Pages - Menu

19 Desember 2011

Trias Politika Jadi Trias Kleptomania

Oleh Romi Febriyanto Saputro


Trias Politika merupakan ajaran ketatanegaraan yang membagi dan memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang (eksekutif), dan kekuasaan untuk mengadili para pelanggar undang-undang (yudikatif).
Teori ini pertama kali  dilontarkan oleh Montesque (1689 – 1755) seorang ahli filsafat politik Perancis dalam bukunya yang sangat terkenal “De’l esprit des lois” yang kurang lebih berarti Jiwa Perundang-undangan yang terbit pada tahun 1748. Buku ini terbit sebagai reaksi atas kekuasaan para raja yang bersifat totaliter pada masa itu. Buku ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi terjadinya Revolusi Perancis untuk menggulingkan pemerintahan tirani yang dilambangkan dalam  bentuk penjara Bastile.

Hakekat pembagian kekuasaan dalam trias politika adalah untuk mencegah terjadinya praktik sewenang-wenang dari pemegang kekuasaan dan mewujudkan kekuasaan yang bersih dari segala macam bentuk penyimpangan termasuk diantaranya praktik korupsi. Namun bagaimana jadinya jika kekuasaan yang sudah terbagi tiga tersebut sama-sama tertular penyakit korupsi. Mungkinkah ketiga lembaga tersebut mampu menjalankan fungsinya dengan baik ?
Hasil Global Corruption Barometer 2005 yang dilakukan Gallup International menunjukkan kecenderungan korupsi global, termasuk Indonesia. Survai dilakukan di 69 negara dengan jumlah responden 54.260 orang. Khusus untuk Indonesia, partai politik sebagai lembaga terkorup dengan nilai 4,2 (dari kisaran 1 sampai 5, makin tinggi makin korup). Parlemen menduduki peringkat di bawahnya, yaitu dengan nilai 4,0. Institusi kepolisian dan bea cukai  menduduki peringkat selanjutnya dengan nilai 4,0. Urutan selanjutnya adalah peradilan (3,8), pajak (3,8), registrasi dan perijinan (3,5), sektor bisnis (3,5), lembaga pendidikan (3,0), peralatan (3,0), militer (2,9), pelayanan kesehatan (2,7), media (2,4), LSM (2,4) dan Lembaga Keagamaan (2,1) (Kompas, 26 Desember 2005).
Hasil survey di atas menunjukkan bahwa  semua unsur trias politika telah dijangkiti penyakit kleptomania. Lembaga eksekutif diwakili oleh bea cukai, pajak, registrasi dan perijinan, peralatan, dan pelayanan kesehatan. Lembaga Legislatif diwakili oleh partai politik dan parlemen. Lembaga yudikatif diwakili oleh dunia peradilan. Jadi, trias politika telah mengalami distorsi dalam praktiknya menjadi trias kleptomania yang tidak mengabdi untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan diri sendiri.
Menurut Montesque, rakyat akan jatuh ke dalam kemalangan apabila orang-orang yang mereka percayai – yang selalu ingin menyembunyikan kebobrokannya – melakukan praktik korupsi. Kepada rakyat mereka selalu berbicara mengenai kebesaran negara. Ditengah perilaku serakahnya itu, mereka menghimbau rakyat untuk hidup sederhana.
Prof. Dr. T Jacob melukiskan kondisi ini dalam bukunya Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis (2004). Kita berangkat pada tahun 1945 dengan maksud membentuk negara kesatuan yang demokratis. Tetapi dalam perjalanan,  yang selalu ditekankan adalah kesatuan bukan demokrasi.
Dengan mengubah demokrasi menjadi kleptokrasi (pemerintahan penjarah), maka hancurlah kesatuan. Kleptokrasi adalah pemerintahan inegaliter yang sama sekali tidak adil. Inti kleptokrasi adalah memindahkan kekayaan nasional dari rakyat kepada lapisan atas yang berkuasa : politikus dan birokrasi, militer dan polisi, pengusaha dan pemilik modal.
Komisis Pemberantasan Korupsi menyatakatan sekitar 60 persen Pegawai Negeri Sipil (PNS) diduga melakukan tindakan korupsi dengan modus perjalanan dinas. Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)  mengungkapkan bahwa 50 persen Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda yang kaya terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Indikator kaya ini adalah bergaya hidup mewah, mempunyai barang mewah, dan mempunyai rekening tidak wajar.
Masalah korupsi yang merugikan keuangan negara di Indonesia, sudah sampai pada tahap sangat mengkhawatirkan, karena sudah menyentuh lembaga legislatif atau DPR.  Lembaga yang mestinya menyuarakan kepentingan rakyat ini dalam pemberantasan korupsi malah terlibat korupsi.  Di zaman Orde Baru, uang negara dikorupsi saat pekerjaan proyek pembangunan dimulai. Saat ini, uang negara dikorupsi sejak APBN mulai dibahas di DPR hingga proyek-proyek pemerintah mulai dikerjakan.
Hal ini seperti yang terjadi pada kasus enangkapan KPK terhadap Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Semarang Akhmat Zaenuri serta dua anggota DPRD, Agung Purnditangkap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiganya diduga terlibat suap untuk memuluskan pengesahan RAPBD 2012.
Lembaga yudikatif  juga telah melukai hati rakyat dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Di ranah yudikatif, ICW mencatat dalam paro pertama 2009, 70 persen dari 222 terdakwa kasus korupsi divonis bebas oleh pengadilan, baik di tingkat pertama hingga di Mahkamah Agung. Tapi, ironisnya, putusan-putusan pengadilan yang menghukum rakyat kecil semakin meningkat. Tiga butir kakao telah mengantar Mbok Minah ke pengadilan, sebutir semangka juga menyeret Samsul Hadi ke meja hijau
Trias politika yang dicita-citakan untuk memisahkan sekaligus membatasi kekuasaan tidak berdaya sama sekali menghadapi belitan korupsi di negeri ini. Tidaklah mengherankan jika KPK menyebut bahwa Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi.  Korupsi sudah dianggap hal wajar dalam kehidupan sehari-hari karena sudah mendarahdaging dalam semua lembaga tinggi negara.
Orang Jepang mengatakan ikan mulai busuk dari kepalanya. Pejabat public baik di eksekutif maupun yudikatif serta wakil rakyat adalah kepala ikan dan organisasi yang dibawahnya adalah badannya. Jadi, dapat kita bayangkan apabila kepala ikan yang busuk, maka kinerja organisasi ini pun akan cepat membusuk. Siapa yang paling rugi ? Lagi-lagi rakyat !.
Untuk mengobati korupsi, negara mesti menempatkan orang yang tidak berpotensi menjadi koruptor pada pelayanan publik. Apabila seseorang sudah disorot negatif, harus segera ditarik dan tidak perlu berlama-lama bekerja pada posisi tersebut sehingga tidak sempat berlaku koruptif.
Ya Tuhanku, berilah bangsa ini petunjukMu !
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen.

Artikel ini telah dimuat di Solo Pos, 8 Desember 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar