Pages - Menu

31 Maret 2012

Sajak-sajak Hidayat Raharja

TUAN KUDA LAUT

Tuan kuda laut,  hidup dan maut
Kau lihat perempuan yang bercukur lelaki itu. Reruntuhan rambut waktu
menumbuhi halaman rumah ibu.  Bintang laut dan ubur-ubur beterbangan
dari laut dalam  ke matamu. Terbang dengan sayap di kedua sisi yang
menutupi pandangan . Tuan tahu pemilik kebun itu? Adalah ibu yang
selalu merawat dan menyemai rindu. Lautan dadanya lapang menampung
semua bimbang menjadi bening di kedua matanya yang bulan.


Tuan kuda laut, karang-karang dan lumut
Memecahkan batu waktu yang menghampar di antara padang sembilu.  Si
karang  tegar pemecah gelombang yang tak pernah tenang menampar bibir
dada malang. Lelumut yang berbiak di antara celah bebatu dan hati
tuan. Meluruhkan bebal batu malam menjadi butiran-butiran kenangan.
Tuan kuda laut, hati kembang dan ciut

Lelaki yang menjelajahi lorong rahim dan perempuan yang menyusuri
liang laut. Betapa, gelombang memukul belahan dada dan si ayah menjadi
ibu bagi anak-anak silang. Dari donor sperma yang kemudian memasuki
gelap rahim yang mengeram dalam bimbang. ayah dan ibu dari anak-anak
yang ditumbuhkan dari huru hara dalam tubuhmu. Tuan Kuda Laut, tiga
juta anakan terus merajut ibu dari ayah yang telah beku.

UBI KAYU

Batangan tubuhmu ditancap di hamparan tanah kajal tumbuhkan  rindu
Hujan jarang bertemu dan angin sering membawa gering. Mengembangkan
ketabahan yang bermekaran di   pucuk musim kemarau.  Batang-batang
kasar menyimpan getah kecewa  menjadi hijau dedaunan yang setia
menadah  butiran matahari. Butiran yang membakar dan mengenyangkan
akar. Akar yang menggembung menyimpan butiran pati dan hidup menunuggu
musim surut.

Kembang-kembang bergoyang disapa angin selatan, badai dan hujan
sering meregang. Petir pahit hidup sudah aku sembunyikan dalam biru
sianida. Biru bayangan tubuhmu yang merunduk di malam-malam berbatuk.
Tak ada biji, hanya umbi. Gumpalan nasib yang aku peram selama musim
tak karuan. Menyelamatkan sanak sekandang dan kerabat sekampung,
menyerut serat kasar kehidupan dalam butiran-butiran sabar sepanjang
tegalan jaman.

SEMUR

Potongan daging yang terkapar dengan warna coklat kehitaman. Daging
pilihan yang telah dipanggil untuk memenuhi santap malam. Menemani
perbincangan di ruang makan sambil merencanakan ekspansi ke negara
jajahan dan para gundik moi indie yang menjadi simpanan. Meneer, tak
cukup potongan tubuh ini, maka ditambahkan pula dongeng perempuan
dengan sekeping senyum di dada belahan. Bumbu pedas percintaan di
ranjang-ranjang petang telah mengukir kelam di dinding sejarah kami
yang buram.
Sebelum kelam para pelaut dari utara telah datang, dan kemudian
beranak-pinak dalam perkawinan politik dan kultural, mewarnai kulit
bangsa dan mata peradaban. Lembar sayatan dilumuri kecap pilihan dari
lidah para petualang yang tak pernah pulang. Melengkapi sajian di meja
malam bersama para Petualang yang berkumis panjang dengan kuncir di
belakang. Kuncir yang menumbuhkan kota pesisir.

Sepiring nasi pilihan. Nasi yang memantulkan butiran-butiran cahaya
menerangi makan malam. Di meja lingkar peradaban kita berjumpa dari
berbagai bangsa dalam sekerat daging yang tak pernah kita tahu nasib
para peternak yang sabar dan selalu dikalahkan pemilik modal.

Rumput-rumput pilihan tumbuh di pematang yang terpotong ketika usianya
belum matang. Pengorbanan paling dalam,  sebelum hidup dilunaskan.
Keratan daging, sayatan serat-serat kata, sapi peliharaan, dan
rerempahan menghangatkan pembicaraan tuan, perempuan dan kekuasaaan.

PETANI SRIKAYA
Sekujur matamu, bayangan gunung gersang
Saat musim mulai mendaki hujan
Perempuan-perempuan gunung tak pernah murung. Sabit di tangan selalu
menyabitkan Tanya pada rerumput sunyi di sela bebatu
Perempuan perkasa ditinggal lelaki mengembara

Membawa berpikul airmata di pundak waktu. Sekeranjang rerumput dan daun
Di atas kepala menghijaukan syukur tak terukur

Di tangannya hijau tembakau, dan sulur ubi jalar menyisir rambutnya
yang ikal. Bening sumur matanya tak pernah kering mengurung angin dan
gelombang miring

Terbitlah bunga di musim ketiga
Di cecabang pohon srikaya. Perempuan-perempuan tak lelah menuruni bukit
Sebagai menuruni tangga bahagia dengan keranjang syukur di kepala.
Mendatangi kota

Di sepanjang trotoar hotel wijaya atau di sisi gedung Bank Negara.
Mereka berhitung laba, meski tak seberapa. Namun mereka tetap berbunga
berbagai bahagia

2012

SARI JAMBU BATU
Semerah darah tubuhmu luluh dalam gelas penggiling
Lelehan selalu meneteskan pedih buat kekasih
Daging yang lepuh melapukkan segala keluh
Yang tercekat di kerongkongan.

Segelas kasih disediakan ibu saat adik terbujur gering

Di pembaringan
Merah hatii. Warna senyum ibu menyuguhkanmu di atas meja
Di ruang tamu menyambut sanak keluarga yang tiba dari luar kota
Tubuhmu basahi siang yang gerah dan mengusap haus kerongkongan
Sepanjang perjalanan

Kisah kebun-kebun di pedalaman yang kehilangan
Sebuah peristirahatan di antara belukar merah. Sungai dan danau buatan
Mengepung segala ingatan

Ingatan tentang ibu yang tak sempat aku balas budi. Namun di merah tubuhmu
Ditimpa lampu senantiasa mengingatkan senyum ibu
Yang tak pernah menipu
2012

Sumber: Kompas, 31 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar