BULAN KE TIGA BELAS
barangkali ia memang sengaja begitu. menjadi bulan bisu. jengahkah? seumpama ada serapah tak berjumlah dipendam dalam dadanya yang maram. tanpa suara. sebatas menebar bahasa-bahasa bintang hilang, sebagaimana sedari maghrib raib, awan terhasut malam dan merupa begitu hitam.
sepertinya ia tahu. karena aku biasa menungguinya di sini, di atap rumahku yang kini tak pernah kukenali lagi. bila tebakanku benar, pada pendar yang ke dua belas kemarin ia sebenar-benarnya telah bosan beredar.
akhirnya mulai malam ini aku harus menciptakan bulan sendiri dalam rumahku yang baru kutahu amat sepi.
ah, bulan bisu.
KANGEN NGANTUK
kusebuti selalu nama yang paling maha mata.
tak terkecuali matamu, mataku, mata-mata. yang membulati dunia kita, menyatukan beraneka bias dan sering kita sebut sebagai warna. mengingatkan kita akan kirana: dengan menerima kenyataan bahwa itu satu-satunya yang sangat kita kangeni sepanjang masa.
kubisikkan sekali lagi asmanya dengan yang paling bisik.
agar redup kesemua rona, lekaslah terhisap dari suara yang semoga akhirnya tidak ada. sebab terkadang kita harus rela dalam senyap dan begitu gelap, biar kilap cahaya yang pastinya nanti lewat terasa begitu nikmat.
DI MUNGIL JEMARI LUCU
pada tubuh sebentuk rindu, dimilikinya sepasang mungil jemari lucu. sebagai tempat biasa pensil-pensil warnanya dilenggang (yang sedari dunia mencintainya ia berasa memilikinya. yang sejak dikenalnya dunia, hanya sekujur ibunya yang ditemuinya, yang menghadiahinya pensil-pensil berwarna apa saja).
namun sayang, sampai kini jemarinya renggang.
seperti hatinya terkurung, ia murung. di putih lembar-lembar matanya adalah kosong, di bening hitam kerlingnya memantul kian kemari. namun mungil jemarinya tetaplah lucu meski layu.
“ibu, apa warna senyummu? kumohon katakan padaku.” selalu dienggani jemunya dengan terus bertanya, sedang senyum itu masih merupa perahu yang melarung ibunya ke ufuk paling kelu.
HUJAN PERTAMA
/1/
seperti mengulang nostalgia akan pontang-panting kebocoran pada titik-titik genting. kemudian lampu padam. tidak ada rupa selain suara: desus angin bisik-bisik perihal gemericik licik. mengenai aroma tanah basah, tidak adanya gerah, akan dinikmati setelah itu meski sekali waktu tidak perlu atau bahkan sekali pun kita tak tahu.
/2/
karena kadang kala, nantinya hujan adalah pengguyur gelagat kita tentang nerima ing pandum, dan pada akhirnya melunturkan semua itu. seakan rintik-rintik itu akan mengoyak busana kita sedikit demi sedikit, sedangkan kemelut halilintar setelahnya menghempas tanpa diduga. bersama angin, ia beringas menelanjangi kita lalu pergi. dan mendung sekali pun enggan mengabungi kemaluan kita yang bertambah menggumpal dan kelihatan. barang pasti, kita kalut. terlanjur basah sudah. terlebih bila deras, gelagat kita seperti makin menggeliat. kepada siapa lagi kelu kita akan merayu selain matahari? ah, basi!
/3/
hujan berikutnya, kita telah terbiasa dengan menempatkan tadah pada titik-titik genting. kebocorannya menjadi sarana masa yang selalu kita hitungi satu per satu, sembari melamuni tentang kapan mentari bersinar lagi. amatlah sia-sia. sebab gaya kita kedaluwarsa.
______
2011
Naim Ali lahir dan tinggal di Kediri. Bergiat di Taman Bacaan Mahanani Kediri, sebuah taman baca gratis untuk meningkatkan minat baca masyarakat, khususnya anak-anak.
Sumber: Kompas, 8 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar