Cerpen Dewi Solihat Saputera
Ujung- ujung jarum jam di dinding masih saja berputar tak terarah, hilir mudik pada angka-angka romawi yang berdiri kaku pada tepian waktu. Irama detiknya masih saja mengalunkan bias sendu, seolah memacu sang waktu dengan segenap kekuatannya.
Sejenak aku pandangi kedua ujung jarum jam yang masih saja mondar mandir di atas dinding kamarku. Meski ujungnya terlihat begitu runcing dan tajam, namun mampu menahan diri untuk tidak melukai barisan angka-angka kaku romawi yang berada di tepian waktu. Ataukah...angka-angka romawi itu yang terlihat begitu tegar saat kedua ujung jarum jam mencabik tubuhnya. Entahlah....
Ada perasaan resah yang bergelanyut dalam batinku, mimpi itu belum jua sempurna menjemputku sementara detik terus saja berjalan tanpa kompromi, saling berkejaran melewati sang waktu.
"Kamu masih menunggunya, Ocin..?" suara lembut perempuan muda sebayaku membuyarkan lamunanku. "Mungkin..." jawabku tak bergairah.
"Kalau mungkin itu artinya ada keraguan didalam diri kamu..."
"Aku meragukannya tapi akupun terlilit sebuah harap yang masih saja membelengu hatiku.."
Keadaan ekonomi yang semakin sulit serta tingkah laku Kang Rasyid yang semakin kasar membuat aku memutuskan untuk merantau menjadi TKW. Sifat lelaki itu membuat aku semakin ingin menjauh darinya namun aku selalu saja tidak berdaya. Karena di antara aku dan Kang Rasyid ada dua anak balitaku yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari aku.
Meskipun, pada akhirnya aku pergi jua untuk mengadu nasib sebagai TKW, namun di dalam hati kecilku sungguh terasa berat untuk meninggalkan kedua buah hatiku yang masih kecil- kecil. Kang Rasyid mendukung sepenuhnya kepergianku, tak sedikitpun ada perasaan gundah di wajahnya ketika mengantarkan aku ke tempat penampungan calon TKW. "Jangan lupa kirim uang ke kampung kalau kamu sudah terima gaji.." pesan kang Rasyid padaku dan kalimat itu sungguh membuat aku muak dan semakin membencinya.
"Ya, kang.." jawabku nyaris tak terdengar.
Sungguh suami biadab...yang ada di otaknya hanyalah uang dan uang saja, sedikitpun tak pernah memikirkan tentang keselamatanku, sebagaimana banyak cerita yang aku dengar tentang para TKW yang bernasib buruk yang berujung pada nyawa sebagai taruhannya.
"Kamu masih belum tidur, Ocin..?"
"Belum bisa, yoh...pikiranku masih saja ke kampung halamanku.."
"Ambil wudhu sana..! lalu tahajud, Cin...biar hatimu tenang..."
Subuh belum jua sempurna, gelapnya masih terasa begitu pekat. Aku mendelik pada arah jarum jam yang masih saja berputar mengintari angka- angka romawi kaku.
"Cin, suamimu ditangkap polisi.." begitu pesan singkat yang aku terima seminggu yang lalu dari HPku yang butut.
Aku tersentak, ketika Hanim memberitahuku tentang kelakuan kang Rasyid yang selalu main perempuan dan berjudi di pasar malam. "Semua uang yang kamu kirim selalu habis di meja judi dan dipakai untuk membayar pelacur murahan.." begitu tulis Hanim di pesan singkatnya ketika aku menanyakan kabar suamiku.
Aku hanya mampu menangis pilu, meski rasa benci itu belum jua hilang dari dalam diriku, namun jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku masih menyimpan secuil harapan pada kang Rasyid untuk bisa mergubah sifat dan wataknya saat jauh dariku, karena kedua anakku masih membutuhkan kasih sayang seorang bapaknya. Namun impian itu kini terbakar dan musnah seketika....
"Kang Rasyid ditangkap polisi," kata- kata itu masih terngiang di gendang telingaku....Kang Rasyid berjudi dan bermain perempuan, deretan kalimat itu terus saja menghantui pikiranku sepanjang hari.
Menurut berita yang aku dengar dari kampung halamanku, Kang Rasyid ditangkap polisi dalam keadaan mabuk berat di sebuah rumah bordil tempat biasa dia melampiaskan nafsu bejatnya.
"Cin, Kang Rasyid rebutan cewe di rumah bordir...rupanya Kang Rasyid ga terima cewe langganannya dipakai orang lain hingga dia emosi dan lepas kontrol...." kata Mang Wandi suatu hari ketika aku menilponnya.
Aku lelah memikirkanmu, Kang Rasyid....kataku pelan seraya kupandangi foto suamiku yang tengah berdiri di antara kedua anakku. Detik itu masih saja berputar, mengitari waktu tiada hentinya serupa rasa sakit yang menggerogoti batinku tiada habisnya. Datang silih berganti kemudian menghempaskan aku kedalam penderitaan yang lebih dalam. Dan sepertinya detik tak akan pernah bertepi.
Dewi solihat saputera. Lahir dan besar di Bandung, seorang ibu rumah tangga biasa yang hobi menulis sejak masih dibangku SMP. Sekarang berdomisili di Vancouver - Kanada.
Sumber: Kompas, 30 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar