Pages - Menu

01 Juni 2012

E l i a n a

Cerpen M. Nurcholis

Eliana sedang dilanda kegundahan yang sangat. Sedari tadi ia gelisah, seakan esok adalah hari akhir dari hidupnya.

Beberapa pasien gigi yang datang kepadanya ia perlakukan sekenanya. Pasien yang berkonsultansi dijawab Eliana tanpa mencermati betul permasalahan yang disampaikan, sedang pasien yang sudah ada janji dilakukan odontektomi terpaksa ia undur jadwalnya. Tak heran, mereka keluar dari kliniknya dengan wajah masam dan merah, tersebab dua hal: menahan sakit giginya dan kekecewaan terhadap pelayanan Eliana. Entah apa sebab Eliana berlaku demikian.


Mari, sebaiknya kita kembali ke Eliana yang sedang terpekur di meja kerjanya. Telapak tangan kanannya ia letakkan menopang wajah putih mulus itu. Rambutnya yang hitam dan panjang tergerai itu terlihat kusut. Matanya sedikit berair. Eliana betul-betul sedang dirundung masalah yang sangat pelik.

Eliana mendesah,
“Oh, Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Nanti malam aku akan dipertemukan dengan jodohku. Bagaimana aku harus menghadapi ini?”

Eliana diam sejenak, mengetuk-ketukkan ujung pulpennya di atas meja kayu. Betul-betul posisi yang sulit, bagaikan telur di ujung jarum. Yang barangkali akan stabil apabila jarum itu ditusukkan sekaligus ke dalam telur itu, yang berarti dirinyalah yang akan terluka dan menderita dalam kondisi yang tetap: perkawinan.
Bukan tanpa sebab Eliana merasa gundah dengan perjodohan ini. Usianya kini menginjak tahun ke-29.
Sebuah usia yang tidak lagi muda untuk ukuran seorang perempuan. Tahun depan ia sudah berkepala tiga. Bila ia masih sendiri dan tak kunjung menikah, maka predikat perawan tua bisa-bisa melekat padanya. Maka dari itu—karena alasan yang akan diceritakan lebih lanjut—ibunya telah menyiapkan seorang laki-laki untuk menjadi suami Eliana.

Eliana resah. Ia masih sendiri sampai dengan detik ini bukan karena ia tidak ada lelaki yang meliriknya. Eliana adalah gadis cantik bermata sendu, bila engkau melihat matanya itu seakan engkau melihat telaga biru yang syahdu. Rambutnya hitam dan panjang serupa surai kuda eboni yang mengkilap. Parasnya pun khas, wajahnya sedikit tirus dengan bibir mungil yang menghiasi topografi wajah yang begitu indah, begitu manis.
Eliana juga mempunyai otak yang cemerlang. Kecerdasannya terbukti dari bagaimana ia menyelesaikan pendidikan Kedokteran Gigi-nya dan mengambil program ahli bedah gigi setelahnya. Semuanya ia dapatkan dengan beasiswa karena prestasi. Saat ini ia sudah membuka klinik gigi miliknya sendiri disamping menjadi dokter rujukan di Rumah Sakit Pemerintah Pusat. Begitulah Eliana, sangat cemerlang dalam hal prestasi, wajah yang seperti bidadari. Namun, mengapa ia masih sendiri?

Barangkali, tidak ada alasan paling kuat dari Eliana selain mencari pasangan hidup yang terbaik menurutnya. Eliana berpendapat, bahwa hidup ini hanyalah satu kali. Oleh sebab itu, harus dihabiskan dengan orang yang benar-benar tepat.

Bagaimana kiranya tepat itu? Ah, barangkali Eliana pun bingung dibuatnya. Sempat ia menjalin hubungan dengan seorang pemuda dua tahun lalu. Seorang pemuda yang ia anggap mempunyai segalanya; berasal dari keluarga kaya, bekerja di perusahaan multinasional serta berparas tampan. Kukira, semua wanita yang memandangknya lebih dari satu detik akan jatuh hati. Namun setelah beberapa waktu mereka menjalin komunikasi, Eliana merasa pemuda tadi adalah orang yang terlalu mementingkan pekerjaannya.

Eliana menganggap bahwa hal tersebut tidaklah baik. Bagaimana nanti waktu untukku dan keluarga? Begitu pikir Eliana. Akhirnya, pemuda tersebut kini sudah menikah dengan sahabat Eliana, Cantika. Eliana tidak menghadiri pernikahan mereka. Entah, agaknya Eliana masih tidak dapat merelakan kepergian pemuda itu. Ah, seharusnya Eliana memikirkan ulang sebelum meninggalkannya dulu. Eliana meratapi penyesalannya. Namun penyesalan setelah kenyataan tidaklah berguna.

Dorongan untuk segera menikah juga muncul dari keluarganya, terutama ibunya. Ibunya paham betul bagaimana perasaan Eliana karena dulu ia pasti pernah merasakan hal yang serupa. Menurut ibunya, Eliana telalu memilih sosok yang paling sempurna di matanya. Padahal, tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Justru mencintai pasangan yang tidak sempurna dengan cara sempurnalah yang seharusnya dilakukan.
“Eliana, kapan kamu menikah?” Tanya ibu Eliana pada suatu kesempatan.

“Entahlah, Ibu. Eliana masih belum berpikiran ke sana. Saat ini Eliana sedang fokus dengan pekerjaan Eliana.”
“Eliana, Sayang..” Ibu mendekat Eliana, mengusap lembut rambut anak kesayangannya itu, “Mencari pasangan hidup memang harus dipikirkan masak-masak, tapi bukan berarti kamu harus terus menunggu seseorang yang terbaik.”

“Iya, Ibu. Eliana tahu..”

“Lantas, mengapa kamu belum menentukan pilihan?”

Eliana mendesah. Perihal jodoh adalah hal paling sensitif baginya. Ia lebih memilih mengerjakan operasi operculectomy paling rumit ketimbang menjawab masalah jodoh.

“Eliana, mencari jodoh seperti engkau memilih pohon tertinggi di dalam hutan dengan cara engkau berjalan mundur. Ketika engkau menemui sebuah pohon yang kau anggap tinggi, sedangkan engkau masih berharap ada pohon yang lebih tinggi di belakangmu, engkau akan terus berjalan mundur.

Terus begitu, ketika engkau masih mengharapkan ada pohon tertinggi di belakangmu, engkau akan terus berjalan mundur, sehingga engkau tersadar bila hutan itu telah habis. Begitulah, jangan sampai karena menunggu orang yang terbaik, usia kamu lupakan.” Ibu tersenyum kepada Eliana. Cerita barusan ia ambil saat kuliah filsafat dulu, ketika masih menjadi mahasiswa.

Eliana ingat benar nasehat ibunya, namun ia terlalu capek untuk memikirkan siapa pria terbaik untuknya. Memang ada beberapa kandidat. Seperti John, teman sejawatnya di Rumah Sakit. Arif, seorang eksekutif muda yang menjadi pasien tetapnya dan selalu mengajaknya makan malam. Aryo, seorang seniman yang ia kenal dalam acara amal Rumah Sakit. Tetapi Eliana ragu dengan keputusan yang akan diambilnya. Jangan-jangan, nanti bagaimana, apakah aku akan bahagia? Begitulah pertanyaan yang kerap muncul di pikirannya. Sampai pada akhirnya, ia memutuskan untuk menyerahkan masalah jodoh ini kepada satu-satunya orang yang paling mengerti dan mencintainya: Ibu.

Teman-teman Eliana tak kurang usaha untuk menjodohkannya dengan pemuda terbaik yang ada. Namun, Eliana tetap bersikukuh menyerahkan urusan ini kepada Ibunya. Dan nanti malam adalah waktu yang telah ditentukan oleh Ibunya untuk bertemu dengan pemuda yang pilihan.

“Eliana, jangan lupa nanti malam kamu ibu pertemukan dengan Dodi. Kamu kerjanya jangan diforsir, nanti kecapekan. Jaga kondisi badan ya..” Begitu pesan ibu melalui pesan singkat yang dikirimkan ke handphone-nya.

Namun sesungguhnya ibunya tidak mengerti bagaimana berkecamuknya hati anak kesayangannya ini.

Eliana mulai berkemas, ia rapikan rambut panjangnya yang mendadak kusut tadi. Sekali lagi ia menghela nafas panjang, lalu menghembuskan segala beban yang bergemuruh di dadanya.  Sungguh hari yang berat, meskipun hanya sedikit yang ia lakukan di hari ini. Tapi, Eliana telah menemukan sesuatu dari perenungannya.

Ya sedari tadi ia merenung, Pembaca Budiman. Memikirkan bagaimana kehidupan setelah menikah. Memikirkan bagaimana menjalani hidup sampai mati nanti dengan seseorang, seseorang yang seharusnya terbaik. Yang paling mengerti bagaimana dirinya. Karena apa? Ya, ia menjalani seluruh hidupnya dengan orang itu. Semacam pakaian yang akan ia kenakan selama hidup. Oh, Eliana sungguh lelah memikirkan asumsi-asumsi itu.

Namun Eliana kini terbangun. Ia seperti mendapat ilham dari perenungannya. Ia sudah mempertimbangkan masak-masak nasihat-nasihat orang-orang yang mencintainya. Kini ia telah terbangun dengan keyakinan dan kesimpulan. Bahwasannya hidup ini adalah menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Sebagaimana ujian-ujian akademis yang telah ia lewati dengan gilang-gemilang, segala urusan hidup pun pasti akan ada penyelesaiannya. Dan perihal jodoh ini, oh, sungguh kini Eliana telah menganggapnya sebagai tantangan hidup.

Eliana berpikir bahwa jodoh yang dipilihkan oleh ibunya ini adalah yang terbaik. Seorang ibu yang sangat menyayangi dirinya dan mengetahui betul tentang dirinya tidak akan memilihkan jodoh buruk bagi anaknya. Tapi terbaik? Ah, Eliana kini berpikir bahwa sesuatu terbaik di dunia ini hanyalah asumsi. Kita menganggap sebuah cerita itu baik tergantung dari bagaimana asumsi kita, yang tentu berbeda dengan asumsi orang lain.
Eliana mengemasi peralatannya, buku administrasi dan kartu pasien ia rapikan ke dalam ordner dan file holder.

Wajahnya sumringah, seolah baru saja mendapati bahwa hidup ini hanyalah sekali dan buatlah ia menjadi menyenangkan. Ya, Eliana kini siap untuk menemui pohon yang akan melindunginya dari terik matahari dan hujan badai. Tentu, pohon yang tertinggi baginya—kini.***

Pengadegan, 25 Februari 2012
Odontektomi: operasi pengeluaran gigi (biasanya gigi geraham) yang terpendam di gusi.
Operculectomy : operasi rumit pembuangan gusi berlebih yg menutupi gigi, biasanya menggunakan alat khusus (laser).

M. Nurcholis lahir di Cilacap, 22 Juni 1986. Sedang belajar dan bergiat sastra. Cerpen dan puisinya dimuat di beberapa media massa. Buku kumpulan cerpennya Hampir Sebuah Metafora (2011).
Dapat dihubungi di www.kolasecerita.wordpress.com
Twitter: @silurnoch

Ssumber: Kompas, 31 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar