Pages - Menu

13 Januari 2012

Kompilasi Fatwa MUI

Judul Buku: Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975
Penulis: K.H. Ma’ruf Amin, dkk. 
Penerbit: Erlangga
Cetakan: I, 2011
Tebal: 962 Halaman

Hampir setiap produk makanan kemasan yang beredar di Indonesia, pasti memajang logo dan stempel lembaga ini. Demikian pula sebagian rumah makan melakukan hal serupa.


Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap hajat hidup sebagian umat Islam. Fatwa-fatwa yang dihasilkannya, menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat: mulai dari masalah keseharian yang terkait dengan urusan pribadi hingga masalah kebijakan yang terkait dengan urusan publik; mulai dari masalah ibadah hingga masalah sosial politik dan sosial kemasyarakatan; mulai dari masalah halal dan haramnya makanan hingga masalah kedokteran, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu saja yang berkaitan dengan tema keagamaan.

Sebagaimana tertera pada judulnya, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975¸ buku ini berisi fatwa-fatwa dan nasihat keagamaan MUI sejak tahun 1975. Semenjak berdirinya, MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi mereka yang membutuhkan. Permintaan fatwa bisa datang dari pemerintah maupun masyarakat luas. Banyak fatwa yang telah dikenal luas di masyarakat namun isinya tidak banyak dipahami, sehingga kerap menimbulkan kontroversi.

Guna meminimalisir hal tersebut, buku setebal sembilan ratus enam puluh dua halaman ini, menyuguhkan fatwa-fatwa tersebut secara utuh, mulai dari latar belakang penetapan fatwa, dalil-dalil yang dijadikan landasan penetapan fatwa, rumusan fatwa serta berbagai rekomendasi. Bahkan dicantumkan pula penjelasan fatwa untuk memberikan pemahaman yang lebih utuh bagi umat.

Meski demikian, kontroversi tetap saja kerap melanda fatwa-fatwa yang diproduksinya. Salah satunya adalah fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama yang tertuang pada nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005, dengan menetapkan bahwa pluralisme, liberalisme dan sekularisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. (Halaman 91)

Tak ayal, tidak sedikit yang mengkritisi keberadaan fatwa ini. Salah satu respons paling kritis terhadap lahirnya fatwa ini adalah buku Kala Fatwa Jadi Penjara yang merupakan kompilasi refleksi, response, kritik, reaksi intelektual, dan wacana antitesis terhadap fatwa tersebut. Di dalamnya berisi tulisan antara lain; KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Syafi’I Ma’arif, KH. Musthafa Bisri, Alwi Shihab, Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain.

Pada intinya, para penulis dalam buku tersebut mempertanyakan pengharaman atas tiga “isme” di atas. Karena hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran yang dilakukan MUI atas realitas kemajemukan yang merupakan kehendak Tuhan, mencederai demokrasi, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan konstitusi Negara Republik Indonesia itu sendiri. Selain itu, fatwa tersebut juga dianggap mematikan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban, serta memasung kreativitas dan pemikiran manusia.

Keberadaan MUI memang identik dengan fatwa. Lembaga yang berdiri pada 26 Juli 1975 hasil Musyawarah Nasional I Majelis Ulama se-Indonesia di Jakarta ini, pada awalnya merupakan wadah musyawarah ulama dan cendekiawan muslim. Dengan tujuan untuk mengamalkan ajaran Islam serta mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, serta rohaniah dan jasmaniahnya diridhai Allah SWT, dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila.

Secara umum, dilihat dari lembaga yang menetapkannya, hasil fatwa yang terangkum dalam buku ini dibagi menjadi tiga kelompok; pertama, fatwa yang ditetapkan dalam sidang Komisi Fatwa; kedua, fatwa yang ditetapkan dalam Musyawarah Nasional MUI, dan ketiga, fatwa/ keputusan yang ditetapkan dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia.

Demi mempermudah penelaahan fatwa, buku ini disusun secara tematik dan dikelompokkan menjadi empat kelompok tema; pertama, tema tentang akidah dan aliran keagamaan; kedua, tema tentang masalah ibadah, ketiga, tema tentang masalah sosial budaya, serta keempat, tema tentang POM (Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika) dan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).

Terlepas dari seluruh kontroversi yang menyertainya, buku ini tetap penting sebagai media penyeimbang bagi masyarakat tentang seluruh informasi beserta dalil-dalil yang menjadi sandaran MUI melahirkan produk fatwa. Hingga pada akhirnya, keputusan berada pada masyarakat; apakah akan mengikuti fatwa MUI atau fatwa lain yang mereka anggap lebih “ramah” dan sesuai bagi kehidupan mereka masing-masing. Karena tentu saja, MUI bukan Tuhan itu sendiri, melainkan hanya penafsir di antara ribuan penafsir lain atas Firman-Nya.
Peresensi:

Noval Maliki, Direktur Demi Buku Institute, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, 13 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar