Cerpen Bagus Pradana
Malam itu Joko tidak bisa
tidur. Walaupun badan telah dibaringkannya di sebuah kasur kumal yang
dia sebut tempat tidur, tapi mata tetap tak mau ditutup.
Udara
malam itu sangat panas, sehingga joko memutuskan untuk sedikit membuka
pintu kamar kost yang disewanya limaratus ribu per bulan itu. Mata dan
pikirannya menggerayang ke mana-mana, dipandangnya satu-per satu isi
kamar seperti orang yang sedang mencari sesuatu tapi tidak menemukan apa
yang di cari. Dia tesandera oleh sebuah lamunan tentang esok hari.
Berbagai
bayang-bayang tentang kegiatan esok hari bermunculan dan saling
berkejar-kejaran di pikirannya. Esok adalah hari di mana dia berniat
untuk melamar kerja.
Ini semua berawal ketika seminggu yang lalu
dilihatnya sebuah Spanduk besar bertuliskan Job fair terpampang di
perempatan jalan kaliurang. Informasi mengenai acara itu telah menarik
perhatiannya. Disebutkan di sana bahwa Hall Jogja Expo Center akan
menjadi tempat perhelatan akbar ajang pencarian kerja tesebut. Dan
diramalkan berbondong-bondong pemuda pencari kerja dari jogja dan
sekitarnya akan hadir dalam perhelatan tersebut.
Ya... setelah
menyelesaikan kuliah dan berhasil mendapatkan gelar sarjananya, Joko
mulai bingung. Sebagai anak rantau, apa yang mau dia perbuat sesudah
itu. Apakah pulang kembali ke pelukan orang tuanya atau menetap di sini,
di kota yang telah menampungnya selama empat tahun ini.
Mungkin bila
dia seorang perempuan, akan memilih pulang saja, nunggu orang nembung
di rumah, selesai. Tapi pada kenyataannya dia terlahir dengan kodrat
laki-laki. Dan budaya oriental menempatkan laki-laki sebagai tulang
punggung keluarga. Inilah yang membuatnya bingung beberapa minggu
setelah upacara wisudanya.
Tetapi kebingungan ini mulai terobati
dengan info mengenai Job Fair yang ditemukannya di perempatan Jalan
Kaliurang itu. Beberapa hari Joko berfikir keras, akhirnya diputuskannya
untuk mencoba mengikuti acara tersebut.
Hampir tiap malam sebelum
tidur Joko selalu membayangkan hari di mana acara tersebut
terselenggara. Apa yang harus dia lakukan, bagaimana agenda acaranya,
siapa yang akan dia temui, dokumen apa yang harus dilengkapi sebagai
syaratnya, dan berbagai hal lainnya. Hingga puncaknya adalah pada malam
itu, malam sebelum hari H. Joko tidak bisa tidur hingga menjelang pagi.
Setelah
selesai mengetik surat lamaran, curicullum vitae dan mempersiapkan
berbagai macam dokumen prasyarat untuk lamarannya. Rentetan imajinasi
mengenai esok hari mulai menyerang otaknya dan menyebabkan inshomnia.
”Aku
harus tidur bila besok pengen tidak terlambat melamar kerja !!!”
berkali-kali kata itu diucapkannya untuk menstimulus rasa kantuk dalam
dirinya.
Akhirnya setelah dia berusaha keras menenangkan
pergolakan hati hari H-nya, moment ngantuk pun datang, dan tanpa
disadari segera hilang kesadaran-lah dia. Lelap dalam selimut pekat
malam.
***
Pagi pun datang. Jam diding di kamar kostnya
menunjukan pukul setengah delapan, waktu yang wajar untuk bangun tidur
bagi anak kost. Bangkitlah badan yang sejak tadi malam tergeletak di
kasur kumal itu. Hal pertama yang dia lakukan adalah menghidupkan laptop
mengecek ketikannya tadi malam serta mengecek kembali dokumen-dokumen
yang dia persiapkan. Semuanya sudah lengkap.
Acara Job Fair
tersebut dimulai pukul sepuluh, setelah mengecek kelengkapan dokumen
segeralah Joko pergi mandi. Mandi pagi ini tidak seperti mandi-mandinya
di hari-hari biasa. Mandi Joko hari ini terhitung lama dan lebih bersih,
ya...memang untuk menyambut moment yang spesial badan harus bersih.
Dalam benaknya muncul suatu asumsi bahwa dengan badan yang bersih akan
menambah poin bagi dirinya dan memperbesar kesempatan lamaran-kerjanya
diterima. Mungkin karena ini merupakan pengalaman pelamaran kerjanya
yang pertama sehingga persiapannya harus matang.
Joko sudah siap,
badannya wangi, pakaiannya rapi, layaknya seorang eksekutif muda.
Setelah itu motor segera ia panasi, tak lupa juga ia meng-lap motor itu
agar kelihatan lebih bersih. Semua persiapan sudah beres. Joko kemudian
berfikir sejenak membayangkan rute mana yang paling cepat dari Pogung
Dalangan ke Jalan raya Janti.
Sontak dia langsung berkata ”lewat Ringroad. Cepet !!!”
Dia
kembali ke kamar kostnya, memasukan seluruh dokumen prasyarat
lamarannya kedalam tas punggung K.W. bermerk Polo yang dia beli di tepi
jalan seturan. Kemudian disambanginya lagi motor yang terus dibiarkan
menyala dihalaman depan kostnya. Dan dengan ketetapan hati, serta
optimisme diri yang telah susah payah dibangunnya selama seminggu ini
berangkatlah si pemuda pencari kerja ini menyusuri ringroad utara kota
jogja menuju ke gerbang impiannya.
Job Fair.
***
Tepat
pukul setengah sepuluh sampailah Joko di depan gedung Jogja Expo Center
nan megah itu. Dilihatnya lautan kendaraan bermotor sudah memadati
halaman JEC, berjejer rapi. Segeralah ia gabungkan motornya kedalam
lautan kendaraan bermotor itu.
”Parkir sini mas !!!” seorang
juru parkir menyuruhnya untuk memarkirkan motornya kesuatu tempat.
Dilanjutkan oleh juru parkir itu ”bayar langsung ya mas, dua ribu !!!”.
“Baru mau melamar saja sudah kena tax and barrier“ dalam hati Joko mengugat.
Tanpa pikir panjang segera ia ambil uang pecahan dua ribu disaku kemejanya untuk menenangkan pak juru parkir itu.
”Kebak ya pak ?” dalam bahasa jawa dia bertanya kepada juru parkir itu.
“Iya mas sudah dari jam delapan pagi tadi!!!” jawab pak juru parkir.
Dengan langkah tegap segera Joko menuju pintu masuk JEC yang sudah menga-nga dari tadi pagi itu.
Benar
juga kata juru parkir didepan. Sudah penuh sesak berjubel lautan orang
antrian didalam gedung JEC itu. Seperti yang diperkirakan oleh Spanduk
besar di perempatan jalan kaliurang, berbondong-bondong pemuda pencari
kerja dari seluruh penjuru kota jogja berkumpul dalam acara Job Fair
ini. Hati Joko mulai berdegup kencang, entah apa yang dia rasakan kala
itu. Tanpa pikir panjang segera Joko meleburkan dirinya diantara
orang-orang yang mengantri mengumpulkan lamaran-kerja tersebut di loket
pendaftaran.
Dalam hati terror pertanyaan : “bisakah aku kerja?,
diterimakah lamaran kerjaku?” mulai menghantui joko yang hanyut dalam
gelombang antrian itu.
“Aku ini sarjana, aku punya keahlian, aku
pasti dapat kerja, aku harus dapat kerja. Persetan dengan semua orang
disini. Inilah gerbang kesuksesan yang akan tiap pemuda Indonesia lalui,
dan aku akan melaluinya !!!” Joko berusaha menguatkan hatinya, dengan
senyum kecil yang terkembang diwajahnya. Joko telah memaktubkan tekadnya
dalam satu kalimat “aku harus dapat kerja!!!”
Hampir satu jam
Joko berdiri dalam antrian pendaftaran itu, dan akhirnya pada jam
sebelas lebih dua puluhan menit tibalah Joko di depan loket registrasi.
Dia serahkan seluruh dokumen syarat pendaftaran yang dibawanya. Dan
kemudian oleh panitia Job Fair Joko diminta untuk menunggu hingga
namanya dipanggil dalam tes wawancara. Berbagai terkaan pertanyaan apa
yang akan keluar dalam tes wawancara itu mulai bermunculan didalam
pikiran Joko. Dikala penantian, Joko kemudian mencari tempat untuk
sejenak beristirahat mengobati kebosanan dan kecapaian badannya itu,
sekaligus berfikir mengenai tes wawancara yang akan dilaluinya nanti.
Dia menuju sebuah bangku yang ada di salah satu pojok bagian gedung.
“Apa
jaminan jawabanku benar dalam tes ini?” Joko mulai berkelana dalam
pikirannya, ”Tes macam begini ini berbeda dengan tes-tes yang aku lalui
di bangku akademik dulu. Di sana aku bisa tahu apakah jawabanku salah
satu benar. Tapi di sini ya…dalam tes ini apa jaminan jawabanku benar
dalam tes ini? Tes ini indikatornya sangat tidak jelas absurb. Tes ini
adalah tes sepihak, padahal antara pencari tenga kerja dengan pencari
kerja semuanya memiliki hubungan saling membutuhkan. Kami butuh kerja
dan mereka butuh kami sebagai tenaga kerjanya, tapi mengapa kendali
sepihak ada dipihak mereka. Dan kami disini mengapa harus mengikuti
bahkan mungkin melayani kebutuhan mereka saja?. Ya…apa jaminan aku
diterima kerja?. Semuanya yang kutemui disini hanyalah sebuah
kemungkinan-kemungkinan belaka. Tak ada jaminan. Apa jadinya bila semua
pemuda pencari kerja dinegara ini hanya dicekoki dengan
kemungkinan-kemungkinan saja. Aku bukan pemuja kemungkinan!!!”
Di
sela-sela lamunannya itu Joko kedatangan seorang orang tamu yang meminta
izin untuk ikut duduk di bangku tersebut. Seorang laki-laki paruh baya
yang sudah pantas disebut pak sepertinya.
”Dek sudah lama ya?” laki-laki paruh baya itu bertanya padanya
”Iya pak” jawab Joko.
”Lulusan apa sampeyan?” sambung laki-laki itu.
”Saya sarjana pak” jawab Joko kembali
“Owalah…
saya juga sarjana dek, tapi sudah empat tahun ini saya nganggur.
Semenjak menikah dirumah malah jualan pecel lele, ndak ada jaminan ya
dek hari ini gelar sarjana bisa cepet dapat kerja?” tutur laki-laki itu
“Injih
pak, sami mawon saya juga baru wisuda bulan kemarin tapi sampai hari
ini saya masih bingung mau ngapain ini. tidak ada jaminan kalau sudah
dapat gelar langsung bisa kerja” balas Joko. Dari percakapan itu
setidaknya mampu mengurangi kebosanan serta kegundahan hati Joko disela
penantiannya. Dan akhirnya namanya pun dipanggil, segera ia hampiri
stand yang memanggil namanya.
Negara menjamin dalam Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 Amandemen keempat :
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Tapi
kenyataannya apakah ada jaminan lapangan kerja yang cukup bagi seluruh
rakyat (atau lebih spesifik lagi Pemuda) dinegri ini?
***
Bagus Pradana
25-27 Oktober 2012
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM
Sumber: Kompas, 30 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar