Oleh : Romi Febriyanto Saputro
Sejak reformasi tahun 1998 menggulirkan kebebasan bermedia, koran-koran kuning bermunculan dengan berbagai bentuk. Mulai dari bulletin, tabloid, majalah hingga stensilan yang dekade-dekade sebelumnya sudah lebih dahulu populer lewat ekspos pornografi.
Sejak reformasi tahun 1998 menggulirkan kebebasan bermedia, koran-koran kuning bermunculan dengan berbagai bentuk. Mulai dari bulletin, tabloid, majalah hingga stensilan yang dekade-dekade sebelumnya sudah lebih dahulu populer lewat ekspos pornografi.
Jurnalisme kuning adalah jurnalisme yang menekankan pada sensasi seks, kriminal, dan berita malapetaka; judul besar-besaran; penggambaran yang kasar; dan bergantung pada kartun serta berwarna-warni (Stanley J.Baran, Introduction to Mass Communication, Media Literacy and Culture, McGraw-Hill, New York, 2004, hlm. 109).
Ironisnya, setelah melihat tingginya permintaan pasar, koran-koran yang semula termasuk koran berkualitas akhirnya mendirikan koran kuning sebagai strategi diversifikasi produk. Salah satu hiasan utama koran kuning adalah menampilkan pornografi baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Hal ini terasa sangat ironis ! Media massa mestinya berperan menjaga, memelihara, dan memperbaiki moralitas masyarakat, bukan malah merusak moralitas masyarakat.
Media massa terkadang menggunakan pornografi untuk menaikkan tiras penjualan. Setidaknya hal ini terjadi pada sebuah majalah olahraga terbitan Jakarta.. Majalah bulanan ini semula mengemban misi olah raga ketika terbit pertama kali tahun 1988. Setelah dua tahun terbit dengan jumlah tiras yang jeblok, majalah ini akhirnya “istirahat”. Setelah fase istirahat majalah ini mengalami metamorfosis seratus delapan puluh derajad dengan menampilkan perempuan “berswimsuit ria” hingga kini.
Menurut Tjipta Lesmana (1994) dengan penampilan sampul muka yang memuat perempuan sexy berbaju swimsuit dengan pose “menantang” mempunyai dampak langsung pada tiras. Kontribusinya untuk kenaikan tiras sangat besar : melonjak sampai 25 persen.
Selain sarana untuk menebar kebaikan, ternyata media massa merupakan sarana efektif untuk menyebarkan pornografi. Hal ini karena pertama, ruang lingkup yang sangat luas dalam menyebarluaskan informasi. Media massa memiliki peluang yang sangat besar untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat tanpa terhambat oleh sekat-sekat sosial yang ada. Informasi yang diberikan media massa bersifat lintas batas teritorial, sosial, umur, suku, dan golongan.
Playboy merupakan contoh nyata betapa pornografi mampu melintasi batas wilayah suatu negara. Saat ini, majalah berlogo kelinci berdasi ini telah membuka cabang di 19 negara. Hebatnya lagi majalah ini dapat mengangkat citra pornografi sehingga pornografi bukan merupakan sesuatu yang menjijikkan melainkan sudah merupakan gaya hidup. Tak perlu heran, jika selebritis dunia dengan bangga tampil polos di majalah ini.
Kedua, kemampuan melipatgandakan informasi. Suatu peristiwa dapat dilipatgandakan pemberitaannya oleh suatu media massa sesuai dengan jumlah eksemplar yang berhasil terjual. Jika satu koran di baca oleh minimal 5 – 10 orang, maka bisa dibayangkan dampak yang ditimbulkan oleh pelipatgandaan informasi ini. Kemampuan ini menjadikan media massa memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat.
Kalau informasi yang disebarkan berupa sesuatu yang membawa manfaat, tentu bukan masalah. Tetapi, kalau informasi yang disebarkan berupa “sampah”, seperti pornografi, maka pencemaran moral dan sosial akan melanda masyarakat. Banyak kejahatan seksual yang dipicu oleh pornografi media massa . Saat ini sudah bukan sesuatu yang luar biasa jika muncul kasus perkosaan yang dipicu oleh pornografi. Ketiga, kemampuan media massa dalam melakukan konstruksi suatu realitas. Menurut Peter L Berger dan Thomas Luckman (1967), proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan obyektivikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu obyek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktur.
Dalam tahapan inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu obyek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa.
Pers porno seperti Playboy menyebut gambar-gambar perempuan yang berbugil ria dengan istilah seni, bukan pornografi. “Berani telanjang itu baik” barangkali itulah proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh majalah Playboy. Bahkan majalah Playboy juga menyebutkan bahwa isi dari majalahnya adalah “jurnalistik tingkat tinggi” karena tidak pernah menyebut-nyebut istilah sex secara vulgar.
Selain itu mereka juga berdalih tentang belum jelasnya definisi pornografi. Tiba-tiba saja banyak orang menjadi “tulalit” sehingga gambar yang mengeksploitasi tubuh perempuan pun dikatakan bukan pornografi. Padahal yang terlintas dalam pikiran lelaki normal (kalau mau jujur lho !) jika melihat perempuan tanpa busana tentu adalah syahwat, bukan yang lain !. Kalau duit, tentu ! Karena berkat gambar-gambar yang merangsang tersebut oplah media massanya menjadi naik sehingga akan mendongkrak pendapatannya.
Terakhir, kemampuan media massa dalam membentuk opini publik. Opini publik yang dibangun oleh media massa pendukung pornografi dapat menimbulkan distorsi sosial. Mereka mengembangkan lingkungan semu untuk menjajakan pornografi secara halus maupun terang-terangan. Lingkungan semu biasanya dibangun untuk mendukung suatu pendapat agar dianggap benar oleh masyarakat.
Mereka mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang hipokrit/munafik, dipermukaan menentang pornografi sementara diam-diam menyukai gambar perempuan tanpa busana. Lalu apa salahnya jika pornografi disiarkan secara terang-terangan, begitulah alasan mereka untuk mencari pembenaran pornografi.
Mungkin memang benar sebagian bangsa kita adalah hipokrit yang suka menikmati pornografi secara sembunyi-sembunyi. Tetapi, apakah semuanya seperti itu ? Masih cukup banyak elemen bangsa ini yang berusaha keras menahan dan mengendalikan hawa nafsu untuk “kesetanan menikmati pornografi”.
Secara “nafsu” semua lelaki suka melihat gambar perempuan telanjang, tetapi lelaki yang masih memegang norma agama maupun sosial tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk menahan “nafsu” tersebut. Media massa mesti mendidik masyarakat untuk belajar menahan “nafsu”, bukan sebaliknya memberi rangsangan untuk mengumbar “nafsu”.
Dalam tataran opini publik media massa kuning juga berusaha membangun opini dengan mengaitkan masalah pornografi dan korupsi. Selama ini tokoh-tokoh agama hanya bersikap keras terhadap pornografi tetapi bersifat lunak terhadap praktik korupsi, begitulah opini yang mereka bangun.
Masalah korupsi dan pornografi merupakan pelanggaran moral yang dikutuk oleh semua agama. Berhasil tidaknya pemberantasan korupsi menjadi tanggung jawab aparat hukum karena Indonesia adalah negara hukum.
Selain itu berkembang pula opini bahwa masalah pornografi bukan merupakan urusan negara. Kalau negara tidak berhak melarang praktik pornografi, lalu siapa yang berhak melarang ? Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan bangsa, sedangkan pornografi merupakan penyakit sosial yang dapat membodohkan bangsa. Membiarkan pornografi sama dengan membiarkan berlangsungnya prosesi pembodohan bangsa.
**Tulisan ini telah dimuat di Harian Joglosemar, 15 Februari 2012
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP ialah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar