Cerpen: Ivan Mahendra
Saju terhenyak melihat karang tempat biasa ia menempelkan tulisannya tertelan ombak. Tersisa hanya pucuk karang. Sebuah perahu cadik di rahang pantai berliak-liuk. Ia baru ingat hari ini ombak pasang lebih awal. Dengan menggunakan langkah sampar angin, ia tarik perahu itu, lalu melilitkan talinya pada pohon kelapa.
Di pangkal karang yang tegak lurus dengan bibir pantai, seorang nelayan baru berlabuh. Ia sibuk merapikan jala, lalu memungut ikan-ikan yang keluar tong akibat guncangan ombak pasang. Nelayan itu tersenyum melihat ketidaksabaran Saju menunggu ombak surut. Berkali-kali ia mengamati sebuah kertas warna-warni berisi tulisan di tangan Saju.
“Anak itu pasti akan menempel tulisan lagi di karang seberang.” Gumam kecil Nelayan sembari mengencangkan tutup tong berisi ikan, agar ikan-ikannya tidak tumpah kembali.
Saju tidak memperhatikan sekeliling. Yang ia pikirkan hanya surut ombak, kertas-kertas berwarna-warni berisi tulisan, dan cara membaca buku usang bertuliskan “Ma-e-ma-ika”. Ia pandangi buku itu, lalu berpikir bagaimana jika judul buku ini menjadi pedoman judul buku matematika sekarang? Mungkin saat guru bertanya, “sekarang pelajaran apa anak-anak?” mereka akan menjawab, “Ma-e-ma-ika!”
Tak lama berselang, seorang lelaki berlari dari arah belakang Saju. “Saju, maaf aku telat. Beruntung kau datang cepat. Jika tidak, perahu itu sudah hilang terseret ombak. Dan kita tak bisa menyeberangi seratus jengkal laut ini, hingga sampai pada karang itu dan menempelkan tulisan kita pada dindingnya.”
Setiap harinya mereka selalu menempel tulisan di karang seberang. Sebuah karang yang terletak tak jauh dari pantai dengan posisi diapit dua buah karang dari kejauhan, sehingga membentuk seperti dua tanjung dengan sebuah titik di tengahnya, seperti titik dalam tanda kurung.
“Satu yang belum kau ucapkan, ‘mengamati SMP di pintu masuk pantai itu kan?’ Halah, sudah lupakan saja kebiasaan lalaimu itu Ibar. Esok juga kau akan mengulanginya.”
“Hahaha… Aku hanya memuaskan kepenasaranku pada SMP itu.”
“Sudahlah, kita tak mungkin bersekolah di tempat itu. Lebih baik sekarang kita menulis!”
“Tentu. Sudah berapa tulisan yang kau buat hari ini?”
“10 puisi, 1 cerpen, dan 1 artikel.”
“Ah, hari ini aku tertinggal lagi. Aku baru menyelesaikan setengahnya darimu.”
“Tak apa, masih beruntung kita bisa menulis dengan objek alam bebas, tak terbelenggu apapun,” Saju meletakkan bolpoin di buku kertas, menutupnya, lalu berbisik, “kau ingat mereka? Murid-murid SMP itu ketika mendapat PR untuk menulis tentang lingkungan sekitar?”
“Ya, ingat!” Sahut Ibar dengan wajah antusias seperti kala ikan menangkap umpan.
“Kau lihat bagaimana mereka merengek meminta kita yang mengerjakan?”
“Dengan iming-imingan makanan dan mainan itu?”
“Ya!” Saju memantapkan.
Ombak masih berdebur kencang. Keras. Hingga burung-burung pantai enggan mengecipakkan kakinya. Mungkin takut. Mungkin malu. Atau mungkin terlupa pada air yang menjadikannya lepas dahaga.
Sesekali perahu mangayun, bergeser ke kanan, ke kiri oleh lidah ombak.
“Tapi kau malah meninggalkan mereka.”
“Tidak, Ibar. Aku tidak meninggalkan mereka. Justru aku mengajarkan mereka.”
“Mengajarkan? Mengajarkan apa, Kau? Setelah Kau pergi, mereka justru kelimpungan hingga tak bisa berjalan tegak. Dan mereka pun pulang dengan kepala tertunduk.”
“Jika aku mengerjakan, mereka pasti akan kembali dengan niat yang sama. Niat penjilat! Kau mengerti, Ibar?”
Ibar menunduk tiba-tiba. Tak sepatah katapun keluar darinya. Ia bingung memikirkan antara menolong, mengajar, atau justru memerosokkan teman-temannya.
“Hei, lihat Ibar! Ombak sudah surut,” Teriak Saju tiba-tiba sembari menepuk pundak Ibar, “ayo! Segera kita menuju karang di seberang. Kita tempel tulisan hari ini pada dindingnya.”
Dengan cepat mereka mendayung. Saju sibuk mengemas buku-bukunya, buuku yang ia sewa dengan menjadi kuli bangunan dahulu di tempat penyewaannya. Setelah mendekat, ia pepetkan badan perahu dengan ujung badan karang termenonjol. Lalu ia ikatkan pada tali perahu dengan tonjolan ujung karang. Di depannya, lewat sebuah perahu bermesin dengan seorang nelayan di dalamnya.
“Ah, dinding karang ini kosong lagi. Ombak itu menyeret tulisan kita lagi.”
Setiap kali mereka menempel, setiap kali juga mereka kehilangan tulisannya. Pasang surut ombak tak bisa mengingkari orbitasi geraknya.
Di pantai, lelaki nelayan itu masih terjaga. Ia memandangi terus mereka dari kejauhan. “Anak-anak aneh.” Lalu meninggalkan pantai, sambil berkata lirik, “kerjaannya hanya main-main saja” terus berjalan menyusuri pantai, “mungkin semangat kalian tidak usang, tapi keliru tempat.” Suaranya semakin menghilang. Sosok tubuhnya semakin menjauh, terlihat kecil.
“Tak apa, Kawan! Tulisan kita akan terbaca oleh udara, laut, bulan, matahari, dan ikan-ikan di sana. Kita bisa bersahabat dengan mereka.”
“Ah… Betul, Saju! Betul. Kita memiliki keluasan. Kita juga memiliki keleluasaan.”
Saju dan Ibar telah selesai menempelkan tulisan-tulisannya hari ini pada dinding perahu. Segera berbalik kembali ke pantai, menambatkan perahu pada pohon kelapa, lalu pulang. Tak lama berselang, ombak pasang, dan segera pula tulisan itu kembali hilang. Pemikiran rumus, dan senandung cita yang tak mereka dapatkan di sekolah hilang begitu saja oleh ombak. Begitu juga keesokkan harinya. Terus. Terus setiap hari, setiap bulan, hingga setiap tahun. Mereka tak pernah mengeluh. Tak pernah merasa sia-sia tulisan-tulisannya hilang. Hingga pagi kembali hadir.
“Apa yang kalian lakukan di situ?” Tanya lelaki nelayan yang seperti biasa, berlabuh, mengurai jala, lalu mengencangkan tutup tong berisi ikan.
“Kami belajar, Pak.”
“Belajar tidak seharusnya disini. Tidak menempel-nempel tulisan pada dinding yang sebentar saja hilang.”
“Kami lebih nyaman di sini, Pak. Kami bisa memandang langit, merasakan deburan ombak, bahkan mengintai burung-burung jantan pantai yang menguntitti burung-burung betina.” Terang Saju sesekali menatap Ibar.
“Tetapi sudah ada sekolah di daratan sana yang siap menampung kalian.”
“Ah… itu tidak benar, Pak,” potong Ibar, “sekolah di sana hanya cocok untuk orang-orang yang mampu membayar saja. Sedang kami tidak mampu membayar, maka kami tidak cocok belajar di sana.”
“Siapa bilang? Ada. Ada sekolah tanpa memungut biasa sepeserpun.”
“Benarkah? Di mana itu?” Sahut Saju.
“Lebih baik kita mendarat dulu sekarang.” Ajak Lelaki Nelayan berusia lima puluhan berkaos oblong tak bersandal itu. Pak Soleh mengawali pendaratan dengan memacu lurus perahunya. Muka perahunya memang sudah mengarah ke pantai, sedang Saju dan Ibar perlu membalikkan perahu terlebih dahulu sebelum mereka mendayung.
Pak Soleh sudah menunggu sambil duduk di dinding perahu. Saju dan Ibar merapat.
“Mari, saya antarkan.”
“Bapak yakin sekolah itu tidak memungut biaya? Bukankah kebanyakan sekolah pasti memiliki tarif biaya?” Tanya Ibar meyakinkan.
Pak Soleh tersenyum manis. Kantung matanya terlihat mengendur. Mungkin terlalu capek setelah semalaman berburu ikan. Atau mungkin memang sudah waktunya mengendur.
“Tepatnya di mana, Pak, sekolahnya? Saya tidak pernah mendengar, bahkan melihatnya.”
“Sekolah itu, sering kalian lihat, bahkan sering kalian lewati.” Saju mendesakkan kepalanya ke kepala Ibar, dan berkata lirih.
“Atau jangan-jangan sekolah yang bisa Kau intip itu, Bar?”Ibar mengangkat bahu.
Mereka berjalan di atas tanah berbatu. Di depan, muncul sebuah bangunan. Bangunan itu kerap mereka lewati saat hendak menuju pantai. Sekarang mereka bertiga tepat berada di depan gerbang sekolah. Gerbang itu terbuat dari ragumam lempengan kayu, dengan menghitam dan keropos pada bagian bawah. Seorang petugas keamanan menyambut.
“Silahkan masuk, adik-adik. Silahkan masuk Pak Soleh.”
Saju dan Ibar sontak kaget. Mereka heran. Bagaimana mungkin petugas jaga itu mengenal Pak Soleh? Padahal ia hanya seorang nelayan. Apakah ia lulusan SMP ini? Atau dulu pernah mengajar di sini? Tapi tidak mungkin. SMP ini baru berdiri dua tahun lalu. Mereka menempelkan tulisan di dinding sudah dua tahun ini, dan saat itulah mereka melihat Pak Soleh berprofesi nelayan. Kalau Pak Soleh lulusan SMP ini lebih tidak mungkin lagi. Usianya jauh lebih tua dari usia sekolah. Atau jangan-jangan pemilik sekolah ini? Tidak mungkin karena sekolah ini milik pemerintahLalu siapakah Dia? Pergumulan pertanyaan terus berlangsung dalam hati sepanjang Saju dan Iba berjalan.
Sampailah mereka di ruang tata usaha. Ruang ini memang dirancang untuk melayani penerimaan murid, karyawan, juga guru. Ruangan ini akan ramai setiap akhir bulannya. Karena saat itu para guru mengambil upah mengajarnya.
“Selamat pagi, Pak.” Saju dan Ibar semakin bingung. Mereka bukannya yang mengucapkan salam, tetapi malah yang disambut.
“Selamat pagi,” sahut Pak Soleh dengan suara berat namun tenang, “bisa minta tolong daftarkan mereka di sekolah ini?”
“Tentu, Pak.” Petugas itu langsung mengambil arsip dari brankas yang tak jauh dari meja kerjanya.
Pak Soleh keluar. Mungkin ingin mencuci muka atau membasuh kedua tangannya setelah terkontaminasi air laut. Saju dan Ibar mengisi formulir pendaftaran. Mereka tidak merasa canggung menulis karena memang sudah kebiasaannya menulis untuk ditempelkan pada karang. Pengisian sampai pada bagian penandatangan formulir, sekaligus mengakhiri sesi penerimaan siswa baru. Mereka diperkenankan pulang. Namun mereka hanya saling lempar pandang. Jika di tempat orang, mereka akan canggung, tak seperti saat mendayung, menyeberang laut, lalu menempelkan tulisan di dinding karang. Petugas jaga segera membaca pertempuran batin murid baru itu.
“Mari, saya antar menemui Pak Soleh.”
Mereka keluar ruangan. Raut Ibar sepertinya sedang merencanakan hari esok, hari pertama kali sekolah. Namun tidak pada saju. Masih terbesit sosok Pak Soleh yang begitu tak asing di sekolah ini.
Mereka terus berjalan menyusuri latar sekolah. Saju terus saja memikirkan sembari membaca nama ruang yang tertulis pada rangka pintu atas. Perjalanan terhenti di depan sebuah ruangan yang terletak paling pojok, menghadap berlawanan dengan arah kedatangan mereka. Pak Soleh sudah berdiri. Menghadap mereka.
“Sudah selesai, Nak?”
“Ibar! Lihat! Lihat tulisan itu!”
Saju bukannya merespon pertanyaan Pak Soleh, tapi memilih mengajak Ibar membaca nama ruang.
“Benarkah itu, Saju?!”
Sebuah papan nama ruang bertuliskan:
RUANG KEPALA SEKOLAH
HEAD MASTER ROOM
SOLEH MALAINO, M.Hum.
Saju dan Ibar mendadak seperti terkena shock terapy. Mereka segera sungkem kepada Pak Soleh.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih, Pak..”
“Selamat bergabung, Nak. Besok kalian bisa mulai masuk. Seragam bebas. Tak perlu paksakan membeli seragam. Satu hal lagi, ajari siswa-siswa di sini menulis!”
Saju dan Ibar langsung pulang. Mereka tak mengira seorang nelayan yang tempo hari ia hiraukan, ternyata seorang kepala sekolah bergelar magister. Jalan nelayan Pak Soleh tempuh guna menopang biaya perlengkapan dan operasional semua murid yang tidak mampu membayar. Termasuk Saju, juga Ibar.
Keesokkan harinya, hari pertama Saju dan Ibar bersekolah. Mereka berseragam rapi, namun bukan seragam SMP. Seragam yang mereka pakai adalah seragam andalan yang biasa digunakan untuk berlebaran tiga tahun terakhir. Kini ada seorang pengajar yang setiap hari mengajari yang tak pernah mereka dapati sebelumnya.
Pak Soleh mengubah sistem pembelajaran. Setiap akhir jam pelajaran, semua siswa diwajibakan menempelkan tulisan pada dinding karang di laut. Alhasil, setiap jam akhir pelajaran, semua siswa berduyun-duyun menuju pantai, membawa tulisan dan menempelkannya pada karang. Tak hanya para siswa, namun juga para nelayan. Mereka belajar menulis lalu menempelkannya pada karang. Warga pantai pun tak mau ketinggalan. Semua orang menulis lalu menempelkannya pada karang dengan beragam kertas warna. Hingga karang menjadi berwarna-warni seperti kerlip bola Kristal jika dilihat dari kejauahan.
Seribu tulisan menempel pada dinding tiap harinya. Terus bertambah, hingga ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu.
YK, 12-12-2012, sewaktu banjir lahar dingin
Sumber: Kompas, 22 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar