Pages - Menu

03 Januari 2012

Apresiasi Perpustakaan Daerah

Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Menurut Kepala Humas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Agus Sutoyo, pengelolaan perpustakaan di daerah dinilai kurang maksimal. Daerah dianggap tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan perpustakaan daerah, khususnya dalam hal pergantian pimpinan perpustakaan. Misalnya, ada kepala perpustakaan di daerah yang sudah bagus, manajemannya bagus, berhasil dalam pengelolaan perpustakaan di daerah, itu akan cepat sekali diganti oleh bupati atau gubernur (Suara Merdeka, 16 November 2011).
Kabupaten maupun kota merupakan wilayah kerja yang sebenarnya dari perpustakaan. Perpustakaan dengan tugas utamanya memberdayakan masyarakat dengan membaca sering menghadapi kendala ketika program dari Perpustakaan Nasional RI hendak diaplikasikan di tingkat kabupaten/kota. Rencana yang sudah disusun matang di tingkat pusat menjadi mentah kembali ketika berbenturan dengan kebijakan pemerintah kabupaten/kota.

Sinkronisasi program di bidang perpustakaan perlu dilakukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Langkah pertama adalah membangun  komunikasi yang baik antara perpustakaan umum kabupaten/kota dengan bupati/walikota. Saat ini, rekan-rekan di perpustakaan umum kabupaten/kota di Jawa Tengah sangat jarang menjalin komunikasi yang intensif dengan pimpinan daerah.
Jika ingin perpustakaan mendapat perhatian, maka perpustakaan harus sering berkomunikasi dengan bupati/walikota baik melalui surat maupun lisan. Bupati/walikota yang merupakan pejabat politis “anggap saja” – tanpa bermaksud merendahkan - belum paham dunia perpustakaan meskipun beliau sering mengaku gemar membaca.
Suarakan kepada mereka bahwa perpustakaan bukan sekedar tempat sirkulasi buku saja melainkan juga institusi untuk memberdayakan masyarakat.  Buku-buku di perpustakaan perlu selalu diperbarui dengan dukungan dana APBD. Jangan hanya menganggarkan Rp 2.000.000 saja per tahun untuk pengadaan buku seperti yang terjadi di Boyolali.
Perpustakaan juga tidak boleh terjebak pada kegiatan rutin layanan. Perpustakaan juga harus bisa melakukan banyak kegiatan meskipun tanpa didukung dana APBD yang memadai seperti promosi perpustakaan dan pembinaan perpustakaan. Di Sragen, kami bisa menyelenggarakan peringatan “World Book Day, 23 April 2011” dengan dukungan dana sponsor dan masyarakat. Tanpa harus merepotkan APBD Sragen yang saat ini tengah defisit.
Kedua, menyeragamkan bentuk kelembagaan perpustakaan umum kabupaten/kota. Di Jawa Tengah, bentuk kelembagaan perpustakaan umum kabupaten/kota cukup beraneka ragam. Sebagian besar berbentuk kantor gabungan perpustakaan dan arsip seperti yang terjadi di Solo dan Semarang. Hanya sebagian kecil yang berdiri sendiri sebagai kantor (eselon III/a) seperti yang dilaksanakan di Sragen dan Wonosobo.
Bentuk kelembagaan yang direkomendasikan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah kantor mandiri dengan eselon III/a. Bentuk kelembagaan yang berbeda-beda jelas akan menyulitkan Perpustakaan Nasional RI untuk mengambil kebijakan di daerah. Diakui atau tidak derajad eselonisasi suatu SKPD merupakan indikator tinggi - rendahnya perhatian yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Budaya baca bangsa ini yang masih rendah tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan memberikan bentuk kelembagaan seadanya saja.
Ketiga,  menyamakan persepsi bahwa urusan perpustakaan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Tanggung jawab pelaksanaan pembangunan bidang perpustakaan di daerah adalah tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Perpustakaan bukan sekedar lembaga papan nama yang ada sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Perpustakaan adalah lembaga yang didirikan untuk memberdayakan masyarakat kabupaten/kota.
Dahulu kala, pernah ada seorang bupati yang dengan enteng berkata, “ Aku malu dengan kondisi gedung perpustakaan daerah ”. Rupanya beliau yang terhormat lupa bahwa keberadaan gedung perpustakaan daerah adalah bagian dari tanggung jawabnya. Hilangnya rasa tanggung jawab inilah yang menghambat pelaksanaan program perpustakaan di daerah. Ironisnya, di tanah air amnesia tanggung jawab ini telah menjadi budaya sebagian besar pimpinan kabupaten/kota.
Saat ini indek pembangunan manusia (IPM) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 106 pada tahun lalu menjadi 124 dari 187 negara pada tahun 2011. Sepuluh tingkat di bawah Palestina yang berada di peringkat 114. Bagaimana agar IPM kita bisa beranjak dari angka 100 ? Perpustakaan adalah jawabannya !
IPM adalah pengukur hasil kebijakan pembangunan multisektoral terhadap kualitas hidup manusia, yang dipakai program pembangunan PBB untuk laporan tahunannya. Salah satu komponen penilaian yang mencapai bobot dua pertiga adalah penguasaan pengetahuan yang diukur dengan kemampuan membaca dan menulis fungsional yang merupakan wilayah kerja perpustakaan. Ini akibatnya, jika mengabaikan perpustakaan !

[1] Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.

Sumber : Suara Merdeka, 27 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar