Pages - Menu

30 Januari 2012

Budaya Malu Hilang, Korupsi Terbilang

Oleh Virna Puspa Setyorini

Masih ingat pribahasa Esa Hilang, Dua Terbilang?
Sesungguhnya pribahasa ini memberikan makna yang sangat baik, karena mengingatkan seseorang agar berusaha sungguh-sungguh, terus berjuang pantang menyerah, hingga tercapai tujuan atau cita-citanya.

Dalam acara Dialog Kebangsaan Indonesia Emas 2020 yang diadakan Komunitas Pengusaha Antisuap Indonesia (KUPAS) di Jakarta, Kamis (26/1), sastrawan Taufiq Ismail membawakan beberapa puisinya yang menggelitik terkait korupsi.


Berikut adalah beberapa puisi pendek yang dibawakan Taufiq pada pembukaan dialoq tersebut dengan judul "Tiga Kali Potong", "Dua Kali Mundur", dan "Satu Kali Membela (dialog anak muda yang demo)".

Tiga Kali Potong. "Di Republik Rakyat Tiongkok koruptor. Dipotong kepala. Di Arab Saudi koruptor. Dipotong tangan. Di Indonesia koruptor. Dipotong masa tahanan".

Dua Kali Mundur. "Di Jepang menteri merasa bersalah. Memang mundur. Di Indonesia menteri jelas salah. Pantang Mundur".

Satu Kali Membela (dialog anak muda yang demo). "Kalian membela yang bayar. Kami membela yang benar".

Dapat dibaca bahwa puisi-puisi pendek dari salah satu sastrawan Indonesia angkatan 66 ini merupakan fakta dari apa yang terjadi saat ini di dalam negeri.

Betapa koruptor yang "membunuh" rakyat tidak berdosa justru mendapat fasilitas hingga pembelaan. Masih ingat suara kekecewaan dan keheranan masyarakat yang terdengar melalui media massa soal koruptor yang dirasa begitu

cepat meninggalkan terali besi padahal vonis hakim belum begitu lama dijatuhkan?
Begitu keras suara rakyat yang meminta keadilan agar remisi terhadap koruptor dihapuskan.

Hingga ketika Kementerian Hukum dan HAM mendapat Menteri dan Wakil Menteri baru maka kebijakan yang dikeluarkan pertama adalah moratorium remisi bagi koruptor, yang kemudian disebut pengetatan remisi bagi koruptor. Namun apa yang terjadi, dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III dengan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, pada 14 Desember 2011, seluruh fraksi di Komisi tersebut menyepakati agar SK Pengetatan Remisi dan  Pembebasan Bersyarat untuk Koruptor yang dikeluarkan Menkumham kepada Kepala Rutan dan Lapas ditinjau ulang.

Parahnya, empat dari delapan fraksi langsung menyepakati pencabutan SK Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi Koruptor.

Ketua Komisi III dari fraksi Partai Demokerat Benny K Harman pada saat itu sesuai hasil rapat meminta agar Menkumham dan Wamenkumham menindaklanjuti kesepakatan tersebut, karena apa yang disampaikan oleh Komisi III merupakan aspirasi dari rakyat. "Meninjau kembali ini kan untuk mendengarkan aspirasi rakyat
melalui anggota Komisi III. Kalau sudah disesuaikan ya berarti di revisi, setelah itu dicabut," ujar Benny.

Sikap para anggota dewan yang tidak memilih musyawarah dengan kepala dingin tetapi justru menolak kebijakan yang dapat membuat koruptor ditahan lebih lama ini bahkan dibumbui dengan insiden pengusiran Wamenkumham dari ruang Rapat Kerja Komisi III DPR.

Terlepas dari melanggar hukum atau tidak SK Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi koruptor yang dikeluarkan Menkumham Amir Syamsuddin tersebut  sehingga perlu ditentang, apakah kini ada yang menyangkal sebutan siswa taman kanak-kanak oleh mantan Presiden Republik Indonesia (alm) KH Abdulrahman Wahid terhadap politisi Senayan? Korupsi "diamini".

Ada yang salah dalam masyarakat Indonesia saat ini. Mungkin tidak semua, tetapi ada yang "mengamini" tindak menyimpang yang sebenarnya jelas merupakan tindak pidana korupsi.

Dalam dialog yang dilaksanakan di Gedung 165, Jakarta Selatan, tersebut seorang pensiunan polisi menceritakan bagaimana tindak penyimpangan yang kemudian "diamini" bersama, meski dalam penjelasan tersebut tindakan menyimpang dilakukan karena terpaksa.

Ia bercerita bagaimana dirinya terkejut ketika satu kali mengikuti seminar di Malaysia dan bertanya kepada sesama polisi di sana berapa pendapatan mereka per bulan kala itu sekitar tahun 1990-an, yang ternyata mencapai sekitar Rp6 juta. "Pendapatan saya kala itu hanya sekitar Rp600 ribu. Bisa dibayangkan bagaimana kita harus menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan keluarga dengan itu, jadi jalan yang ’itu’ jadi ’lumrah’ dikalangan dilakukan," ujar dia.

Korupsi yang "diamini" di kalangan usaha juga disampaikan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo B Sulisto. Dan hal tersebut, menurut dia, dilatar belakangi oleh sistem dan birokrasi yang ada. "Laporan yang saya terima dari daerah adalah keluhan soal korupsi mutu," ujar Ketua Kadin ini.
Ia mencontohkan keluhan yang ia terima dari pengusaha di daerah terkait dengan korupsi mutu tersebut berkaitan dengan pekerjaan kontraktor.

"Ini contoh mudahnya saja, kontraktor mendapat proyek membangun jalan sepanjang 10 kilometer (km) dengan anggaran Rp20 miliar dan keuntungan mereka (kontraktor) biasanya hanya sekitar 10 persen. Tapi di DPRD, Kabupaten, tim penilai paling tidak dipotong lagi bisa sampai 30 persen. Jadi mereka harus sudah menyisihkan paling tidak 40 persen dari anggaran proyek tersebut, jadi jalan yang bangun seharusnya kualitas A jadi terpaksa turun ke C," katanya.

Sulisto mengatakan ranking Indonesia di Bank Dunia dalam hal kemudahan berbisnis masih rendah. Dan korupsi menjadi tantangan terbesar.

Ia menegaskan bahwa sangat penting menyusun kebijakan ekonomi dengan moralitas yang tinggi. "Dan itu tidak mudah".

Budaya malu hilang
Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua mengungkapkan satu keresahan terkait kondisi yang sebenarnya bahwa angka korupsi pegawai negeri sipil (PNS) yang ada di KPK meresahkan. "Jujur, meresahkan angka korupsi yang ada di KPK, jika mengikuti semuanya 60 persen dari 4,2 juta PNS harus kami tangkap. Masalahnya penjara jadi tidak cukup, biaya besar untuk penindakan, mereka (yang korupsi) akan korupsi lagi setelah keluar (penjara)," ujar dia.

Menurut Hehamahua, apa yang dilakukan para PNS tersebut mungkin bukan karena awalnya memiliki niat untuk korupsi. Namun, karena sistem yang buruk dilakukan berulang-ulang menjadi peluang, maka korupsi terlaksana.

Sementara itu, dalam puisi lainnya Taufiq Ismail juga mengungkapkan keresahannya akan hilangnya budaya malu sehingga membuat orang tidak malu melakukan perbuatan tercela yang sebelumnya dianggap tabu dalam masyarakat, termasuk melakukan korupsi yang berarti mencuri.

Kali ini ia membacakan puisi berjudul "Mencari Sekolah Yang Mengajarkan Rasa Malu", di mana inti dari puisi tersebut menceritakan bagaimana seorang ibu kesulitan mencarikan sekolah bagi anaknya yang mengajarkan rasa malu.

Sekolah A menyatakan tidak mengajarkan rasa malu, pada saat menyontek guru-guru kami pura-pura tidak tahu.  Sedangkan pada sekolah B juga tidak mengajarkan rasa malu, karena ketika UAN (ujian akhir nasional) ada guru ditugaskan diam-diam memberikan jawaban kepada murid.

Dan sekolah C yang juga tidak mengajarkan rasa malu, kepala sekolah tidak dapat memenuhi permintaan ibu untuk mengajarkan rasa malu karena sudah terlampau lama tidak mengajarkan rasa malu karena murid sekolah tersebut harus seratus persen lulus.

Itu harus ditempuh dengan segala cara. Sedangkan dalam penggalan puisi berjudul "Kini Kita Teringat Pada Pancasila Yang Dilupakan", Taufiq Ismail berupaya menggambarkan betapa Pancasila kini telah dilupakan.
Begitu hebatnya setiap sila dari Pancasila membentuk karakter bangsa, namun kini terlupakan, terabaikan, dilecehkan, tidak dipedulikan, bahkan tidak ingin dilihat.

"Ketika kita teringat Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Habis-habisan kita mengabaikannya."
"Kita hidup sesudah bendungan besar roboh satu dasawarsa silam. Suaranya gemuruh menderu-deru ke seluruh penjuru."

"Membawa perubahan politik kenegaraan berbagai aspeknya. Tetapi bersama jebolnya bendungan itu, ikut terbawa pula. Berhanyutan nilai-nilai luhur luar biasa tinggi harganya, nilai keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa, pengorbanan, tanggung jawab, ketertiban, pengendalian diri."

"Remuk berkeping-keping karakter mulia bangsa. Kita mencopet, mencuri, merampok, memeras, dan menjarah."

Taufiq Ismail dalam puisinya tersebut juga menggambarkan bagaimana batasan halal dan haram semakin kabur di negeri ini.

"Ketika 17 dari 33 Gubernur jadi tersangka, 52 persen banyaknya. Ketika 147 dari 473 Bupati dan Walikota jadi tersangka, 36 persen jumlahnya. Ketika 27 dari 50 anggota DPR ditahan, 62 persen jumlahnya. Saksikan begitu banyak orang menyembah uang dengan khusyuknya."

Itu lah yang dirasakan sejumlah kalangan atas kondisi bangsa yang semakin  "dibodohi" oleh korupsi.

Sumber: Kompas, 29 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar