Cerpen Leopold Indrawan
Langit merah menyala, darinya lidah-lidah api seolah berarak, melubangi mega-mega, menghujam tanah dan bebatuan, meluluhlantakkan kolong langit, mengubah yang ada menjadi tiada. Dalam angkaranya yang tak terbelenggu, di antara lapangnya langit, pusaran-pusaran angin tak ubahnya menara batu raksasa menjulang mencakar langit seraya menusuk bumi. Kalau kau bisa dengar, siulan angin puyuh itu sungguh memekakkan telinga, macam ia sedang menyiksa bumi! Mengerikan bukan main!
Demikianlah, kita semua tahu, sekaligus tak mau tahu, bahwasanya tak ada batu yang akan selamanya sanggup berdiri di atas batu.Semua akan diruntuhkan. Akan tetapi benarkah jika segala sesuatu di atas bumi ditakdirkan untuk sirna?
Ibu bumi yang sudah tua kini diam pasrah. Ibu yang telah menua, ibu yang telah mengandung segala kebaikan dan keburukan, kini harus diam untuk mati disiksa. Entah siapa dahulu yang menyiksa, kita manusia atau Ia yang bertahta di sorga?
*
Ibuku menunggu Imam Mahdi. Tetanggaku menunggu Yesus Kristus. Barangkali di tempat lain ada yang menanti Sang Buddha. Belum ada satupun yang datang. Barangkali sosok-sosok Ilahi itu masih sarapan pagi di sorga sana. Saya harap mereka, atau setidaknya salah satu dari mereka, cepat datang untuk menghentikan semua ini. Atau jangan-jangan mereka menganggap ini semua baru permulaan? Sudahlah, aku tak pernah mengerti agama terlalu dalam, setiap kali ibuku menyuruhku berdzikir ya aku hanya manut-manut saja.
“Imam Mahdi akan datang sebelum akhir zaman. Percaya itu!” kata ibuku sembari jari dan hatinya merunut doa dalam tasbih.
Aku mengangguk. Apapun yang terjadi aku akan percaya. Siapapun yang datang nanti aku akan beriman kepadanya. Sudah tidak ada waktu untuk bermuluk-muluk dalam fanatisme karena segala sesuatu yang termaktub hanya akan tinggal terbukti.
Masjid yang menjadi tempat pengungsian kini tinggal menunggu kehendak Langit saja untuk hancur. Penduduk kampung sudah harus pasrah, toh pasrah terhadap kehendak Allah Shubanahu Wa Ta’ala adalah kebajikan juga. Kalau dipikir-pikir pun, pasrah memang jalan terbaik untuk mati, apalagi dalam keadaan semacam ini, sudah tak ada lagi yang bisa mati dengan indah. Sudah tak ada lagi yang namanya “berkorban nyawa demi cinta” layaknya dalam film-film melodramatik.
Sejauh ini, Masjid dan beberapa rumah di sekitar memang masih aman. Ya, aman. Guncangan dari batu-batu yang menghujam dari langit hanya membuat pemilik tubuh setiap pasang kaki yang memijak di bumi terpelanting. Aman kan? Maksudku aman ya mereka tak mati oleh karena guncangan itu, tak seperti penduduk-penduduk di luar sana yang sudah hangus oleh panasnya batu-batuan tak berperikebumian itu. Manatahu mereka yang berada di luar sana itu sudah jadi manusia panggang.
“Jangan celingak-celinguk aja kamu! Istighfar! Ga pernah sempet tekun lima waktu. Boro-boro baca Qur’An. Kiamat sudah datang kayak gini kamu masih nengok sana nengok sini kayak kebo di sawah!” Kakak perempuanku tahu-tahu mengomel. Ia menarikku supaya duduk di sampingnya.
Aku terdiam, melongo, memandangi wajah kakak perempuanku, juga orang-orang di sekelilingku, termasuk ibuku.
Kuperhatikan raut wajah mereka menyiratkan rasa ngeri yang luar biasa. Di antara mereka ada yang tak tahan menangis, tersedu-sedu, terisak-isak, ada pula yang air matanya sudah terlanjur mengering oleh rasa takut.Ada yang tertunduk tak berani membuka mata, ada pula yang menyerukan “ALLAHU AKBAR!” dari waktu ke waktu, terutama setiap kali ada terpaan angin kencang ataupun guncangan bumi. Rasa takut telah membelenggu orang-orang di sekitarku. Kakakku adalah yang terutama.Kulihat ketakutan tergurat jelas di wajahnyamembentuk relief sebuah kerapuhan iman.Tak terpungkiri. Dahinya penuh dengan bintik-bintik keringat. Mulutnya berceracau doa. Saya bingung, mengapa mereka orang-orang beriman di saat semacam ini tidak dapat memasrahkan diri. Bukankah kematian hanyalah sebuah kepastian?
Suasana yang penuh dengan kengerian tersebut semakin menjadi-jadi tatkala diiringi suara seng beradu dengan kerasnya angin.Menyurutkan nyali.
“ALLAHU AKBAR!” orang-orang berseru.
Angin puyuh semakin mendekat.
“ALLAHU AKBAR!”
Klik klak klik klik klak ckreeeek! Suara tombol kamera bersahut-sahutan. Rupa-rupanya masih ada yang berminat mengabadikan fenomena ilahi yang sedang berlangsung. Padahal umur dari keabadian itu sudah di ujung tanduk. Tapi aku menghargai tindakan mereka, para fotografer jadi-jadian. Tidakkah mereka berada di luar himpunan orang-orang yang pasrah dan panik. Mereka adalah orang-orang yang punya harapan untuk hidup lebih lama lagi: hidup untuk membagi kenangan melalui apa yang mereka tangkap. Sekalipun...
“Angin puyuh semakin mendekat...” bisikku.
Bebatuan panas menghujan dari angkasa.
“ALLAHU AKBAAAAAAAAR!”
***
Kemarin, persis kemarin, segala sesuatu berlangsung seolah takkan terjadi apa-apa: tak ada petanda, tak ada firasat. Alam membisu, enggan berbahasa. Desau angin bahkan tak terdengar membisikkan apa-apa, hanya hampa, hanya cerita yang telah lampau: sebuah ingatan atas kampung yang tak begitu kumuh.
“Cepat pulang ya Nak!” Ibuku berkata kepada kakakku yang hendak berangkat kerja. Suaranya bergema hingga ke kamarku.
Ketika itu aku masih terbaring di kamar tidur menghirup murni udara pagi hari yang menyusup lewat ventilasi, sembari menikmati ereksi, juga fantasi. Baru sejenak kemudian, saat kantukku sepenuhnya pergi, aku bangkit berdiri, mandi, masturbasi, ejakulasi, sikat gigi, lalu sarapan pagi.
“Kuliah jam berapa kamu hari ini?” tanya ibuku.
“Ntar lagi jam sepuluh.”
“Jangan sampe telat kamu. Hati-hati bawa dompet sama handphone. Ada uang kecil buat angkot?”
“Ada... ada.”
Setiap hari apa yang kuhadapi selalu serupa: pulang pergi kuliah dengan angkot, berhadapan dengan macet, asap, dan debu. Pagi hari pun selaluserupa: selalu tampak sekerumun ibu-ibu menyatroni gerobak sayur, bergosip, memilah-milih sayur, menawar harga, tertawa basa-basi. Begitu pula saat sore atau malam hari: selalu terdengar alunan musik dangdut patah hati ataupun lagu pop musisi lokal yang liriknya seputar itu-itu saja.
Tiada satu pun hari yang terlalu berbeda untuk kuabadikan dalam ingatan.
Tiada satu pun hal yang lebih berharga untuk kudekap dalam ingatan.
Tiada satupun yang berusaha untuk membuat bumi berputar dengan cara yang berbeda. Musisi-musisi terus saja bicara soal cinta, tak lain tak lebih. Katanya memang cinta itu tak ada habisnya kalau dibahas. Ya, hati lara perlu dilipur. Hati berbunga-bunga perlu dirawat, disiram, dijaga. Hati yang patah perlu direkatkan kembali. Pembenaran demi pembenaran. Omong kosong demi omong kosong. Demikian rupalah pengulangan terjadi. Cinta mewujud lirik-lirik seadanya, menjadi dangkal karena ia tak bersumber dari dalam hati.
Tiada satupun yang berusaha untuk mengubah siang menjadi malam dengan cara yang lebih indah. Layar kaca selalu menyajikan kebanalan manusia: seputar perselingkuhan, korupsi, pembunuhan, pencarian orang-orang hilang—penyesalan, kebencian, manipulasi hukum, orang-orang sok suci. Menjenuhkan. Demikian pula dengan kisah-kisah angker. Semakin angker, semakin kampungan. Jelangkung memperanakkan kuntilanak, kuntilanak memperanakan pocong, pocong memperanakkan genderuwo, genderuwo memperanakkan leak, leak memperanakkan babi ngepet, babi ngepet memperanakkan arwah-arwah penasaran, arwah-arwah penasaran memperanakkan suster rumah sakit yang mati penasaran. Kalau mereka memang benar ada, mau kutantang sekali sekali, misalnya si pocong, supaya ia bertukar tempat denganku: ia di Jakarta dan aku di alam kematiannya. Mana yang lebih menakutkan, kota Jakarta yang penuh dengan siksa dan penderitaan takdir atau alam baka yang hanya dipenuhi makhluk-makhluk halus lemah yang hanya takut dengan doa. Kita bisa buktikan SIAPA YANG TAKUT?
Kesimpulannya, tiada satupun yang mampu membuat kenyataan menjadi lebih baik.
***
Malam melelapkan. Rasa lelah mengundang kantuk. Aku mengintip gang kecil di luar lewat jendela. Masih ramai di bawah sana. Remaja-remaja seumuranku, perempuan dan laki-laki, sedang BBM-an sambil mengisap rokok. Lamat-lamat kudengar gitar akustik dipetik. Suara sumbang berkumandang. Bercampur baur. Tak ada yang mengundang perubahan. Aku merebahkan tubuhku di kasur, membuka novel, katanya bagus, tapi sejauh kubaca roman picisan saja yang kudapat, dari senjakala, bulan baru, gerhana, hingga subuh. Tapi bukankah setiap orang berhak menyukai dan tak menyukai apa saja?
Bulan sabit menggelantung merupa senyum kucing Chersire. Ketika mataku hendak mengatup, aku melihat seberkas cahaya menerangi langit malam. Bukan kembang api. Lebih dahsyat dari itu.
“KIAMAT! KIAMAAAAT!” teriak orang-orang di luar.
Menyusul teriakan-teriakan itu, suara dentuman terdengar keras sekali, laksana kilat berhasil merobek langit dan reruntuhannya bedebam menghantam bumi. Menggelegar dan mengagetkan.
Mataku membelalak. Hatiku sontak berseru: “Ini bukan mimpi Bung!”. Aku bangkit berdiri. Rumahku berguncang-guncang macam perahu di tengah badai. Lekas kucari ibuku. Rupanya kakakku bertindak lebih cepat. Ia sedang menuruni tangga menggandeng ibuku. Kami turun bertiga. Lampu-lampu gantung berputar. Foto-foto dan lukisan-lukisan berjatuhan dari dinding yang meretak.
“Allah sudah murka! Allah sudah murka!” seru ibuku hampir menangis.
Tak ada yang menanggapi ceracau ibu. Kami cepat-cepat keluar dari rumah dan berlari ke jalanan. Orang-orang berhamburan. Semua berlari tak tentu arah, kami juga tak tahu harus ke mana. Begitu ramai teriakan menggelora di udara, menebarkan kepanikan.Jeritan. Pekikan. Lolongan. Entah bagaimana aku harus menggolongkan aneka teriakan itu. Permintaan tolong.Luapan ketakutan.Atau keduanya bercampur aduk. Bola-bola api terlihat menghujan di kejauhan, meronai langit malam. Langit malam menjadi merah seakan ditoreh oleh pisau. Angin pun turut meliar. Semakin meliar semakin kencang mendorong, kemanapun langkah kuambil selalu ditentang. Seng-seng berloncatan, genteng-genteng beterbangan. Ada yang tertimpuk dan bocor kepalanya. Ada yang menghindar dan terjebak dalam selokan bau bangkai tikus. Beberapa rumah rontok tak kuat menahan guncangan. Rumah-rumah itu adalah rumah kayu sederhana, boleh dikata gubuk derita, tempat orang-orang yang jauh lebih miskin dari keluargaku.
Suara-suara dentuman sahut menyahut dari dekat dan jauh. Justru suara-suara itu yang lebih mampu membuatku ciut dibandingkan dengan guncangan yang menyertainya. Benar-benar surut nyaliku mendengarnya. Andai saja kaumendengarnya, kaujuga pasti ketakutan!
Ingin aku menghardik langit seperti cerita tetanggaku mengenai Nabi Isa, tapi mulutku terkunci tak mampu. Langkahku, langkah ibuku, dan langkah kakakku terus melaju menuju Masjid. Di sana terdapat lapangan parkir yang luas, tanahnya lapang, barangkali aman. Barangkali saja tapi!
Langit retak. Mega-mega terbakar. Menyala merah, seperti darah menjijikkan. Bumi berguncang dan gemetar,seakan mewujudkan rasa ketakutan sang ibu pertiwi atas murka Allah. Ngeri. Ngeri sekali. Ibu dan kakakku sempat-sempat saja membaca doa. Aku sudah tidak minat. Yang harus kulakukan adalah lekas-lekas tiba di Masjid. Akan tetapi firasatku berkata aku takkan hidup sebelum sampai di sana.
“ALLAHU AKBAR!” teriakku.
Bebatuan raksasa menghujan dari angkasa. Tepat sekali di atasku : merah menyala.
“ALLAHU AKBAAAAAAAAAARRRR!”
***
Di suatu tempat yang jauh, seorang lelaki sedang duduk di sofa memandang layar kaca. Kedua anaknya duduk di atas karpet hijau berornamen bunga-bunga. Istrinya memasak di dapur yang tak jauh dari ruangan itu.
Layar kaca menyiarkan kehancuran sebuah kampung. Kampung yang naas. Tak ada yang selamat dari bencana yang menimpanya, bahkan benda matipun berakhir hancur. Tiada yang sempat dan sanggup menolong.
Sembari menunggu lauk yang dimasaknya matang, sang istri berkata kepada suaminya:
“Wah, untung kejadiannya jauh dari rumah kita ya Pa.”
Karawaci, Rabu, 25—26 Mei 2010
Kompas, 3 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar