Cerpen Lailatul Kiptiyah
Tentang Bik Ros
“Bik Ros terlahir dengan beberapa cacat yang di sandangnya. Selain kaki sebelah kanannya pengkor1, daya tangkap pikirannya juga sangat rendah. Bik Ros tidak bisa membaca dan menulis walau tentu dulu Bik Ros di masukkan juga ke SD. Tiga tahun duduk di kelas satu SD tidak satupun pelajaran mampu diikutinya.”
***
Genap tiga bulan aku pulang dari perantauanku yang panjang. Kini aku berada dekat kembali dengan ibu dan akan dekat seterusnya karena telah kuputuskan pulang ke rumah selamanya. Menyudahi masa perantauanku yang hampir dua puluh tahun dengan sekali pulang dalam setahun yaitu ketika lebaran. Aku anak tunggal. Ayah telah meninggal lima tahun lalu. Dan Bik Ros- adik perempuan ayah yang tinggal bersama kami sejak aku masih bayi itu pun telah meninggalkan kami untuk selamanya enam bulan yang lalu. Jadi selama tiga bulan sebelum kepulanganku ibu praktis hidup sendirian di rumah.
Ada yang selalu kuingat dan kukenang atas keberadaan Bik Ros. Bik Ros dulu pernah menikah ketika tahun pertama aku di perantauan. Namun keadaanku yang serba sulit waktu itu tidak memungkinkan untuk pulang menghadiri pernikahannya- perempuan lajang yang pada saat menikah berumur empat puluh tahun lebih itu. Juga satu-satunya Bibi yang kupunya. Namun pernikahan Bik Ros hanya bertahan seumur jagung begitu ibu menyebutnya. Bik Ros dan suaminya berpisah lantaran suami Bik Ros di mata ibu dan ayah telah menyalahi syariat agama.
“Ia dengan paksa menggauli bibimu di siang hari bulan puasa. Waktu itu ibu dan ayahmu sedang pergi ke pasar membeli beberapa keperluan untuk lebaran.”
Bik Ros mengaku kepada ibu bahwa telah berulang kali kejadian serupa terjadi di siang hari selama bulan puasa itu.
“Ia mengancam bibimu dengan sebilah pisau yang selalu tersengkelit di pinggangnya tanpa sepengetahuan kami .”
Hari kedua lebaran suami Bik Ros meninggalkan rumah dan tak pernah kembali lagi hingga Bik Ros meninggal. Ibu dan ayah baru tahu beberapa hari kemudian jika suami Bik Ros mempunyai gangguan kejiwaan setelah pengakuan Lik Komar- kerabat jauh ayah yang dulu menjodohkan Bik Ros dengan laki-laki yang menjadi suaminya itu. Kata ibu ayah marah besar kepada Lik Komar sampai Lik Komar jarang berani bertandang lagi ke rumah.
Setelah suami Bik Ros pergi dari rumah, ibu bergegas membawa Bik Ros ke tempat praktek bidan di kecamatan memeriksakan apakah ada kemungkinan Bik Ros mengandung. Dan ternyata hasilnya negatif. Hal itu sedikit melegakan hati ayah. Walau juga membuatnya geram.
“Entah bagaimana jadinya kalau ia mempunyai anak. Laki-laki keparat sakit jiwa seperti itu berani-beraninya menikahi adikku.”
Sejak itu Bik Ros menjadi sangat pendiam. Lebih suka mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar.
“Bibimu juga sangat lama jika berada di kamar mandi. Entah apa yang dilakukan dan dipikirkannya di sana. Mungkin dulu lebih baik jika ia tidak usah menikah.”
Bik Ros terlahir dengan beberapa cacat yang di sandangnya. Selain kaki sebelah kanannya pengkor1, sedangkan telapak kaki bagian dalam menghadap ke atas--daya tangkap pikirannya juga sangat rendah. Bik Ros tidak bisa membaca dan menulis walau tentu dulu Bik Ros di masukkan juga ke SD. Tiga tahun duduk di kelas satu SD tidak satupun pelajaran mampu diikutinya.
Kemudian nenek mengeluarkannya dari sekolah dan diajarinya Bik Ros mengaji. Kata ayah nenek menangis haru ketika Bik Ros bisa begitu lancar membaca huruf-huruf hijaiyah itu.
Jadi Bik Ros tidak buta huruf sepenuhnya. Ia bisa mengkhatamkan Juz Ama’ dan berlanjut ke Alqur’an sampai khatam pula.
Dan dalam kartu indentitasnya-hingga kini- aku selalu mengeja namanya yang terbubuh dengan huruf arab sebagai tanda tangannya.
***
Tentang Luka di Mata Ibu*
“Dan aku seperti tak hendak mengusik kediaman ibu, kupandangi terus sepasang matanya. Perlahan.., sangat perlahan kucoba mengeja apa yang samar terpancar dari sepasang mata ibu. Seperti kata-kata yang berlompatan kemudian berlesatan memutar-mutar mengerumuni sepasang mata ibu. Kata-kata yang lamat kutangkap seperti sajak-sajak dengan bunyi senyap.”
***
Setelah berganti pakaian sehabis mandi aku keluar kamar menuju dapur. Ibu tengah menyiapkan santap malam kami. Melihat rambutku yang basah ibu menegurku.
“Rupanya itu kebiasaan burukmu di perantauan. Mandi malam-malam.”
Aku tersenyum kecut lalu menata meja dapur menyiapkan dua piring kosong, dua gelas kosong, serta seteko air putih.
“Apa yang kau tulis. Kulihat sejak kau pulang kau terus menulis.” tanya ibu sambil tangan kanannya mengangkat hidangan dari wajan dan menempatkannya ke sebuah pinggan yang di pegang di tangan sebelah kirinya.
“Aku menulis sajak Bu.” aku menjawab dan menatapnya sambil tersenyum Ibu membawa pinggan berisi hidangan dengan aroma menggiurkan itu ke meja dapur yang telah kutata.
Alamaaak...aromanya sungguh lezat dan nikmat. Kau tahu, masakan ibu selalu enak sejak dulu. Malam ini ibu menyiapkan menu kesukaanku- pepes ikan asin pedak garang1 dan trancam2 yang berisi; daun beluntas yang di rajang lembut, daun kenikir, juga kacang panjang yang juga di rajang lembut, cacahan mentimun berikut isinya lalu diberi taburan butiran lamtoro atau yang biasa disebut petai cina yang telah di pisahkan dari kulitnya.. Dilengkapi dengan taburan daun kemangi, menu yang semuanya serba mentah itu meruapkan aroma segar, pedas juga semerbak. Juga tak lupa di beri kuah santan sedikit yang diperas dengan air matang hangat. Santannya cukup sedikit saja sekadar membuat bumbu dan semua bahannya supaya menyatu, meresap, memadukan rasa sedap.
Oiya masakan terancam ibu memang luar biasa. Rahasia sejatinya ada pada bumbu. Bumbunyalah yang membuat menu trancam itu terasa lain dari menu masakan lainnya. Ditaruh di atas cobek tanah besar adalah; garam secukupnya, tiga biji cabai rawit merah, satu setengah siung bawang putih, seruas kencur lalu semua bumbu digerus halus, di tambahkan tiga lembar daun jeruk purut di gerus kasar saja dan rahasia bumbu terakhir adalah dicolok secuil gula jawa.
Kemudian semua bahan sayuran tadi di tempatkan di wajan- supaya tidak tercecer kemana-mana- lalu bumbu yang sudah di gerus dimasukkan, setengah tinggi gelas santan yang diperas dengan air matang hangat dituangkan, diaduk hingga semua bahan dan bumbu juga santan bercampur. Lalu trancam pun siap disantap. Aroma wangi yang khas dan sedap segera meruap. Aroma yang ditimbulkan oleh kencur dan daun jeruk yang berpadu dengan sayuran segar itu selalu membangkitkan selera seperti sesuatu yang menagihkan, yang selalu kurindukan. Menu yang menurutku sangat pas untuk disantap ketika petang atau sebagai santapan malam itu tak pernah kujumpai ketika di perantauan.
Kami memulai santap malam. Perasaanku damai dan gembira. Piringku terlihat penuh sementara piring ibu isinya separuh dari piringku. Kelihatan kan betapa rakusnya aku hehehe... Ditambah pula, masih di atas meja tempat santap malam kami- tepatnya di dekat teko air putih- setoples penuh berisi rempeyek kacang tanah renyah buatan ibu dengan taburan daun jeruk purut yang di rajang kasar, siap menyemarakkan santap malam kami
“Kau seperti ayahmu. Jatuh cinta setengah mati kepada sajak-sajak sentimentil itu.” kata ibu setelah memasukkan suapan pertama ke mulutnya.
“Maka dari itu aku bangga pada ayah, Bu. Apakah Ibu tidak? Lagian kan sajak-sajak itu tidak melulu sentimentil Bu.”
Ibu sejenak menggelengkan kepalanya dan tersenyum samar melihat mulutku yang penuh ditambah bunyi keriuk rempenyek beradu dengan gigiku yang kuat.
“Apa tidak ada keinginanmu untuk menikah selain menulis sajak-sajak sentimentil itu?” ibu tidak menjawab pertanyaanku.
“Tentu aku akan menikah Bu. Nanti jika waktunya telah tiba. Ibu doakan ya. Dan lagi pula sajak-sajakku tidak melulu sentimentil kok Bu. Coba Ibu nanti membacanya pasti Ibu akan bisa merasakan nuansa rasa yang berbeda-beda...
Misalnya tentang cuaca yang tiba-tiba berubah sekenanya. Atau tentang perkara-perkara yang membelit palu di sidang-sidang pengadilan tinggi itu, yang membuatnya sangat lambat untuk bisa mengetuk meja. Juga tentang perkosaan-perkosaan biadab yang marak menimpa perempuan-perempuan naas, malam-malam di bis-bis kota atau di angkutan-angkutan umum itu, Bu.
Atau juga tentang tragedi baru-baru ini, pembantaian keji di Mesuji. Dan tindak kekerasan yang diterima warga sipil di tanah jauh sana di Sape, Bima. Juga tentang kisah-kisah memedihkan lainnya, Bu. Seperti hukuman mati yang diterima para TKI kita di Arab Saudi juga di negara-negara lainnya. Yang sering kali luput dari perhatian pemerintah kita, Bu. Atau jikalau toh ada upaya pembelaan, seringkali datangnya terlambat. Sehingga para TKI yang menjadi korban itu hanya bisa memulangkan nama dan jasad yang telah menjadi mayat.”
Ibu terdiam. Lalu kami melanjutkan santap malam dalam diam. Entah, barangkali kami larut dalam perasaan kami masing-masing. Lalu setelah perlahan menelan suapannya, ibu menatapku lama. Kulihat di piringnya masih sedikit tersisa santap malamnya. Sementara aku yang bagai kerakusan telah melicin-tandaskan piringku. Masih kutambah lagi dengan mengunyah rempeyek renyah kacang tanah buatan ibu.
“Jadi selama di perantauan kau terus menulis sajak?”
“Iya Bu, selama di perantauan aku terus menulis sajak.”
“Tentang segala hal itu?”
“Tentang segala hal itu.”
Ibu menyandarkan tubuhnya yang kurus berbalut kebaya berbahan katun bercorak kembang-kembang kelopak ungu ke sandaran kursi kayu di belakang tubuhnya. Rambutnya yang panjang dan telah memutih di beberapa bagian itu disanggul dengan rapi, ditahan dengan sebuah tusuk konde dengan warna tembaga dimana bagian ujung atasnya yang mencuat dari sanggulnya ada sebuah bulatan sebesar kemiri.
Kulihat ibu yang masih diam dengan mata menerawang. Kuamati garis wajahnya yang lembut bersahaja yang kini telah mengerut di beberapa bagian kulit permukaannya. Ada sebuah tahi lalat bertengger manis di atas garis bibir ibu- sebelah kanan lekukan bibir atas ibu tepatnya. Dan aku seperti tak hendak mengusik kediaman ibu, kupandangi terus sepasang matanya. Perlahan... sangat perlahan kucoba mengeja apa yang samar terpancar dari sepasang mata ibu. Seperti kata-kata yang berlompatan kemudian berlesatan memutar-mutar mengerumuni sepasang mata ibu. Kata-kata yang lamat kutangkap seperti sajak-sajak dengan bunyi senyap. Lalu perlahan seperti membentuk guratan luka yang sebentar timbul sebentar mengendap. Ada apa ini? Ah, aku pasti ngelantur seperti biasanya berharap bisa lahir anak-anak sajak berikutnya....ahhh.
Tiba-tiba ibu sersuara lirih.. sangat lirih.
“Tahu kah kau ayahmu sangat suka menulis sajak?”
“Iya Bu, aku tahu.”
“Sedari dulu ayahmu selalu menulis dan menulis sajak.”
“Tapi mengapa hal itu membuat Ibu sedih?”
“Tidak...seandainya saja yang ditulisnya....”
Ibu terdiam kembali. Dengan mimik yang begitu sedih ia menatapku. Seketika aku merasa seperti ada sesuatu yang salah, tersembunyi, atau sebuah dugaan tiba-tiba muncul. Apakah semasa hidup ayah telah menyia-nyiakan ibu tanpa sepengetahuanku. Apakah ayah pernah berselingkuh dengan wanita lain dan ibu diam-diam mengetahuinya. Atau apakah ayah...
“Ayahmu selalu menulis sajak tentang dia.”
“Dia siapa Bu...?”
Nafasku mendadak seperti tercekat. Detak jantungku berubah cepat kemudian memburu. Dan semakin memburu ketika bulir-bulir bening dari kelopak mata ibu perlahan bergulir dan pecah membentuk garis tipis yang basah di kedua belah pipi ibu. Lalu suara ibu terdengar bagai datang dari lorong yang asing dan jauh. Sangat jauh. Begitu perlahan lalu berubah seperti irama sedih yang menggelombang.
“Dia adalah perempuan yang telah mengandungmu…yang meninggal kehabisan darah beberapa menit setelah melahirkanmu. Dan aku- ibumu ini, adalah saudara misan dari ibu kandungmu. Aku telah menjadi yatim piatu sejak usia dua belas tahun- ketika kedua orang tuaku yang waktu itu- dituduh terlibat dalam peristiwa gestapu di bunuh di depan mataku. Kemudian nenek dari ibumu mengambilku untuk diajak tinggal bersama. Sejak itu aku dan ibumu tumbuh bersama. Kebetulan usia kami juga sebaya. Ibumu perempuan yang sangat cantik, anggun, dan baik hatinya. Namun selalu sakit-sakitan. Dan ayahmu sangat mencintainya...hingga sepanjang hidupnya.”
Air mataku telah lama runtuh begitu pula air mata perempuan arif dihadapanku itu juga terus menderas jatuh. Sepasang matanya yang tadi menggurat luka itu kini bagai tersaput tirai bening. Seperti kata-kata yang berusaha menyampaikan suara dari kedalaman hati paling hening. Kuangsurkan kedua tanganku merengkuh jemarinya dengan perasaan bergetar. Kugenggam dengan kencang lalu kuangkat perlahan, kubawa kearah bibirku, kukecup kulit-kulit yang mengeriput itu dengan hati yang basah membuncah...seiring bulir-bulir airmata kami yang kian pecah.
***
Sambil menyelesaikan memasak di dapur, kubenahi lembar-lembar kertas yang berserak di meja dapur. Lembaran-lembaran yang berisi sajak-sajak. Sajak yang lahir dari lorong sunyi. Lorong yang menggemakan suara. Suara yang datang dari luka-luka di mata. Terpendam dalam ruang waktu yang telah sangat lama.
Dari bingkai jendela kayu dapur, kuletakkan pandanganku ke kebun disamping kanan rumah. Ibuku dengan kepala ditudungi sebuah kupluk warna ungu cerah, berbalut kebaya bermotif kelopak bunga-bunga warna senada, dengan bawahan kain jarit panjang bercorak batik sidomukti, terlihat khusyu’ memetik cabai rawit merah. Tak jauh dari tempatnya berdiri sebuah bakul dari anyaman bambu teronggok diatas jajaran pohon nanas, penuh berisi petikan daun-daun beluntas, daun kenikir, lamtoro, dan petikan daun kemangi. Seekor prenjak hinggap di cabang batang kopi beberapa jengkal dari ibu berdiri.
Telah kususun sebuah rencana; makan malam kami kali ini kembali dengan menu trancam, pepes ikan asin pedak yang tengah kugarang, rempeyek kacang tanah buatanku dilengkapi sepoci teh tubruk dengan pemanis gula batu. Aku telah mengambil alih tugas masak-memasak di dapur dengan ibu setia mengajariku segala rahasia dapur. Dan sambil makan malam nanti akan kukisahkan pula tentang sajak-sajak. Sajak cinta khusus kubuat untuk ibu. Perempuan penuh cinta itu.
***
Jakarta, Januari-Juni 2012
*(bingkisan sederhana teruntuk ibundaku Siti Ngaisah yang bermukim di Blitar)
Catatan:
1).pengkor; telapak kaki bagian atas menekuk kedalam menjadi tumpuan kaki/telapak kaki.
2) trancam;menu hidangan khas Jawa yang berisi sayuran yang serba mentah (di rajang lembut/kasar)di beri bumbu garam, cabai rawit merah, kencur, daun jeruk purut dan sedikit gula jawa, juga ditambahkan sedikit santan kelapa yang di peras dengan air matang hangat.
3) garang; sama dengan panggang(setelah ikan dibungkus daun pisang lalu diletakkan dalam kuali tanah, di atas bara dalam tungku).
Biodata:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar-Jawa Timur. Menulis puisi dan cerpen. Saat ini bekerja di Jakarta.
Sumber: Kompas, 7 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar