GM Sudarta
Berita kecelakaan yang ditayangkan televisi pagi ini, membuat Pak
Toyib terkesiap dan tubuhnya gemetar. Sersan Wardoyo, sahabatnya,
pensiunan mantan anggota Kodim, tertabrak truk gandeng di jalan raya.
Sepeda motornya ikut tergilas bersama pengendaranya.
Mendadak jari
jemari tangannya gemetar. Jari telunjuk tangan kanannya mengejang dan
dirasakan seakan jutaan jarum menusuk-nusuk buku jarinya. Teriak
kesakitan meledak memenuhi ruangan. Segera Martini, istrinya, datang
membawa panci berisi rebusan daun serai yang masih mendidih.
”Wardoyo
meninggal!” ujarnya sambil meringis menahan rasa sakit. ”Hmmm....”
Martini hanya bergumam mendengar ini, sambil mulai memgompres jari
telunjuk suaminya dengan handuk setelah beberapa kali dicelup rebusan
serai panas. Hampir sepuluh tahun Martini mengerjakan tugas ini. Tugas
yang selalu mengingatkan masa lalunya.
”Tergilas truk
gandeng!”.....”Hmmm...”......”Wardoyo hancur, kepalanya terlindas
ban!”.....”Hmmm...”.....”Kepalanya pecah rata dengan aspal
jalan!”.....”Hmmm...”......”Darah dan otaknya muncrat berhamburan di
aspal jalan!”.....”Hmmm...”
Martini tak begitu peduli, masih tetap
mengompres jari telunjuk suaminya berkali-kali. Biasanya tugas ini
selesai sekitar satu jam, sampai suaminya mulai merasa berkurang
sakitnya. Pak Toyib menangis sesenggukan meratapi kematian Wardoyo,
sahabatnya..” Sudahlah Pak, jangan banyak mikir dan nonton televisi.
Istirahat saja, tiduran.” Saran Martini sambil menuju dapur. Sudah lama
dia ingin membicarakan penyakit aneh suaminya ini, tapi masih ragu.
Sudah berbagai dokter ahli mencoba menanganinya, tapi tak ada hasil.
Martini
memang menyadari, jari telunjuk suaminya inilah yang telah
menyelamatkan hidupnya. Jari telunjuk sakti yang bisa mengubah nasib
seseorang dengan hanya menuding. Pak Toyib sangat bangga dengan
kesaktiannya ini, meskipun warga kampungnya melecehkannya dengan
panggilan Pak Toyip Petruk, nama tokoh punakawan wayang kulit yang
tangannya selalu menunjuk. Martini pun hingga sekarang tidak bisa
menahan malu bila tetangganya menyebutnya Bu Petruk.
Kadang kala
Martini masih mempertanyakan nasib dalam perjalanan hdupnya kini, apakah
hanya karena Martono, adiknya, yang berpacaran dengan seorang gadis
berdarah Melayu, Farida itu. Martini menyadari hubungan Martono, dengan
gadis itu, pastilah hanya sekadar cinta monyet belaka. Ternyata memang
selepas SMA, mereka berpisah. Gadis itu meneruskan pendidikan ke kota
lain, sedang Martono dengan bekal seadanya, meninggalkan kampung untuk
cari kerja di Jakarta. Dia rasakan sudahlah cukup kakaknya, Martini,
kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membiayai sekolahnya. Apalagi
kedua orang tuanya sudah tidak ada.
Beberapa tahun tak ada berita
sedikit pun dari adiknya. Tetapi belakangan dia mendengar kabar bahwa
pacar adiknya, Farida, telah menikah dengan seorang anggota ABRI yang
bertugas di kota. Dan, tidak berapa lama, dengan tiba-tiba Martono
pulang dari perantauannya dengan wajah murung. Mungkin karena mendapati
kenyataan tentang pacarnya. Tetapi Martini kaget melihat banyak bekas
luka di muka dan lengan adiknya.
”Susah Yu, cari kerja di ibu
kota,” ujar Martono sambil menangis memeluk mbakyunya. ”Ijazah SMA tak
ada artinya. Akhirnya saya ikut menjadi pembantu cuci piring di warung
Tegal, untuk bisa makan...”
”Lha kamu kena apa sampai begini?”
”13 bulan di penjara, Yu.”
”Mencopet, merampok atau menodong, atau...dihakimi masa?” Martono tak menjawab hanya memeluk mbakyunya semakin erat.
Martini
merasa lega setelah adiknya akhirnya menghentikan kemurungannya. Tidak
lagi hanya termenung seharian. Kini rumahnya tak pernah sepi dengan
anak-anak muda sebaya Martono. Mereka berkumpul hampir setiap hari.
Semula Martini tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka, kadangkala
sering terdengar kata-kata revolusi, Nasakom yang diuraikan panjang
lebar oleh seorang pemuda yang sudah dewasa yang rupanya sebagai ketua
kelompoknya.
Martini sadar, memang pendidikannya yang cuma
sepenggal di sekolah menengah pertama, tak bisa mamahami benar apa yang
dilakukan oleh Martono dan teman-temannya. Hingga pada suatu hari, yang
katanya akan menghadiri pertemuan pemuda, Martono sudah mengenakan
pakaian hitam-hitam dengan kain merah melilit lehernya. Langkahnya tegap
dengan sepatu hitam seperti sepatu tentara.
”Sekarang aku punya
kerja dan kantor, Yu!” Mendengar ini Martini hanya melongo. Sejak itu
setiap hari adiknya berpamitan hendak ke kantor.
”Kamu itu kerja apa dan di kantor mana sih?” tanya Martini, suatu pagi sebelum adiknya beranjak pergi.
”Kantor Pemuda Rakyat di kota!”
”Lha, gajimu berapa Ton?”
”Gajiku hanya kebanggaan berjuang demi kemenangan revolusi!” Martini semakin tidak paham.
Baru
setelah di alun-alun malam itu diadakan perayaan Tujuh Belasan, dia
sedikit mengerti. Di tengah alun-alun dibangun sebuah panggung besar.
Kali itu sekitar panggung sudah dipenuhi para pemuda berseragam hitam,
bersyal merah, dan para gadis belia berpakaian kebaya kain lurik dan
berkain batik sebatas lutut. Dimulai dengan lagu Nasakom Bersatu yang
dikumandangkan penuh semangat oleh sekitar dua puluh pemuda termasuk
adiknya, tampil di panggung. Disusul dengan pidato Martono berapi api.
Martini tidak begitu mengerti maknanya, yang tertangkap di telinganya
adalah kata-kata: ”Perjuangan kita adalah perjuangan bersama rakyat
untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai!” Disambut tepuk tangan
pengunjung diseling teriakan Hidup PKI gegap gempita. Tepuk tangan
semakin meriah, ketika rombongan gadis belia, tampil di panggung,
berlenggang-lenggok menarikan Tari Genjer-genjer.
Menjelang
pertunjukan usai, tiba-tiba, di sekeliling alun-alun dipenuhi ratusan
pemuda yang gaduh sambil meneriakkan kata-kata: ”Marhen menang yes
eyeees...... Marhen menang yes eyeees!” Serta merta para pemuda di dalam
alun-alun berhamburan keluar. Keributan dahsyat tak terelakkan.
Kemudian nampak polisi berdatangan. Terdengar tembakan pistol ke atas.
Melihat gelagat tidak menyenangkan ini, Martini lari tunggang langgang,
pulang.
Dini hari adiknya baru pulang dengan wajah penuh darah
yang keluar dari luka di pelipisnya. Martini semakin cemas akan keadaan
adiknya. Nampaknya yang dilakukan bukanlah perjuangan melainkan sebuah
perlawanan. Semakin hari nampaknya kesibukan adiknya semakin banyak, dan
wajahnya selalu penuh ketegangan. Beberapa kali tidak pulang
berhari-hari.
Pada suatu malam, Martini terkesiap melihat adiknya pulang bersama Farida!
Hari-hari
menjelang akhir tahun 1965, sebuah helikopter menderu-deru di angkasa,
sambil menebarkan kertas selebaran. Semua warga berebutan
mendapatkannya. Yang masih tersisa di ingatannya, adalah gambar Garuda
Pancasila, di bagian teratas kertas selebaran. Isi kata-kata dalam
selebaran tidak begitu dipahaminya, hanya kalimat ”harus waspada
menghadapi pengkhianat bangsa” dan ”atas nama Panglima Tertinggi ABRI”
serta ”tertanda Mayor Jenderal Soeharto”. Selebaran ini terjadi berulang
kali, dan konon hanya disebar di kota ini.
Sementara itu, memang
beberapa hari sebelumnya terlihat keganjilan di desanya. Semua warga
nampak gugup campur ketakutan. Martono juga jarang pulang. Sekilas
Martini mendengar berita dari tetangganya, bahwa ada banyak jenderal
yang dibunuh. Banyak warga desanya yang siap di pos jaga dengan
menyandang bambu runcing yang masih banyak bercak-bercak darah.
Menjelang tengah malam Paklik Marno, paman Martini, menganjurkan supaya Martini pergi dari desa ini secepatnya, karena Martono.
”Kenapa dengan Martono,” tanya Martini kebingungan.
”Tentara bersama warga sedang mengadakan perburuan mereka yang menjadi anggota PKI.”
”Lalu dengan Martono?”
”Seorang
aparat dari Kodim, sersan Wardoyo, bersama seorang jagabaya desa ini
sebagai penunjuk jalan, telah menyisir seluruh desa untuk mencari
Martono. Kamu tahu kan, istrinya selingkuh dengan adikmu? Dia pasti
kemari, sudah 15 orang warga sini dibantai dengan tudingan orang PKI,
hanya karena tidak tahu di mana adikmu berada...Sudahlah, cepat pergi!”
Paklik
Marno segera bergegas lari, seperti ketakutan. Semula Martini bingung
kenapa pamannya yang pensiunan tentara, juga lari. Tanpa pikir panjang
dia kemasi beberapa helai baju, dan kemudian berlari menuju kota, ke
kediaman Koh Ong, majikannya tempat Martini bekerja sebagai pembantu.
Dan ternyata seisi rumah di kediaman majikannya, sudah berantakan.
Istrinya menangis sambil menuturkan bahwa Koh Ong diciduk aparat.
Martini sadar memang selama ini, majikannya adalah salah seorang guru di
sekolah yang didirikan oleh organisasi Baperki.
Tiba-tiba rumah
majikannya digedor-gedor. Dua orang merangsek ke dalam, seorang tentara,
Sersan Wardoyo dan Pak Toyib, sang jagabaya desa. ”Itu mbakyunya!”
teriak sang jagabaya sambil menuding Martini. ”Tidak mungkin dia tidak
tahu di mana Martono! Tangkap dia dulu, pasti nanti adiknya akan
menyerah!”
Dalam perjalanan menuju rumah tahanan, sang jagabaya
mendekati Martini, sambil membisikkan, tentang kemungkinan akan dilepas
apabila mau dinikahinya. Martini tak acuh. Yang memenuhi pikirannya
hanyalah bagaimana nasib adiknya. Tapi di rumah tahanan, yang lebih
merupakan rumah penyiksaan ini, ketegarannya menghadapi penderitaan
runtuh. Ketika ujung kawat listrik menyentuh organ vitalnya, dan merasa
ajal akan menyambutnya, sang jagabaya datang, berkacak pinggang dengan
senyum menyeringai penuh arti. Dan Martini mengangguk lemah. ”Betul
kan?” ujar sang jagabaya, sambil memapah Martini keluar dari ruang
tahanan.
”Dengan tudingan jari telunjuk ini aku bisa bikin orang mati dan hidup kembali. Seperti kamu!”
Tak
lama kemudian, terdengar Paklik Marno, pensiunan anggota Batalyon
Angkatan Darat yang disinyalir pendukung PKI, ditudingnya juga. Dan
akhirnya meninggal oleh siksaan di penjara Beteng Pendem, Ambarawa.
Serasa sejuta tusukan jarum tiba-tiba menyerang buku jarinya, teriakan Pak Toyib pun menggetarkan seluruh ruangan.
”Istighfar,
Pak, istighfar!” teriak Martini yang muncul begitu saja, karena tak
tahan melihat penderitaan suaminya. Sebetulnya tak hendak dia
mengucapkan kata itu, karena selama ini pasti akan disambut kemarahan
oleh suaminya. Pak Toyib menatap tajam, matanya berkilat penuh
kemarahan.
”Jangan menggurui saya!” ucapnya keras,” Kamu kira saya tak tahu, kamu mau mengatakan ini adalah kutukan Tuhan!”
Martini
menyadari, rupanya suaminya masih dikuasai keangkuhan lahir akan apa
yang telah dilakukan di masa lalu. Dengan bangga pernah diucapkan kepada
Martini, bahwa apa yang dilakukan demi memberantas penganut ajaran anti
Tuhan.
”Martiniiiiii!” teriak Pak Toyib tiba-tiba sambil
mencengkeram jari telunjuk kanannya. ”Mana cepat rebusan serainya!!!”
Martini diam saja. Pikirannya masih melayang, terbayang akan penderitaan
masa lalunya. Siksaan di tahanan, dan siksa lahir batin oleh istri tua
suaminya. Yang sangat membuat hatinya hancur, ketika Martono
terberitakan dibantai dan dibuang ke Luwengombo.
”Martiniiiiiii!”
Suaminya menjerit semakin keras. Martini hanya sedikit menoleh sejenak
ke arah suaminya. ”Martini! Ambilkan rebusan seraiiii! Sialan kamu!”
”Istighfar Pak, istighfar. Lihat nasib teman bapak, Wardoyo!” Ujar Martini yang lebih seperti bentakan.
”Apa!!
Kau anggap ini kutukan?!” Pak Toyib meradang, mukanya merah penuh
kemarahan, sambil bangkit dari kursinya. Martini mundur selangkah. Pasti
suaminya akan menghajarnya, seperti kerap kali dilakukan apabila
suaminya marah.
”Akan kubuktikan! Ini bukan kutukan!” Ujar Pak
Toyib, sambil lari ke dapur. Diambilnya parang pemotong daging dengan
tangan kiri. Jari telunjuk kanannya ditempelkan di meja dapur. Parangnya
diangkatnya tinggi-tinggi......
”Paaaaaaaaaaak!!!” Martini mengejarnya.
Sumber : Kompas, 1 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar