Pages - Menu

09 Mei 2012

Rumah Burung

Cerpen: AK Basuki

keponakan-keponakanku, Aisyah dan Titi
“Rumah burung di mana, Pak?”

“Di suatu tempat, Nin.”

“Jauhkah?”

“Entahlah.”

“Ninin ingin diantarkan ke rumah burung, Pak. Ninin ingin main sama burung.”

“Suatu saat nanti, Nin. Suatu saat nanti.”

Tanganku lalu digenggamnya. Kedua bola matanya yang bulat penuh dan sehitam biji kelengkeng menatapku dengan binar sebuah bintang di galaksi terjauh yang tak bisa kudeskripsikan lebih lagi keindahannya. Gerakan kedua alisnya yang melengkung dan saling bertemu menegaskan padaku bahwa janji yang kuucapkan telah dipahatnya menembus kulit kepala mencapai otaknya, suatu waktu nanti harap akan ditepati.


“Ninin ingin pergi sekarang,” katanya kemudian dengan penekanan. Tapi ketika seekor srigunting hinggap lagi pada batang terendah pohon jambu, dia pun lupa dengan tuntutannya dan dengan jeritan khas anak-anak memburu burung yang lincah itu. Baru dua langkah dijajaginya, burung itu telah ketakutan, kabur terbang kembali. Terdengar desah kecewanya. Aku tersenyum.

“Marilah,” ajakku. Anakku itu hanya berdiri memandang pepohonan dengan burung-burung pagi yang berloncatan dari dahan ke dahan. Kadang menggoyang reranting dan mengirim embun lepas dari dedaunan mencapai tanah, beberapa memercik pada hidung dan kelopak matanya, tapi dia masih tetap terpukau terpaku, tak terganggu. Kuusap wajahnya lalu menarik tangannya untuk pulang. Pagi yang kami nikmati memang telah berlalu dan burung-burung menjalani kodrat alamnya masing-masing. Begitu pun seharusnya kami.

“Ke rumah burung, Pak,” bisiknya berkali-kali ketika akhinya kugendong dia karena jalannya serasa setengah hati dengan kepalanya terus bergerak mencari gerakan-gerakan burung yang seperti bersepakat bermain-main di sekitar kami.

“Ya, Sayang,” jawabku di telinganya.

Saat itu juga terpikir olehku untuk menangkapi semua burung yang beterbangan lalu kuletakkan di kedua belah tangannya yang gempal agar dapatlah burung-burung itu ditanya tentang rumahnya. Pastilah wajah Ninin akan riah, lalu bayangan teriakan-teriakan girangnya seakan menari-nari di kepalaku. Aku akan sangat berbahagia menjadi seorang yang dapat memberikan segala yang dimauinya. Apapun. Walau hingga saat ini hanya kesederhanaanlah yang menempati keinginan terdalamnya, tapi sungguh, tak ada yang lebih membahagiakan buatku selain mengetahuinya bahagia.

*****
“Apa yang kau lakukan?”
“Membuat rumah burung.”
“Seperti apa rumah burung yang akan kau buat itu?”
“Entahlah.”
“Kau yakin dengan apa yang kau lakukan?”
“Yakin sekali, Bu. Yakin sekali.”
Dari ekor mataku, kulihat istriku menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa orang yang melihatku pun bertanya-tanya hal serupa.
“Kau mau beternak lebah?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Ini rumah burung.”
Aku sendiri menghabiskan beberapa jam untuk membuat sebuah kotak sederhana dari papan sekaligus membawa dan mengikatnya pada dahan tertinggi yang bisa kucapai dari pohon mangga di samping rumah, dekat pada kamar Ninin. Aku tahu, burung-burung kerap menggoyang kembang-kembang mangga hingga berjatuhan dan menunda buahnya. Maka, kupikir pohon mangga itulah tempat yang paling tepat untuk rumah burung itu. Sudah terbayang di mataku beberapa ekor burung – kuharapkan beberapa jenis – akan memasukinya dan aku bisa sekedar menggenggam beberapa di antara mereka lalu memberikannya kepada Ninin.
“Kenapa tak kau beli saja seekor burung dengan sangkarnya?” tanya istriku setelah tahu rumah burung yang kubuat sama sekali belum dihinggapi seekor burung pun. Aku tersenyum.
“Aku ingin memberi pengetahuan tentang kemurnian alam pada Ninin. Dia harus melihat segala sesuatu secara wajar sesuai dengan imajinasinya. Jika aku tiba-tiba memperlihatkan dan memberinya burung dalam sangkar, bukankah dia tidak melihat proses yang terjadi, bagaimana burung itu dapat berada dalam sangkar? Lagipula dia sering bertanya padaku tentang rumah burung. Inilah rumah burung itu. Semua, burung apapun itu, kuharap datang dan masuk ke dalamnya.”
Kulihat mata istriku berkaca-kaca dan air matanya beberapa detik kemudian segera tumpah.
“Kenapa menangis?”
“Tentu saja karena haru.”
“Kenapa haru?”
“Aku ingin pula dapat mengerti anak itu seperti halnya kau.” Dia memelukku.
Itu sehari sebelum apa yang memang kuharapkan terjadi. Keesokan paginya, kulihat seekor burung mungil berbulu hitam dan berparuh kuning cerah bertengger di atasnya. Belum kulihat dia memasuki lubang yang kubuat di bagian depan, tapi itu sudah memberi girang rasa padaku. Tak sabar hatiku untuk memperlihatkannya pada Ninin. Dia belum tahu bahwa aku membuatkannya rumah burung justru tepat di luar kamarnya. Aku ingin di saat dia membuka jendela kamar itu di pagi hari, kelak dapat langsung dipandanginya rumah burung itu.
Tiap pagi selepas mengajak Ninin berjalan-jalan dan tentu saja masih mendengar ocehan-ocehannya tentang rumah burung, aku akan langsung mengamati kotak di atas pohon mangga itu. Memang tidak banyak burung yang berani untuk mendekat, tapi burung yang kulihat sejak awal hanya bertengger di atasnya justru kini telah berani memasukinya. Mungkin terpikat biji-biji jagung dan remah-remah roti yang kutebarkan di dalamnya, mungkin pula tertarik dengan gerombolan semut yang memang kadang kulihat merubung remah-remah saat aku memeriksa dan membersihkan rumah burung itu. Yang jelas, burung mungil berparuh kuning itu selalu berada di sana dan telah mengundang pula seekor dari jenis yang sama, mungkin pasangan hidupnya. Mereka, dua ekor burung itu, terlihat sangat nyaman bermain-main di dalamnya.
“Berapa yang sudah singgah hari ini, Pak?” bisik istriku. Sering dia turut denganku mengamati rumah burung itu.
“Dua. Mereka berpasangan. Ini satu pertanda baik. Jika mereka bisa menyarangkan telur di sana, bayangkan saja olehmu, Ninin akan bertetangga dengan sebuah keluarga burung.”
“Burung apa itu?”
“Entahlah.”
Istriku tersenyum lebar. Sepertinya sama denganku, dia telah membayangkan Ninin akan sangat senang. Teringat kembali pertanyaannya tentang rumah burung, kini dengan kepala tegak aku bisa menunjukkan kepadanya seperti apa rumah burung itu. Adakah yang lebih membahagiakan dari keinginan buah hati yang terpenuhi?
*****
“Di mana rumah burung, Pak?”
“Di samping kamarmu sendiri, Ninin.”
“Ninin bisa lihat?”
‘Tentu saja.”
“Kapan Ninin di antar kesana, Pak?”
“Sekarang, Nin. Sekarang juga.”
Kuperlihatkanlah padanya rumah burung yang selama ini memang kusembunyikan sementara darinya. Dengan adanya dua ekor burung yang memang sudah menjadi penghuni tetapnya, aku merasa percaya diri. Memang lucu saat mulut anakku itu terbuka lebar menganga dan kelopak matanya bekerjap-kerjap gembira segera setelah melihat rumah burung itu, tapi saat dia mulai akan berteriak-teriak, aku mencegahnya.
“Sshh...kalau kau berteriak dan membuat keributan, burung-burung penghuninya akan kabur. Siapa pula yang suka dengan tetangga ribut? Mereka tidak akan betah nantinya.” Ninin mengangguk-angguk dan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Lalu dengan gerakan komikal yang berlebihan dia mengendap-endap mendekat ke pokok pohon.
Tidak ada kelompok burung apapun hari ini. Aneh. Dua ekor burung penghuni rumah burung itu pun tidak terlihat.
Perasaan tidak nyaman muncul di hatiku. Apalagi Ninin mulai terlihat jenuh dan bertanya-tanya kenapa tidak dilihatnya seekor burungpun, walau kepalanya terus mendongak hingga aku khawatir lehernya akan menjadi lelah.
Kuputuskan untuk memanjat. Mungkin ada hewan lain yang menempatinya atau dasarnya telah menjadi kotor dan mereka jadi enggan mendekat sama sekali. Rumah burung itu memang sepertinya kosong, tidak ada tanda kedua burung itu di sana. Saat kemudian aku coba mengintip lewat lubang di bagian depan, beberapa sisa remah roti yang kemarin masih terlihat, begitupun biji-biji jagung, tapi ada sesuatu yang lain...seekor ular hijau!
Panas hatiku. Pasti ular itu yang telah membuat burung-burung pergi. Sia-sia pekerjaanku selama ini, justru di saat pertama aku akan memperlihatkannya kepada Ninin. Dalam kemarahan, aku mematahkan sebatang ranting kecil dan langsung memukul-mukulkannya ke bagian atas rumah burung itu. Dalam hati kumaki-maki ular sialan itu dan berharap kepalanya segera akan keluar dengan keributan yang kubuat lalu segera kupukul sekuat tenaga. Memang benar, kepala ular itu akhirnya keluar, tapi justru beberapa detik kemudian keseluruhan tubuhnya langsung mencelat melewati antara lengan dan perutku, lolos seperti ikan yang meliuk di antara jaring. Kaget karena lenganku memang sedikit kubuka untuk berkelit, keseimbanganku hilang, pegangan tanganku terlepas dan justru tak sengaja menyambar rumah burung itu di saat pijakan kakiku pun ikut terlepas.
Aku jatuh. Rumah burung itu jatuh.
Dunia gelap sekejap. Apa jadinya rumah burung itu? Rusakkah? Hancurkah? Kemana dua burung penghuninya? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti memaksaku untuk secepatnya membuka mata walaupun nyeri di sekujur tubuhku. Syukurlah, pada saat akhirnya mataku terbuka, kulihat rumah burung itu sudah ada di pelukan Ninin. Tidak rusak. Utuh walau jatuh.
“Rumah burung, Pak.”
“Ya, rumah burung,” sahutku sambil mencoba bangkit. Terasa jantungku diremas kecewa karena rumah burung itu telah kosong. Mudah-mudahan dia mau mengerti.
“Terima kasih. Ini rumah burung. Lihat, Pak,” katanya lagi menyodorkan kotak itu ke depan. Seperti sebuah keajaiban, dua ekor burung berbulu hitam dengan paruh kuning tiba-tiba saja hinggap di atasnya. Aku tersenyum, senyuman kebanggaan dan kebahagiaan. Ninin pun tersenyum, manis sekali. Apalagi saat itu sinar matahari pagi yang menerobos dedaunan menembak tepat pada wajah mongoloid-nya, wajah cantik yang akan terus menjatuhkan hatiku sampai kapanpun.

Cigugur, 15 Februari 2012

Sumber: Kompas, 8 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar