Pages - Menu

13 Desember 2012

Hujan Enggan Datang

Cerpen Ahmad Zaini

Sudah hampir setahun hujan belum kunjung turun. Tanah merekah. Pohon-pohon meranggas. Sumur mengering. Sungai kerontang. Warga sekampung pada musim kemarau kali ini benar-benar menderita. Mereka kesulitan air. Untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya, mereka harus rela mengantre berjam-jam dengan warga lain. Bahkan mereka ada yang mengantre berhari-hari di sumur kampung seberang yang jaraknya tujuh kilometer dari kampung mereka.


Kemarau tahun ini memang diluar kebiasaannya. Kemarau musim ini bisa dikategorikan sebagai kejadian luar biasa. Biasanya paling lama musim kemarau hanya berlangsung empat atau enam bulan. Setelah itu hujan sudah turun. Akan tetapi, kemarau tahun ini benar-benar di luar batas perkiraan warga.

Debu siang itu beterbangan melintas di atas kampungku. Matahari menyengatkan panasnya menembus ubun-ubun. Sambil membawa jerigen, aku mempercepat langkahku karena kakiku melepuh tak mampu menahan panas permukaan tanah yang kulewati. Aku ingin segera sampai di sumur untuk mengambil setimba air untuk keperluan hidup keluargaku.

Di tengah perjalanan aku beristirahat. Aku duduk di bawah sebatang pohon yang tak berdaun lagi. Batangnya meranggas. Akarnya rapuh. Belum puas aku beristirahat, terpaksa aku harus bangkit ketika pohon yang kusandari begerak-gerak karena hembusan angin. Aku melanjutkan perjalanan agar segera sampai di sumur kemudian mengantre mengambil air bersama warga yang telah tiba lebih dahulu.

Saat aku dalam perjalanan, aku mendengar suara orang yang sedang terlibat percekcokan. Eh, ternyata dua lelaki dewasa yang sedang adu mulut di depan rumah mereka. Aku bisa mendengar dengan jelas isi percekcokannya. Aku duduk sambil berpura-pura istirahat di sebuah warung kopi yang sudah tidak terpakai.

“Kamu yang telah mengambil airku,” tuduh lelaki yang usianya sekitar enam puluhan tahun.
“Jangan seenaknya pakde menuduhku!” sangkal laki-laki yang lebih muda yang ternyata masih keponakan lelaki tua itu.

“Dua jerigen air yang kudapatkan tiga hari yang lalu raib. Siapa lagi kalau bukan kamu yang mengambil.”

“Jadi, pakde masih menuduh aku yang mengambil air pakde?”
Si lelaki yang masih keponakan lelaki tua itu  berjalan mendekatinya. Ia geram karena telah dituduh mencuri dua jerigen air milik pakdenya. Tanpa basa-basi, si keponakan itu mendorong pakdenya hingga tersungkur di permukaan tanah yang kering merekah.
“Pakde, Pakde! Bangun pakde!” ujar sang keponakan.

Lelaki tua itu pingsan. Dia tidak sadar karena keningnya terbentur tanah keras seperti batu di halaman rumah mereka. Sang keponakan segera mengangkat tubuh kurus pakdenya ke dalam rumah yang kusam dan atapnya penuh debu itu.

Aku meninggalkan tempat tersebut dengan hati yang miris. Dalam hatiku berkata bahwa hati mereka benar-benar telah dibutakan oleh kebutuhan air. Air memang sumber kehidupan. Akan tetapi,  jangan sampai air menjadi sumber percekcokan dengan keluarga. Jika masalah air saja mereka tidak bisa hidup rukun, mana mungkin Tuhan akan menurunkan hujan!
***
Deratan para warga mencapai satu kilo meter. Mereka menunggu giliran menimba air di sumur yang berkedalaman lima puluh meter. Rasa lapar dan dahaga tak mereka hiraukan. Panas sengatan matahari musim kemarau tak mereka rasakan.

Wajah para warga memelas. Mereka seperti tak bergairah. Mereka lelah karena sudah menunggu seharian penuh demi mendapatkan giliran menimba air. Guratan-guratan di wajah mereka seakan menggambarkan sebuah harapan agar penderitaan seperti ini tidak berlarut-larut. Mereka tak tega melihat keluarganya yang kesulitan air di musim kemarau ini. Mereka tidak tega keluargnya mandi dengan air bekas mandi yang ditampung lagi. Sampai-sampai air limbah mandi yang sudah keruh dan berbau digunakan mandi lagi. Oh, begitu menderintanya warga ini!
“Pak, bagaimana ini?” tanya warga yang mengantre giliran menimba.
“Apanya yang bagaimana?” tanyaku balik kepadanya.
“Ya, kemarau panjang ini, Pak.”
“Terus?”
“Kapan berakhirnya?”
“Ya, tidak tahu. Hujan atau tidak tergantung dari kemurahan Tuhan kepada kita. Tuhan akan memberikan kemurahanNya jika kita mau mendekat kepadaNya.”
“Mendekat bagaimana, Pak?” tanya warga awam itu kepadaku.

“Maksud mendekat kepada Tuhan itu, kita harus meningkatkan amal ibadah kita serta memperbanyak amal kebaikan. Jauhkan sifat-sifat tercela dalam diri kita. Jangan lagi melakukan dosa dengan berbuat maksiat.”
“Pak Ustadz, perbuatan maksiat itu seperti apa?”
“Perbuatan maksiat adalah perbuatan yang melanggar larangan-larangan Tuhan. Contohnya mencuri, minum-minuman yang memabukkan, berzina, dan masih banyak lagi yang lainnya ,” jelasku kepadanya.
“Berzina? Wah, kalau yang satu ini di kampung ini sudah menjadi kebiasaan Pak. Dalam waktu setengah tahun ini sudah lebih dari selusin gadis dan janda yang hamil. Yang terkahir anak Pak RT yang masih usia belasan tahun. Dia dihamili anak kepala desa.”
“Benarkah yang kamu katakan ini?” tanyaku.
“Benar, Pak.”
“Jika benar, hal inilah yang menjadi penyebab kampung kita dilanda kekeringan. Tuhan tidak akan menurunkan hujan kepada kaumNya yang sudah berbuat dosa besar seperti berzina.”
Aku terkejut mendengar cerita warga tersebut. Aku merasa ikut berdosa karena tidak mengetahui jika di kampungku telah terjadi hal yang memalukan seperti itu. Aku harus bertindak untuk memberikan pengertian kepada para warga bahwa berzina itu adalah perbuatan dosa besar yang bisa mendatangkan bencana. Kekeringan yang mereka rasakan selama ini adalah salah satu contoh bencana yang diturunkan oleh Tuhan sebagai teguran bagi umatNya yang telah berbuat dosa.
“Lho, akan ke mana?” tanyaku pada lelaki itu.
“Pulang, Pak. Air di sumur itu sudah habis. Sumbernya mampet,” jawabnya dengan nada kecewa.
“Sudah hampir sehari menunggu giliran menimba. Eh, tinggal menunggu empat orang saja airnya sudah habis! Sial!” gurutunya sambil melintas di depanku.
“Eh, tunggu!”
“Ada apa Pak Ustadz?”
“Mari kita pulang bersama kemudian temani aku ke rumah kepala desa!”
“Memangnya ada apa Pak?”
“Ini untuk mencari jalan keluar dari permasalahan di kampung kita. Kekeringan melanda desa ini karena banyak warganya yang telah lari menjauh dari aturan Tuhan.”
“Maksudnya hujan tidak turun karena banyak warga kampung yang berbuat zina?”
“Betul.”
“Lha wong, mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, kok, Pak!”
“Maka dari itu kita harus menyadarkan warga melalui kepala desa.”
“Percuma, Pak. Anak kepala desa sendiri baru saja menghamili anak ketua RT. Mana mungkin dia mau menyadarkan warganya?”
“Jangan berperasangka buruk seperti itu. Kita coba saja datang kepadanya.”
“Baiklah, Pak Ustadz. Biar hujan cepat turun.”
Kami melangkah meninggalkan sumur yang telah mengering menuju kampung halaman. Kami berjalan menyusuri jalan-jalan berkerikil tajam. Di kanan kiri jalan tak ada sesuatu yang bisa menyegarkan pandangan. Semuanya kering kerontang tak ada tanda-tanda kehidupan bagi tetumbuhan.
Kami melintasi kampung tetangga sambil melihat para warga yang mandi kemudian limbahnya ditampung lagi di penampung air. Air bekas mandi tersebut akan digunakan mandi lagi oleh anggota keluarga yang lain. Jika sudah selesai mandi semua, maka air yang telah ditampung tadi akan disimpan lalu digunakan mandi pada hari berikutnya.
***
“Ada perlu apa, Pak Ustadz kemari?” tanya kepala desa.
“Maaf, Pak. Kedatangan saya kemari hanya ingin membicarakan nasib warga kampung yang menderita karena kekeringan.”
“Lantas?”
“Saya ingin mengajak para warga kampung bertaubat karena sudah banyak warga yang telah berbuat maksiat dengan berzina.”
“Kau menyindir anakku, ya?”
“Tidak, Pak. Saya tidak bermaksud menyindir anak Bapak. Saya hanya ingin menyadarkan para warga bahwa kekeringan yang melanda desa ini karena ulah mereka mereka sendiri yang telah melanggar aturan-aturan Tuhan.”
“Sok tahu kamu. Aku ini kepala desa yang tentu lebih mengerti daripada kamu. Kekeringan melanda desa ini karena hujan belum turun. Kalau hujan sudah turun, kekeringan akan lenyap sendiri.”
“Tapi, Pak, musim kemarau ini sudah hampir satu tahun. Ini bukan musim kemarau seperti tahun-tahun lalu. Kekeringan melanda desa karena banyak warga yang berzina. Para gadis dan janda banyak yang hamil di luar nikah.”
“Urusan apa kau dengan semua itu?” tanya kepala desa dengan sengol.
“Untuk meluruskan mereka agar kembali ke jalan Tuhan. Para warga akan saya ajak beristighfar sambil melaksanakan shalat istisqo’, memohon hujan kepada Tuhan.”
“Silakan! Terserah kau! Kalau belum waktunya hujan, ya, kekeringan tetap akan melanda desa ini. Sok, tahu!” ucap kepala desa.
Aku berpamitan kepada kepala desa. Dengan ditemani seorang warga, kami berjalan menuju ke mushalla desa untuk mengumumkan kepada para warga bahwa besok siang sekitar pukul 10.00 akan diadakan shalat istisqo’ di tanah lapang. Para warga kami himbau datang dengan membawa binatang ternak yang mereka miliki serta mengenakan pakaian yang sudah kumal yang suci.
Para warga menyambut rencana kami dengan antusias tinggi. Para warga menyiapkan segala keperluan untuk melaksanakan shalat memohon hujan kepada Allah. Tak terkecuali kepala desa. Dia juga menyiapkan tiga ekor sapi hasil bantuan dari gubernur untuk dibawa ke tanah lapang ketika pelaksanaan shalat istisqo’ nanti.
Kepala desa dengan terpaksa harus ikut dalam pelaksanaan shalat tersebut karena dia harus memberikan contoh yang baik kepada warga yang mayoritas mendukung kegiatan itu.
Warga berduyun-duyun datang ke tanah lapang. Mereka menuntun binatang ternaknya sambil mengenakan pakaian kusam yang mereka miliki menuju hamparan persawahan yang kering kerontang itu. Saya dan beberapa warga yang mandegani kegiatan tersebut sibuk mengatur para warga yang ikut melaksanakan shalat.
Kami melihat kepala desa datang beserta anak lelakinya sambil menuntun tiga ekor sapi. Hati kami sangat lega karena ucapan-ucapan kepala desa yang pesimis dengan kegiatan ini tidak terbukti. Dia beserta anaknya datang dan berbaur dengan warga.
“Mari, Pak!” kataku mempersilakan kepala desa.
Dia tak mereaksi sapaanku. Dia nyelonong menuju ke tempat yang telah kami sediakan. Rupa-rupanya dia belum ikhlas mengikuti kegiatan ini.
Matahari siang itu mengganas. Raja siang tersebut mengeluarkan sinar panasnya menyengat tubuh para warga. Keringat bercucuran. Cairan limbah makanan itu membasahi pakaian kusam yang dikenakan para warga. Mereka tetap tenang dan khusuk berdzikir, beristighfar memohon ampunan kepada Tuhan.
Kepala desa berdiri. Dia lantas berjalan mendekati kami yang masih menunggu dan mengatur jamaah yang lain.
“Ayo, cepat dimulai! Sudah panas ini. Becus atau tidak kalian menyelenggarakan shalat minta hujan ini? Kalau tidak bisa, bubarkan saja!” umpat kepala desa kepada kami.
“Sabar, Pak! Masih menunggu warga yang lain.”
“Halah..., alasan!” umpatan kepala desa itu tidak berlanjut karena tangannya keburu ditarik anaknya kemudian diajak duduk lagi.
Setelah warga kampung sudah berkumpul, kami bersiap-siap melaksanakan shalat istisqo’. Para warga mempersilakan saya menjadi imam dalam pelaksanaan shalat ini.
Aku berjalan menuju tempat imam. Di barisan depan terlihat kepala desa beserta anak lelakinya. Kami memulai shalat yang diikuti warga yang menjadi makmum. Rakaat pertama dengan takbir tujuh kali kemudian kami lanjutkan rakaat kedua dengan takbir lima kali sebagaimana shalat id. Usai melaksanakan shalat kami melanjutkan dengan khutbah dua kali.
Dalam khutbah saya berpesan kepada jamaah agar mereka memperbanyak amal shaleh serta menghindari perbuatan-perbuatan dosa, seperti berzina dan minum-minuman keras.
“Hai, kamu menyindir anak saya, ya?” sanggah kepala desa kepada saya.
Sontak para jamaah melihat ke arah kepala desa.
Aku tak menghiraukan sanggahannya karena ini bukan diskusi. Ini adalah khutbah yang tidak boleh disela-selai dengan tanya jawab atau sanggahan-sanggahan. Aku tetap melanjutkan khutbah sambil melirik kepala desa yang ditenangkan oleh anak lelakinya.
Ulah kepala desa ini tak perlu dicontoh. Sebagai seorang pemimpin, semestinya dia harus memberikan contoh  yang baik kepada para warga. Bukan malah sebaliknya. Dia seharusnya menunjukkan sikap yang arif bijaksana dalam bertutur serta bertindak.
“Sabar, Bapak! Sabar!” kata anak kepala desa menenangkan ayahnya.
“Sabar ada batasnya. Dia selalu menyindir keluargaku. Aku tidak terima.”
Suara kepala desa lantang di tengah lapang. Suaranya hampir mengalahkan suaraku saat memberikan khutbah kepada jamaah. Anak lelakinya serta para jamaah tidak mampu mengendalikan emosi kepala desa. Dengan sangat terpaksa, anak semata wayang tersebut menyeret tangan kanan ayahnya pergi meninggalkan tanah lapang agar tidak mengganggu kekhusukan jamaah yang lain.
Peluh di kening kuusap dengan ujung surban. Butiran-butiran keringat lenyap dalam sekejap. Sudah hampir lima belas menit saya berkhutbah. Akhirnya, khutbah kuakhiri. Para warga saling berjabat tangan sebelum meninggalkan tanah lapang. Mereka saling bermaafan agar Tuhan segera menurunkan hujan.
“Allahummasqina ghoisan mughisa, wala taj’alna minalqonithin!” gemuruh suara doa para jamaah sambil meninggalkan tanah lapang yang kering-kerontang itu. Mereka kembali ke kampung sambil menuntun binatang ternak masing-masing.
Matahari meredup. Mendung bergulung menutup awan biru. Suasana siang seperti senja. Udara gerah berubah menjadi agak dingin. Para warga berharap-harap cemas menanti air dicurahkan Tuhan dari langit. Mereka bersiap-siap menyambut kedatangan tamu alam yang sudah setengah tahun mereka tunggu.
Gemerisik kaki-kaki hujan menginjak rontokan dedaun pohon jati kering di kampung sebelah. Suaranya semakin lama semakin mendekat. Kami sudah tak sabar lagi ingin mengambil air hujan dengan penampung air yang sudah kami siapkan. Ketika satu dua tetes hujan sempat mampir di penampungan air, lambat laun gemuruh suara hujan di kejauhan mereda. Langit kembali cerah. Gumpalan mendung pun sirna dihempas tiupan angin ke belahan langit yang jauh di sana.
Kami tertegun. Kami hampir tidak percaya dengan fenomena yang baru saja kami alami. Kami harus bersabar dengan ujian ini. Kami juga tahu diri mengapa hujan enggan turun di kampung ini. Kami harus berbenah diri. (*)

Lamongan, Oktober 2012

Sumber: Kompas, 28 NOvember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar