Pages - Menu

29 September 2012

Ijazah Pelet

Cerpen Baequni Mohammad Haririe

Sejak pertemuan pertama aku dengan Lia di sekolah, jujur saja, aku mulai kepincut dengan lentik bulu matanya, bibir sensualnya dan semampai tubuhnya. Entah, sejak kapan aku mulai mengenal benih-benih rasa ini? Padahal, belum pernah sekalipun, aku dan Lia bertatap-muka secara langsung atau bahkan berbicara empat mata (mungkin tensi cintaku akan bertambah bila mendengar suaranya, Oh). Aku terlalu malu lantaran Lia adalah gadis yang menjadi pujaan sekolah.


Saat itu, secara tak sengaja, Lia melihatku terlambat masuk kelas. Dari balik jendela kelasnya (Lia berbeda kelas denganku, namun sama-sama setingkat; kelas Tiga SMU. Ruang kelasnya bersebelahan dengan ruang kelasku), ia menatapku sembari melemparkan senyum. Bahagia sekali rasanya, meskipun kemudian aku dihukum juga, berdiri satu kaki selama 10 menit karena terlambat. Tapi seolah terbayarkan oleh senyum Lia. Sepanjang 10 menit itu seperti 1 menit saja, senyum manis Lia yang menguatkan kakiku, berdiri gagah di hadapan teman sekelasku. Ah, aku jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta kepada Lia.

Tak terasa, sudah hampir 4 bulan lebih, aku hanya mengagumi Lia. Tanpa pernah mengungkapkan perasaan cinta yang menggebu-gebu terhadapnya. Aku pun tak pernah berusaha menarik perhatiannya, padahal, tak jarang dan tanpa ragu-ragu, Lia seolah-olah selalu mencuri perhatianku. Yah, hampir setiap pagi, sebelum masuk kelas, kusempatkan melirik wajah Lia dari balik jendela kelasnya, Lia selalu membalas dengan melemparkan senyum mautnya kepadaku. Apakah Lia merasakan hal yang sama terhadapku?

Kubuang jauh-jauh perasaan itu, mungkin cintaku bertepuk sebelah tangan. Mungkin saja Lia memang ramah, tersenyum kepada siapa saja. Ah, benar-benar gadis istimewa. Cantik, anggun dan murah senyum. Tak heran, teman-temanku selalu membicarakan Lia sepanjang waktu istirahat; di kantin, di tongkrongan favouritku di halaman belakang sekolah dan setelah lonceng tanda pulang, berlomba-lomba menarik perhatian walau hanya sekedar berebut menyapanya.

Teman-temanku tak pernah tahu, apa yang sedang menggelisahkan hatiku. Aku pun tak pernah menceritakan perihal rasa sukaku kepada Lia ke orang lain, pun kepada sahabat dekatku. Aku pendam sendiri. Entah, selalu saja seperti ada sesuatu yang menghalangi setiap kali hendak kusampaikan perasaanku ini kepada Lia langsung. Ada saja yang kemudian membuatku tak berani berterus-terang, jangankan menitipkan salam kepada teman sebangku Lia, menulis surat cinta untuknya saja, tinta penaku seperti tiba-tiba berubah menjadi sama pengecutnya, dingin dan mengering.

Genap sudah, kurun waktu 5 bulan tak pernah menuntaskan tanggungjawabku; menyatakan cinta kepada Lia. Dan selama 5 bulan, senyum Lia tak pernah bisa kuterjemahkan. Tapi anehnya, Lia tak pernah bosan melemparkan senyum itu, setiap pagi setiap bertemu denganku, senyum yang membuatku terus bertanya-tanya; untuk apa? Apakah sengaja untuk menyiksaku? Ah Lia, aku sudah cukup tersiksa lantaran menyimpan perasaanku sendiri terhadapmu selama ini.
***
Agenda menyiapkan acara perpisahan sekolah, sedikit menjauhkan konsentrasiku terhadap Lia, tensinya sedikit menurun tapi bukan berarti hilang. Seremonial tahunan ini, kebetulan dipasrahkan kepada teman-teman sekelasku yang menjadi panitia. Tugasku, menyiapkan draf pengisi acara; mulai dari menentukan MC, jenis acara hiburan dan lain sebagainya. Aku ingin membuat perbedaan di acara perpisahan kali ini. Menampilkan pertunjukan yang berbeda dari tahun sebelumnya, biar lebih berkesan. Aku mengusulkan untuk mengundang group Band asal sekolah lain, sebagai acara pamungkas setelah acara formal berakhir.

Usulku langsung diterima oleh ketua panitia perpisahan, Fahrul, yang juga sebagai penangungjawab soal penentuan mata acara. Maka, segera kuhubungi teman yang menjadi vokalis di group Band “Pantura” itu. Setelah menyepakati tanggal dan harinya, aku menyiapkan pilihan pengisi acara yang lain. Lumayan melelahkan kerja otak, kesibukanku kian bertambah disamping harus terus giat belajar dan menyiapkan mental menghadapi ujian akhir nanti.

Setelah semua rangkaian acara perpisahan selesai dimusyawarahkan dan disepakati bersama, akhirnya konsentrasi kami beralih; menuju ujian akhir. Berkaitan dengan persiapan itu, semua murid kelas tiga mendapatkan jam tambahan, selama 3 jam setiap hari. Aku beruntung, jam tambahan tersebut membantu sisi mental dan kesiapan belajar. Tapi ada saja, beberapa teman yang mengabaikan bahkan seolah tak membutuhkan jam tambahan.
***
Akhirnya ujian akhir terlewati, aku lulus, meskipun dengan nilai yang tidak begitu memuaskan. Teman-temanku merayakannya dengan beraneka ragam ekspresi, mencorat-coret baju dengan cat pilok, berkerumun sambil bernyanyi, memberikan kado kenang-kenangan kepada guru favouritnya masing-masing, saling mengisi buku diary, berphoto bersama, bertukar cinderamata dan ada juga yang merayakannya dengan biasa-biasa saja, tanpa luapan kegembiraan. Sementara, aku hanya bercanda di depan kelas. Semua siswa kelas tiga kali ini lulus 99%, sehingga suasana bertambah meriah.

Widianto, salah-satu teman sekelas yang tidak bisa mengikuti ujian lantaran mengalami kecelakaan berat, 10 hari sebelum ujian akhir berlangsung, ia masih dirawat di rumah sakit. Kabarnya juga masih dalam keadaan koma. Sampai ujian berlangsung, Widianto tidak bisa mengikutinya, dan otomatis harus mengulang di tahun berikutnya. Aku berusaha mengingatkan teman-teman, pasca perayaan pelulusan, kami berencana menengok Widianto di rumah sakit.

Tiba-tiba, dari arah belakang, Lia, idola sekolah yang selama ini sempat kusimpan namanya, menyapa teman-temanku. Dengan suaranya yang renyah dan ramah, Lia mengucapkan selamat juga kepadaku. Aku sempat grogi dan terbata-bata membalas ucapan selamatnya. Dan ketika mendengar rencana kami hendak menjenguk Widianto, Lia berusaha untuk ikut menjenguk. Jadilah kami berebut untuk menawarkan tumpangan; rencananya kami naik motor ke rumah sakit. Walhasil, tanpa diduga-duga, justru aku yang ketiban rezeki, Lia ikut denganku.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku tidak banyak bicara dengan Lia. Terus terang, rasa deg-degan dan grogi masih bersarang di dada, apalagi tangan Lia menggamit perutku seperti layaknya dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Tentu saja, sikap Lia terhadapku membuat teman-teman seperjalanan merasa cemburu. Walaupun kita sama-sama tahu, Lia belum punya pacar.

Tiba-tiba perasaan ingin mengutarakan rasa cinta kepada Lia terbersit seketika itu juga, selama perjalanan itu aku berusaha mengendalikan detak jantung yang kian kencang, sekencang laju motorku membonceng Lia. Berusaha memilih kata-kata yang sekali dilepaskan, tepat mengenai jantung hatinya. Berusaha memilih waktu untuk melontarkan panah asmara kepadanya. Tapi sia-sia, jalanan beraspal itu malah tidak sedikitpun memberikan celah. Seolah seperjalanan ke rumah sakit adalah perjalanan yang juga menyedihkan, tak sepatah kata rayuan pun kulontarkan, bahkan untuk sekedar berbasa-basi kepada Lia, aku berubah menjadi seorang pengecut. Ah, kesempatan yang kusia-siakan ini tidak akan datang dua kali, sesalku dalam hati.
Setelah dari rumah sakit, kami kembali ke sekolah dan bubar ke tempat masing-masing. Aku sendiri masih betah bercengkrama dengan beberapa teman di sekolah. Hingga tak terasa sore pun tiba, aku pulang. Pulang membawa cerita yang tak mungkin bisa kuceritakan kepada siapapun, malu rasanya. Cerita seorang pengecut yang membonceng gadis paling cantik di sekolah. Penyesalan itu memang akhirnya dikodratkan muncul di akhir dan berakhir menyakitkan.
***
Kupendam sendiri rasa cinta ini kepada Lia, hampir tak pernah seorang pun yang tahu. Sedangkan Lia, masih menjadi rebutan. Masih ada kesempatan, hiburku dalam hati. Saat pembagian raport dan acara perpisahan nanti. Bila saat dua acara itu tidak juga kusampaikan, sirnalah sudah. Gadis itu mungkin sudah terpaut dengan pujaan hatinya, sudah keburu mendapatkan seorang arjuna. Dan aku, akan terus gigit jari sepanjang hidup.

Suatu malam, Fahrul, ketua panitia perpisahan, menyambangiku. Ia menanyakan banyak hal terkait soal persiapan dan mata acara yang akan ditampilkan. Kami berdua terlibat diskusi dan obrolan yang serius, hingga berakhir menjelang dini hari. Untuk kemudian, bergulir pada satu tema obrolan yang menurutku; baru pertama kali inilah Fahrul membahasnya. Fahrul orangnya ganteng, tinggi putih, proporsional dengan kecakapannya di kelas.

“kamu pernah jatuh cinta?” Fahrul mengawali. Tentu saja pertanyaannya membuatku sedikit kaget. “belum, aku belum menemukan gadis sesuai kriteria.” Jawabku datar. “begini, mungkin ini kedengaran agak janggal, tapi dari cerita yang kudengar, katanya kamu punya semacam ilmu pelet?” Tanya Fahrul setengah berbisik. Tentu saja aku terkejut mendengar pertanyaannya ini. “ah, siapa yang bilang?” aku mencoba membela diri, lagian memang pertanyaannya aneh. “banyak kok yang bilang, sudahlah, ngaku aja, apa susahnya sih berbagi? Jangan pelit begitu…” Fahrul terus mencecarku. Sampai hampir beberapa kali aku mencoba menjelaskan apa adanya, namun agaknya Fahrul tidak begitu percaya, entah siapa yang telah menggulirkan issu soal ilmu itu.

Untuk kesekian kalinya, Fahrul mencoba terus meminta paksa. Aku pun tak mau kalah mencoba menjelaskannya dengan segala tetek-bengek kenyataan bahwa aku tidak punya ilmu sejenis itu, memangnya aku ini dukun? Umpatku dalam hati. Aku mencoba mengalihkan tema perbincangan, namun Fahrul tidak terpancing, kembali lagi ke soal tadi. “kamu kan ganteng Rul, ngapain juga pake ilmu pelet segala?” Aku mencoba merasionalkan apa yang hendak dilakukan Fahrul.

Hingga pada situasi yang tidak bisa kuhindarkan, Fahrul benar-benar membuatku tidak bisa berkutik, bukan lantaran aku punya ilmu pelet itu, tapi menghindarinya pun rasanya akan semakin menyulitkan posisiku. Bisa-bisa ketika acara perpisahan sekolah nanti, aku ditendang dari kepanitiaan, pikirku.

Akhirnya, sebisa mungkin aku mengad-ada. Asal segera menyudahi perbincangan dengan Fahrul, memusingkan. “kamu baca penggalan ayat ini, 7 kali setiap habis sholat lima waktu, sambil puasa tiga hari berturut-turut. Kalau sudah selesai, kamu baca dalam hati di depan cewek yang kamu sukai sebanyak 7x.” kupilihkan penggalan ayat dari salah-satu surat di alQur-an. Aku sendiri tidak tahu, ayat itu sesungguhnya berfungsi untuk apa. Pokoknya asal Fahrul segera hengkang dari hadapanku, tidak lagi merengek-rengek meminta sesuatu yang aku sendiri memang tidak punya yang dimintanya. Dengan rasa puas, Fahrul mengucapkan: Qobiltu!
***
Perpisahan pun tiba, aku sibuk dengan hal-hal teknis. Mengoptimalkan dekorasi panggung, mengatur rangkaian acara dari awal hingga akhir, mengatur jadwal bintang tamu, menjamu Band temanku dan lain sebagainya. Semua bergembira, bahkan kepala sekolah yang sejak awal agak kurang setuju dengan tema perpisahan, terlihat ikut menikmati juga semua penampilan murid-muridnya. Di bangku terdepan, bersama guru-guru yang lain dan tamu undangan, wajahnya kelihatan cerah. Dari sekian penampilan, yang paling memukau adalah persembahan dari Band temanku. Lagu-lagu hits dan populer saat itu, dibawakan dengan baik dan atraktif. Membuat semua orang turut berbahagia, tak terkecuali pak Amin, guru Matematika yang galak itu.

Alhamdulillah, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua berjalan lancar dan terkendali. Acara perpisahan pun selesai sudah. Teman-teman banyak yang masih terbawa sisa perpisahan serta bercengkrama di sekitar panggung, tenda dan bangku-bangku yang masih berjejer. Di depan kelas, di teras kantor dan sekitarnya. Ditengah kesibukanku turut membereskan panggung, tiba-tiba Fahrul menghampiriku. Berbasa-basi sebentar kemudian membisikku “makasih ya atas ilmu pelet-nya. Sukses besar. Ayo kita ke warung, aku traktir kamu sepuasnya.” Katanya.

Aku mengiyakan ajakannya. Aku penasaran, siapa sih gadis yang telah membuatnya sampai tergila-gila begitu? Sampai rela melakukan yang kusuruh. Aku makin penasaran ketika Fahrul juga hendak memperkenalkan gadis pujaannya nanti di warung. Maka, kuserahkan urusan beres-beres panggung kepada Toni, teman sebangku. Aku mengikuti Fahrul, beranjak menjauhi panggung utama. Dari sebuah warung, yang jaraknya tidak begitu jauh dari lokasi sekolah, masih bisa kulihat semua aktivitas teman-teman yang ada di depan sekolah. Aku pesan kopi dan menyantap makanan ringan. Fahrul terlihat begitu antusias mentraktirku. Hampir semua makanan ringan yang ada di warung, ditawarkannya. Aku sih, oke-oke saja, mumpung gratis, lagian memang lapar.

Sampai pada intinya, Fahrul menunjuk ke arah gedung sekolah, di depan kelas, ada seorang gadis yang terlihat sedang menyendiri. Terpisah agak jauh dari teman-temannya. “itu pacarku, gadis yang kuburu dari setahun lalu. Berkat ilmu pelet yang kamu berikan, akhirnya kesampaian juga.” Fahrul memberitahu dan menjelaskan penuh bangga. Aku berusaha menangkap wajah gadis itu, agak kurang jelas lantaran lalu-lalang teman-temannya menghalangi pandanganku. Aku terus meneropongnya, tak jua berhasil.

Fahrul terus menunjuk-nunjuk, seolah-olah aku tidak boleh salah menangkap wajah salah-satu gadis di depan kelas itu. Gadis yang menjadi belahan jiwanya. Karena agak jauh, aku mencoba konsentrasi melucuti wajah gadis satu-persatu dari sebuah warung. Setelah beberapa menit, gadis itu tak lagi menunduk, wajahnya mulai nampak. Perlahan-lahan kuamati wajah putihnya, kukenali sebisa mungkin. Semakin jelas. Dan, Hah…?! tanpa sadar, gorengan tempe di mulutku jatuh. Gadis itu ternyata Lia!  Gadis incaranku juga.  Sialan kau Fahrul!!! geramku.

Cirebon, 2011
Baequni Mohammad Haririe
Aktif berkegiatan di Komunitas Seniman Santri (KSS)

Sumber: Kompas, 26 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar