengatur standar dan aturan (standards and codes) keuangan dan perekonomian.

Ketika krisis melanda dunia, berbagai standar yang digunakan dalam perekonomian global akan berdampak bagi negaranegara berkembang.Kenyataannya, semakin lemah sebuah perekonomian, semakin buruk dampak krisis yang menimpanya. Sebenarnya pemberlakuan standar dan aturan tersebut tidak begitu berpengaruh bila Kesepakatan Moneterrey dipegang teguh, bahwa pemberlakuannya bagi negara berkembang hanya secara sukarela.Kenyataannya, standar dan aturan ini secara konsisten dipakai sebagai persyaratan (conditionalities) bantuan oleh IMF dan Bank Dunia.(*)

Ivan A Hadar
Koordinator Nasional Target MDGs
Sumber Sindo, 10 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar