Pages - Menu

02 Februari 2012

Menjadi Independen

Cerpen Afandi Sido

Independen, bagi Anggi, adalah mengerjakan semua kewajiban profesi dengan penuh dedikasi yang tak dibatasi. Aturan hanya berlaku sebagai garis kuning di tengah aspal, bukan pembatas jalan. Keseharian yang seharusnya menyenangkan bagi orang-orang seusianya menjadi sangat penuh integritas dan melepaskan jeruji rutinitas. Buku kuliahnya disusun berdasarkan minat dan hobinya.

Ia memilih tak membaca sedikitpun buku wajib yang materi dan isinya tak ingin ia mengerti. Fokusnya pada hal-hal yang memajukannya saja. Ia menjajal kafe-kafe baru setiap hari sabtu jika sedang tidak ada film bagus di bioskop-bioskop. Liburan baginya adalah pengembalian energi. Setiap akhir bulan genap ia berwisata sendirian ke kota-kota terdekat. Di setiap pertemuan kelas ia adalah penyelamat ketika teman-temannya menemui kebuntuan berpikir atau kegalauan untuk berucap. Hal itu pula yang membuatnya menjadi pusat perhatian bagi dosen, tak terkecuali dosen mata kuliah keuangan yang memang menjadi model acuannya.


Miranda Kalsum akan mendapatkan gelar profesornya dalam dua bulan. Kesibukannya berputar antara kota Perth dan Denpasar. Setiap akhir minggu saja ia sengaja terbang kembali ke Yogyakarta untuk melayani bimbingan skripsi mahasiswa-mahasiswa yang sudah menunggunya beberapa minggu. Namun di matanya, mahasiswa-mahasiswa kini hanyalah pekerja. Buruh akademik.

“Saya harap kamu tak seperti mereka, Anggi,” kata dosen itu kepada perempuan muda yang duduk tegak di depannya. Ini adalah pertemuan pertama konsultasi mereka.
“Saya tidak seperti mereka, bu. Saya independen.”

Miranda menghentikan gerak tangannya yang menggenggam pulpen. Kilau ujung logam tinta itu memantulkan cahaya matahari sore yang menembus jendela. Sang dosen lalu menegakkan badan lalu menatap anak itu tepat di matanya. Anggi membenarkan posisinya sejenak, menghitung-hitung dua kemungkinan kalimat yang akan terlontar dari dosen favoritnya itu: penolakan, atau keterkejutan positif.

“Independen katamu?”
Anggi mengangguk. Duduknya semakin tegak. Membuat Miranda mengangkat alis. Dosen itu lalu tertawa kecil sambil mengangkat tangan ke mulutnya. Anggi memiringkan kepala, bertanya-tanya apakah jawabannya itu terlalu aneh bagi seseorang dengan setumpuk pengalaman akademis seperti Ibu Miranda.

“Anggi…,” kata sang dosen ketika kembali duduk setelah berjalan sejenak mengambil sebuah map yang kemudian ia letakkan di tengah meja.

“Saya sudah mengamatimu selama dua semester terakhir. Dan menurut saya kamu jelas punya potensi besar untuk maju.”

Anak itu tersenyum sipu. Dalam bisik ia berterima kasih. Dalam benaknya, sejatinya bukan pujian ini yang ia inginkan. Skripsinya sebentar lagi rampung dan ia hanya ingin kesempatan membuktikan kepada semua orang bahwa ia independen, seperti katanya.

“Kamu sama sekali belum tahu arti independen, Nak.”

Perkataan itu mengejutkan Anggi. Kedua tangannya lalu dilempar ke atas meja. Raut mukanya memerah, namun belum sempat ia melontarkan pendapatnya, dosen itu melanjutkan kalimatnya.

“Mungkin bisa saja, tapi menjadi independen. Bedakan independen, dengan menjadi independen.”

Anggi menyimak penjelasan itu. Bagaimanapun, ia mengakui sejauh ini hanya mematok termin kepada dirinya yang belum tentu ia bisa jelaskan arti dari termin itu. Independen, selama ini baginya, adalah kebebasan yang ia bentuk sendiri. Tak ada orang lain, tak ada cara lain.

“Menjadi independen, Nak, adalah berusaha melawan kenyataan. Sedangkan independen, adalah menerima kenyataan. Kamu masih mahasiswa, dibiayai orang tua, kemudian menonjol di kelas. Kamu tidak mengikuti kebiasaan-kebiasaan jelek teman-temanmu yang sama mengaku sebagai mahasiswa. Sejauh pengamatan saya, itu menjadi independen.”

Pulpen itu diketukkan ke meja setiap kali terlontar kalimat penekanan dari Miranda. Anggi melihat ujung pulpen itu dengan matanya yang menunjukkan kebingungan yang makin mencuat.

“Saya yakin kamu sering nonton berita-berita politik. Mereka tak ubahnya parodi yang disusupi komedi. Orang-orang itu, yang mengaku politikus, adalah pemain komedi, Nak. Ketika terjerembab ke dalam kasus dan rahasia buruknya terbongkar, mereka tertawa seakan-akan kita penonton akan ikut tertawa. Mereka berkali-kali mengaku menyerahkan kasus mereka kepada penegak hukum, tapi mereka menyusun strategi.

Strategi bukan untuk lolos dari jeratan hukum, tetapi mengatasi masalah-masalah masa depan ketika mereka sudah di penjara. Mereka sudah tahu apa yang akan terjadi pada mereka, namun mereka nampak baik-baik saja.”

“Tapi bukannya itu berarti mereka visioner, Bu?” Anggi menyela. Miranda dibuat kaget karena keberanian anak itu memotong penjelasannya. Hal seperti itu jarang terjadi padanya, apalagi dalam kapasitas formal sebagai ketua jurusan. Ia lalu menatap ke mata anak itu, lalu tersenyum sebelum memalingkan pandangan.
“Nak…,” katanya saat kembali mengarahkan pembicaraan. “Mungkin kamu lupa kalau saya ini juga seorang istri. Seperti kelak kamu pun akan menjadi istri, milik seseorang.”

Anggi terdiam.

“Bagi saya, independen itu baru terasa ketika pertama kali saya merasakan memiliki pasangan. Kebebasan yang independen baru akan terasa ketika kita melihat dengan jelas hal-hal yang membatasi.Independen bukan tentang sendirian. Independen yang sebenarnya adalah ketika kamu terjun ke dunia yang nyata, penuh tantangan. Independensi akan membawa setiap manusia ke persimpangan tempat ia kelak memilih.

Independensi akan membawa manusia ke ranah yang penuh riuh masalah dan fitnah, sampai tiba saatnya ia berani bersuara atas nama kebenaran, meski itu akan membawanya ke penjara. Menjadi independen bukan tentang mengerjakan semuanya sendiri, atau bepergian sendirian. Menjadi independen adalah melatih diri menghargai interaksi, berani melakukan observasi, mematok hipotesis-hipotesis sendiri, lalu menyimpulkan sendiri sikap yang mau diambil. Menjadi independen adalah menentukan keyakinan sikap dengan berani.”
Miranda lalu membuka-buka draf skripsi yang telah dicoret di beberapa bagian.

“Sama seperti menyusun skripsi. Ada variabel dependen, ada pula yang independen. Variabel independen tetap akan diikuti variabel independen agar metode penelitiannya nampak jelas. Tugas seorang penyusun adalah, melihat seberapa kuat variabel independen itu memanfaatkan variabel-variabel dependen untuk membentuk polanya sendiri, sehingga teori-teorinya terbenarkan.”

Lalu draf itu ditutup. Miranda lalu melipat kedua lengannya di atas meja, mencondongkan badannya ke depan, lalu menatap mata anak itu.

“Kamu harus terima saat-saat masih menjadi independen, sebelum kamu sendiri independen. Ingat, “independen” bukanlah kata yang sederhana. Ia banyak dipakai orang-orang untuk merangkai topeng dan meraup keuntungan sosial dengan menabrak hak-hak orang lain. Dan saya yakin kamu bisa memahami ini.”
Skripsi itu disodorkan ke depan hingga menyentuh tangan Anggi yang tak bergeser.
“Ini sudah sempurna,” kata Miranda.

Anggi butuh dua bulan untuk menemukan maknanya sendiri atas kata-kata dosennya itu. Tepat saat ujian akhir, ia keluar dari ruangan tes dengan wajah terangkat. Senyumannya merekah ibarat panglima yang baru saja memenangi perang pertamanya. Di tangannya sudah terselip sebuah amplop yang ditempeli logo perusahaan minyak ternama. Hanya dua mahasiswa yang mendapatkan tawaran kerja sebelum lulus, dan Anggi salah satunya. Saat menutup kaca helm tepat sebelum melajukan sepeda motornya, ia melihat baliho besar ucapan selamat atas raihan gelar profesor bagi empat dosen universitas itu. Satu foto itu sungguh tak asing baginya, membuatnya tersenyum dan mengingat-ingat lagi kalimat yang paling disukainya.

Kebebasan yang independen baru akan terasa ketika kita melihat dengan jelas hal-hal yang membatasi.
Tak genap dua tahun setelah pembicaraan yang mengubah caranya memandang definisi kata, Anggi bekerja di sebuah perusahaan media ternama.Saat menyiapkan materi kerja, ia teringat sebuah amplop yang pernah disimpannya. Tawaran bekerja di perusahaan minyak bukanlah bidangnya. Tidak juga bank-bank yang berkali-kali meminta jasanya. Semua surat itu masih ia simpan kini, meski tak berlaku lagi. Semangatnya berkeliling dan mengatur waktu sendiri membawanya kepada pekerjaan yang benar-benar diinginkannya, meski ia harus melewati proses seleksi selama lima hari. Ia mengambil sikap, dan mengakui proses yang harus dihadapi. Di ruangan redaksi itu, ia memulai tantangan keduanya.

“Sudah siap? Ini narasumber besar. Tidak ada kesalahan sedikitpun, mengerti?” Redaktur tertinggi menepuk pundaknya.

Anggi sudah memutuskan untuk melakukan tugas itu, dan kini tak ada yang menghalaginya. Tugas yang sengaja ia minta hari ini, adalah melakukan wawancara eksklusif dengan seorang tersangka kasus penyelewengan dana pembangunan salah satu kampus yang dikenalnya.

“Ibu Miranda…, Apa kabar?” tanya wartawati muda itu kepada narasumbernya. Tujuh kru tayangan langsung melalui televisi terdiam penuh harap di belakang kamera.

Tamu itu, setelah menunggu beberapa detik, lalu tersenyum.
Untuk pertama kalinya, Anggi mengetahui dengan benar arti keberanian menjadi independen.

Penulis: Afandi Sido
Saat ini aktif sebagai blogger sambil menyelesaikan tugas di salah satu universitas di Yogyakarta. Peminat jurnalisme warga, sastra, dan komunikasi politik. Tulisan-tulisannya juga bisa dibaca di www.kompasiana.com/afsee dan www.bukufandy.blogspot.com.
Email: afseeboy@gmail.com | Twitter: @FandySido | Google+: Afandi Sido

Sumber: Kompas, 1 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar