Cerpen Adi Zamzam
Akulah ketika kau mencinta. Akulah ketika kau mengasihi. Aku bercahaya ketika itu, sehingga hari-harimu menjadi terang. Lalu batangku menjadi kokoh seiring akarnya yang semakin nancap dalam hatimu. Lalu bertunaslah reranting, dan menjadi hijau, menjadi besar, menjadi kokoh, lalu berbuahlah pohonku di dalammu itu. Buah itu aku. Akulah buah. Cinta dan kasih adalah rasanya. Aku berjatuhan saat telah masak.
Seperti keputusan yang akhirnya terjadi setelah lama menggantung dalam pertimbanganmu. Sebagian dariku kau makan—menjadi perbuatan, sebagiannya lagi membusuk kembali ke kekosongan, kembali ke masa ketika pikiran-pikiran itu mengambang di depan mulut-mulut sarafmu. Sebagian dariku yang beruntung lalu bersemayam dalam tubuhmu. Mula-mula melalui mulut, lalu turun ke kerongkongan, lalu lambung, lalu darah, lalu aku menyebar ke tubuhmu. Ada juga yang melalui telinga dan mata, lalu ke saraf penglihatan dan pendengaranmu, berakhir di otak.
Aku menggerakkanmu. Meski selalu kau abaikan. Seperti udara yang kau hirup. Akulah udara. Aku ada tapi sering tak kau anggap ada. Aku sering bisa dirasa dengan kelembutan karena kelembutan itu sendiri adalah aku. Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu karena aku ada dalam tiap sel. Aku menyertai tiap denyut karena denyut itu sendiri adalah aku. Aku merasakanmu tapi kau belum tentu merasakanku. Ada yang menganggap aku ini hanya sebilah perasaan, tapi aku bukanlah itu.
Aku melihatmu tapi kamu belum tentu melihatku. Sebenarnya aku tidak tertutup oleh sesuatu. Aku begitu nyata di depan mata. Kamu yang tidak memercayai keberadaanku lantas bilang bahwa aku hanyalah khayalan, bayangan, atau semacam ilusi. Itu karena kamu menutupi indramu sendiri sehingga semuanya pun jadi tertutup. Padahal aku ada pada setiap sudut, setiap ruang, setiap cahaya, setiap kegelapan, setiap gerak, setiap diam, setiap pandangan mata, setiap tarikan nafas, setiap desau suara, setiap kecapan rasa.
Keberadaanku sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan karena banyak yang kemudian tertipu oleh penjelasan itu sendiri. Kata-kata dan bahasa sering kali menimbulkan salah tafsir. Aku adalah aku meski kau menganggapku ada atau tidak. Aku tak butuh saksi atas keberadaanku karena aku sendiri adalah saksi atas segala keberadaan. Apakah aku adalah yang suka menyembunyikan diri sendiri? Tidak, mereka yang tidak percaya keberadaankulah yang sebenarnya menyembunyikanku. Apakah keberadaanku membutuhkan tempat? Sebenarnya tidak bisa dibilang begitu karena tempat itu sendiri adalah bagian kecil dariku. Lantas bagaimana caranya menemuiku, bercakap-cakap denganku, mengeluh, bercengkerama, atau bahkan bersahabat denganku?
Sudah kubilang, aku adalah ketika kau mencinta, ketika kau mengasihi. Maka cintalah terhadap sesama, kasihlah terhadap semua. Tak usah memikirkan bagaimana kejadiannya, kau pasti akan bertemu denganku. Akulah udara. Meski kau tak bisa melihatku tapi kau bisa menghirupku. Rasakan saja itu. Nikmati dan hayati pelan-pelan. Dan jangan terpaku dengan satu indra karena setiap indramu memiliki pengertian yang berbeda-beda tentangku. Apakah aku ini sulit? Aku rasa tidak. Aku bahkan sering memperlihatkan diri dalam sesuatu yang sederhana. Saking sederhananya hingga kau kadang tak menyadari bahwa itu aku. Lihatlah kuku dan rambutmu yang terus bertumbuh itu. Setiap minggu kau harus memendekkannya. Itu adalah aku.
Aku adalah tumbuh. Juga tunas-tunas pepohonan itu. Meski beberapa kali kau memotong atau menebangnya, aku akan terus tumbuh. Apakah aku terpengaruh kematian? Ah, itu pertanyaan yang kurang tepat. Kematian dan kehidupan adalah kedua tanganku. Tangan kananku menghijaukan, tangan kiriku menguningkan. Tangan kananku menyirami, tangan kiriku mengeringkan. Tangan kananku menumbuhkan, tangan kiriku memupuskan. Jangan bilang bahwa tangan kanan dan tangan kiriku saling bertentangan. Justru keduanya saling melengkapi. Bayangkanlah jika semua terus tumbuh, terus hidup, dan beranak-pinak. Tidakkah kalian berpikir bahwa dunia ini akan cepat meledak kelebihan penumpang? Kedua tanganku itu justru saling menjaga keseimbangan masing-masing. Keduanya bekerja beriringan. Jika salah satunya berhenti, maka terjadilah kekacauan. Lantas bagaimana caranya bercakap-cakap denganku?
Aku sebenarnya tak membutuhkan kata-kata untuk bilang sesuatu kepadamu. Kata-kata hanyalah alat buatanmu sendiri yang masih punya banyak kekurangan. Kata-kata terlalu terbatas untuk alat berkomunikasi denganku, karena bisa saja langsung kuhunjamkan jawabanku ke dalam dada atau kepalamu. Maka bertanyalah apa saja kepadaku. Aku mahatahu. Pengetahuan adalah aku. Akan kujelaskan jawabannya sebaik-baiknya kepadamu. Soal bagaimana caraku menjawab, entah seketika itu juga, besok, lusa, atau kapan-kapan, kau pasti akan tahu. Aku selalu menjawab setiap pertanyaan, meski hanya berbisik saat mengucapkannya, atau bahkan baru terlintas dalam hatimu. Telingaku persis berada di depan mulut dan hatimu. Jadi, apa pun uneg-unegmu tentang sesuatu, aku bisa tahu. Misalnya kau bertanya tentang sebuah penyakit, kau bingung dengan penyakit itu; apa penyebabnya, bagaimana cara menyembuhkannya? Mungkin kau tak langsung menemukan jawabannya seketika itu juga. Mungkin kau baru akan tahu bertahun-tahun setelahnya, setelah seorang peneliti mengamati dan menyelidikinya dengan begitu cermat. Ketika akhirnya peneliti itu tahu bahwa karakteristik penyakit itu begini, begini, begini, bahwa penyakit itu akan muncul jika kau begitu, begitu, begitu, bahwa penyakit itu akan sembuh jika begini, begitu, begini, maka apa yang diterangkan oleh si peneliti itu tadi sebenarnya adalah jawabanku yang berhasil ia bahasakan untukmu.
Kadang memang butuh proses untuk memahamiku. Tapi jika kau benar ingin tahu apa jawaban atas pertanyaanmu, sebenarnya bukan hal sulit. Di antaramu ada yang menganggap bahwa aku ini acuh dan tak peduli atas segala pertanyaan yang kau desiskan. Mungkin kau hanya kurang melihat, kurang mendengar, atau kurang merasa. Padahal jika kau mau bersungguh-sungguh, semua pasti akan sampai pada jawabannya karena segala jawaban sebenarnya sudah tersedia sejak lahir pertanyaan. Jawaban-jawabanku selalu memancar tanpa henti. Aku memang selalu begitu dan akan terus begitu. Aku tak ingin berbuat setengah-setengah, karena hal itu bukanlah sifatku.
Aku adalah ketuntasan. Aku adalah keutuhan. Aku adalah kebermanfaatan. Semua yang ada dalam genggamanku, utuh dan bermanfaat. Kalau ada yang terlihat cacat dan tak bermanfaat, itu hanya karena kau belum tahu saja. Maka ketika itu sejatinya kau belum mengetahui aku. Aku seperti matahari. Tak pernah padam dalam memberikan pengertian. Aku inti cahaya. Terang benderang jika kau telah sampai pada pengertianmu. Meskipun kau memadamkan semua lampu. Bahkan jika kau menutup mata sekalipun. Cahaya pengertianku tak terhalang materi. Cahaya pengertianku mampu menembus tembok bahkan yang kerapatannya besi. Maka tidak ada yang bisa menghalangi jika aku sudah berkehendak hinggap di kepala atau dada siapa pun. Meskipun dia ingkar atas keberadaanku sekalipun, aku tetap bisa singgah dalam rumahnya dan lalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu.
Aku tak membeda-bedakan siapa pun, baik antara yang mengakui keberadaanku maupun yang tidak mengakui keberadaanku karena keharusanku hanyalah tinggal dan lalu memberikan pengertian tentang apa yang dipertanyakan. Aku akan terus berbicara tentang segala tanpa diminta. Aku bukan suara tapi aku ada dalam suara. Aku bukan bunyi tapi aku ada dalam bunyi. Aku tak punya bentuk karena aku bukan benda. Aku tak butuh makan dan minum. Apakah matahari butuh makan dan minum? Tapi aku bukan matahari, meskipun cahayaku lebih benderang dari matahari yang paling pijar. Aku hanya memberi dan tak butuh diberi. Aku ada di mana-mana, tapi hakikatku tetaplah satu. Meski kau menyebutku dengan berbagai nama, aku tetaplah satu aku. Aku sumber dari segala sumber; pikiranmu, kreasimu, nafasmu, denyut jantungmu.
Aku ada di dalam aku juga ada di luar. Aku membuka segala yang tertutup, aku juga menutup segala yang terbuka. Aku tak terpengaruh siang dan malam; seperti kau yang tertidur di malam hari lantas terbangun setelah semua berubah benderang. Aku sangat lembut dan bisa menyusup dalam setiap selmu tapi aku juga sangat besar karena bisa menggenggam dunia. Aku mencatat tiap kelahiran, aku juga mencatat tiap kematian. Aku hidup dalam setiap kehidupan, aku juga mati dalam setiap kematian. Aku hidup saat kau hidup. Aku mati saat kau mati. Tapi aku akan selalu ada karena aku adalah aku.
Seorang anak kecil bertanya kepada ayah ibunya tentang siapa aku, kutuntun ayah ibunya untuk menunjuk dadanya; aku selalu ada di situ. Jika ingin melihat dan bercakap-cakap denganku, tempat terdekat adalah dadamu—meski keberadaanku tak mutlak butuh tempat. Jika kau ingin leluasa mendengarkan suaraku, maka luaskanlah dadamu. Suaraku akan sulit didengar jika kau menyempitkan atau bahkan menutup pintu-pintu dan jendela dadamu. Dada adalah telingamu juga. Dada juga adalah mata karena bisa kau pergunakan untuk melihat segala kebenaranku.
Sungguh sangat mudah untuk kita saling bertemu, saling melihat, dan saling memahami. Meskipun aku begitu besar dan tak terjabarkan, meskipun aku begitu lembut sampai kadang tak terindra, tapi sesungguhnya aku begitu dekat denganmu. Sungguh. Sampai-sampai kadang tumbuh pemikiran; aku adalah kau, kau adalah aku.
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar