Oleh: Itje Chodidjah
Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 181 memang bagus untuk menghindarkan guru dari berdagang. Pasal tersebut berbunyi, "Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan".
Namun demikian, selalu saja ada celah yang dapat diciptakan ketika ada kesempatan memperoleh keuntungan langsung finansial. Tak heran, Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dianggap sebagai salah satu perlengkapan bahan ajar, dan sedianya diharapkan dibuat sendiri oleh guru bidang studi bersangkutan atau lewatMusyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), ternyata akhirnya berbeda. Beberapa guru "kreatif" kemudian mengemas LKS menjadi seolah layak jual dan menjadi komoditas.
Gayung pun bersambut. "Kreatifitas" itu lalu disambut oleh penerbit yang tidak jelas alamatnya, dan kemudian jadilah seolah produk yang dianggap bisa membantu proses pembelajaran. Dengan nama yang digunakan, Lembar Kerja Siswa, lantas dianggap sebagai materi yang dianggap memenuhi kebutuhan siswa. Lantas petanyaannya, siapa yang mengawasi pembuatan LKS dan mengontrol isinya?
LKS yang selayaknya dibuat sendiri oleh guru yang mengajar di sekolahnya malah diperdagangkan secara luas. Seharusnya, kalau seorang guru mengajar bidang studi IPA, dia boleh membuat LKS IPA untuk pengayaan materi di kelas, tetapi bukan untuk diperjual belikan. Tentu saja, LKS ini harus sesuai dengan kebutuhan siswa dan bersifat edukatif.
Kini, LKS diperdagangkan meluas, bahkan sampai lintas pulau. LKS menjadi komoditi perdagangan yang marak. LKS yang dijual dengan harga relatif terjangkau di Jawa, sampai di luar Jawa harga LKS bisa menjadi 3 kali lipat lebih mahal. Walaupun sudah ada peraturan, bahwa sekolah tidak boleh melakukan jual beli buku ajar siswa, tetapi untuk materi pengayaan seperti LKS, sekolah menagihkan pembeliannya kepada siswa.
Seorang siswa SMP di sekolah yang mayoritas siswanya berlatar belakang ekonomi pas-pasan membayar tidak kurang dari Rp 180 ribu untuk beberapa LKS yang akan digunakan selama satu semester. Jika sekelas ada 40 orang anak, maka jumlah dana yang dihasilkan adalah Rp 7.200.000.
Tidak murah
Wujud LKS adalah serangkaian soal-soal. Rata-rata tebalnya sekitar 50 sampai 60 halaman, yang dicetak seadanya. Dari tampilannya saja terlihat, bahwa LKS adalah produk buku murah, walaupun harganya tidak murah. Isinya, menurut pengamatan saya, adalah asal buat.
Beberapa contoh ekstrem pernah saya lihat antara lain, soal yang menanyakan tentang apa itu kartu keluarga, paspor itu dikeluarkan oleh siapa, dan sebagainya. LKS tersebut digunakan oleh siswa kelas 2 tingkat sekolah dasar (SD). Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu tidak esensial untuk mendukung pembelajaran.
Contoh lain adalah LKS pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk siswa kelas 4. Dalam LKS itu disuguhkan soal-soal yang mengharuskan mereka tahu perangkat negara dari level desa sampai level nasional. Di dalamnya ada pertanyaan seperti, "Sumber pendapatan desa itu dari mana?", "Fungsi LKMD adalah...", dan "Anggota-anggota DPRD berasal dari...".
Jelas sekali, bahwa pertanyaan itu semua menyebabkan siswa hanya belajar untuk tahu tanpa bisa menghayati fungsi dirinya sebagai warga negara. Padahal, pada usia itu siswa akan lebih tepat untuk mendapatkan PKn yang lebih kepada meningkatkan nasionalisme dalam bentuk sikap dan tanggung jawab.
Nah, bandingkan dengan kegiatan di sebuah sekolah di Bandung. Para guru mengajak siswanya menjahit bendera merah-putih di kausnya. Selain itu, dia juga mengajak siswanya untuk mendengarkan lagu Indonesia Raya, kemudiaan siswa diminta menjelaskan makna lagu Indonesia Raya bagi mereka dan bagian mana yang membuat mereka terharu. Tentu saja, kegiatan para siswa sekolah di Bandung ini jauh lebih bermakna daripada mengisi teori-teori pada LKS PKn tadi.
Tak hanya itu, karena masih sangat banyak soal-soal ngawur di LKS. Faktanya, LKS semacam itu masih sering digunakan di sekolah. Banyak kepala sekolah sudah teken kontrak dengan penerbit. Akibatnya, mau tak mau, LKS tersebut harus dipakai. Orang tua murid yang merasa bayar juga protes ketika LKS-nya tidak dipakai. Mereka bilang, "Sudah dibayar, kenapa tidak dipakai?".
Alhasil produk LKS adalah lebih pada urusan dagang, bukan pengayaan materi ajar. Menurut saya, LKS tak lebih dari kumpulan soal yang digunakan sebagai alat untuk mencari keuntungan finansial semata.
Nah, apakah guru pernah meneliti dampak penggunaan LKS terhadap kemampuan berfikir siswa?
Secara kasat mata terlihat, jenis bahan dalam LKS berisi sederetan soal yang hanya meminta siswa untuk tahu sesuatu. Informasi-informasi yang harus diketahui siswa pun dilakukan secara pasif, hanya dengan membaca materi di dalamnya tanpa perlu dikritisi.
Bisa saya katakan, isi LKS yang dipakai para siswa di sekolah saat ini tidak bisa meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Diperlukan kajian ulang menyeluruh mengenai beberapa aspek menyangkut penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Unsur penting dalam penyelenggaraan proses pembelajaran di kelas menyangkut kurikulum atau silabus yang diterjemahkan menjadi RPP, bahan ajar, metode mengajar dan asesmen. Sudahkah keempat unsur ini saling terkait?
Saat ini terlihat jelas, bahwa guru hanya mengandalkan membawa materi ke kelas dan menyebutnya itu mengajar. Jika LKS ditulis sebagai pengayaan materi, apakah memang ada tujuan pembelajaran yang akan dicapai? Atau, siswa sekedar diajak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan meningkatkan kemampuan pikirnya? Lalu, untuk apa penggunaan LKS seperti ini dipertahankan?
(Penulis adalah aktivis di Ikatan Guru Indonesia)
Sumber: Kompas, 19 April 2012
saya sangat setuju dengan penulis,,,disetiap sekolah kan sudah di berikan buku materi mata pelajaran secara gratis yaitu buku BSE. dan kebanyakan buku tersebut malah tidak digunakan.
BalasHapus