Judul: Cinta yang Mencerahkan, Gayatri Sadhana Laku Spiritual bagi Orang Modern
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: Azka Mulia Media
Cetakan: 1/Mei 2012
Tebal: x + 238 halaman
ISBN: 978-979-090-357-9
Harga: Rp40.000
Sahabat penulis buku bercerita kisah miris (halaman 194). Ia sempat membeli rumah mewah seharga 500 dolar di Amerika Serikat. Tapi karena tak mampu membayar kontan maka ia berutang ke bank. Cicilannya jangka panjang, mencapai 30 tahun lebih. Dalam rencana tersebut, ia memasukkan kenaikan pangkat, kenaikan gaji, dan bonus dalam kalkulasinya.
Ironisnya, baru membayar uang muka dan cicilan selama 1 tahun lebih sedikit, negeri adidaya tersebut tumbang diterjang krisis ekonomi. Harga properti tak sekedar jatuh, tapi terjun bebas. Rumah seharga 500 ribu dolar dilelang seperti kacang goreng. Harganya jadi 200 ribu dolar saja. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ia terkena PHK pula. Karena perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar. Alhasil, rumah tersebut disita bank.
Lewat buku ini, Anand Krishna menganalisis secara kritis. Jika ada yang merugi sedemikian rupa, tentu ada yang meraup keuntungan. Karena hukum ekonomi mengatur mekanismenya secara gamblang. Pun pola ini berulang hampir setiap 100 tahun. Yakni tatkala great depression (1924) yang dipicu runtuhnya Wall Street dan kemudian terjadi lagi pada 2007 saat benua biru (baca: Eropa) dan dunia mengalami krisis akut hingga kini. Lantas, siapa yang memancing di air keruh tersebut? Bacalah setiap lembarnya, Anda niscaya temukan jawabnya.
“Cinta yang Mencerahkan, Gayatri Sadhana Laku Spiritual bagi Orang Modern” menawarkan pula solusi konkrit. Sehingga sidang pembaca dapat lolos dari perangkap tersebut. Caranya dengan meminjam istilah Sai Baba (1926-2011), ”Ceiling on desire (Batasi keinginan).” Kenapa? Karena siapa yang memiliki banyak keinginan sejatinya orang miskin. Sedangkan, ia yang memiliki sedikit keinginan ialah orang kaya (halaman 196).
Secara lebih rinci penulis produktif 150 buku lebih tersebut menguraikan detailnya. Ketika seseorang mengatakan, “Aku ingin ini, aku ingin itu…menjadi semacam afirmasi bahwa aku tak memiliki apa-apa. Aku miskin. Oleh sebab itu aku ingin ini, aku ingin itu, aku mau Dolar, aku mau Euro, aku mau Yen, aku mau Rupiah, aku mau Poundsterling, aku mau Yuan, aku mau Rupee, dst.” Para koruptor masuk dalam kategori ini. Bahkan kitab suci pun di mark up anggarannya.
Mereka menjadi miskin karena afirmasinya sendiri. Ia mengemis dan menjadi hamba dunia, “Berilah aku, berilah aku ini, berilah aku itu…” Ia menafikan kemampuan diri untuk meraih keberhasilan lewat jerih-payah dan kerja keras. Karena malas, lebih enak menjadi pengemis. Padahal itu sungguh merendahkan derajat kemanusiaan kita.
Alhasil, orang tersebut bergantung pada belas kasihan orang lain. Ibarat tumbuhan parasit yang menumpang pada induk semang. Uniknya, menurut aktivis spiritual lintas agama ini, ketergantungan itu bisa juga pada indoktrinasi/dogma tertentu. Sang Jiwa Ksatria melata lebih dina ketimbang cacing. Ironis bukan? Tapi sungguh ini berdasarkan kisah nyata.
Buku ini juga mengungkap fakta ilmiah. Ketika doa Gayatri dilantunkan dengan tulus dan tepat, “ia” tidak membutuhkan waktu sekian tahun cahaya untuk sampai ke matahari galaksi kita. Mengacu pada prinsip mekanisme kuantum (quantum mechanism), vibrasinya meloncat dari satu galaksi ke galaksi lainnya dalam 9 detik waktu bumi. Saintis J.B.S Haldane (1892-1964) menganjurkan agar mantra Gayatri dipahat di atas setiap pintu laboratorium dunia.
Tak hanya memaparkan teori, buku ini memberikan latihan praktis (halaman 211-227). Salah satunya Self Empowerment with Love (SELO). Sikap welas asih musti mewarnai keseharian ziarah hidup. Tentu dimulai dengan mencintai diri sendiri. Latihan ini paling bagus dilakukan pada pagi hari sebelum memulai aktivitas. Atau ketika sore hari sepulang kerja dan sebelum makan malam. Energi Kasih begitu feminin dan inklusif. Ia bersumber dari Bunda Alam Semesta (Mother of Universe) yang memeluk hangat semua anak-Nya.
Pun tak sekadar beretorika, secara personal penulis sungguh merasakan keampuhan mantra Gayatri. Pasca penahanan sepihak hakim Hari Sasangka pada April 2011 silam, ia menjalani aksi mogok makan selama 49 hari di Rutan Cipinang. Sebagai protes atas kebobrokan hukum di Indonesia. Saat itu, Anand hanya berbekal tasbih dari Lama Gangchen Rinpoche asal Tibet.
Alunan mantra Gayatri menemani Anand tatkala meregang nyawa antara hidup dan mati. Pada bagian kata pengantar Prof. Dr. I Made Titib, PhD, Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Bali mengapresiasi perjuangan tanpa kekerasan (non-violence) tersebut, “Saya sampaikan selamat kepada Anand Krishna yang demikian tabah. Beliau bagaikan Yudhisthira yang tegak di medan perang. Begitu tegar menghadapi pelbagai cobaan.”
Buku setebal 238 halaman ini merupakan referensi bagi siapa saja yang berniat melakukan olah batin. Universalitasnya dapat diterapkan dalam setiap lokus kehidupan. Sebab, menyitir pendapat Maulana Wahiduddin Khan, “Kemajuan spiritual tidak bisa diupayakan lewat pemahaman intelektual atau perdebatan teoritis, spiritualitas mesti dialami sendiri.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM (Sekolah Alam) Angon Yogyakarta)
Sumber: Kompas, 20 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar