- Oleh Saeful Achyar
Alkisah, Elang Gumilang, pemuda lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini begitu gemilang. Ia dinobatkan oleh pelbagai lembaga sebagai wirausahawan muda yang berhasil membangun usaha saat masih mahasiswa. Ia pun dinobatkan sebagai pemenang Wirausahawan Muda Mandiri terbaik Indonesia 2007, Lelaki Sejati Pengobar Inspirasi 2008, Man of the Year 2008 oleh Radar Bogor, Pemuda Pilihan 2008 oleh TV One, dan Indonesia Top Young Entrepreuner 2008 dari Warta Ekonomi.
Ia menceritakan bahwa apa yang ia raih itu membutuhkan proses yang panjang dan tak gampang.
Elang, mulai mengasah jiwa wirausahanya sejak kelas 3 SMA. Ia mempunyai target selepas lulus SMA harus mendapatkan uang Rp 10 Juta untuk mendapatkan modal kuliah. Tanpa sepengetahuan orang tua, ia berjualan donat keliling ke sekolah-sekolah dasar di Bogor. Saat kuliah, Elang pun terus mengasah naluri wirausahanya dengan berjualan sepatu di sekitar kampus. Tidak hanya itu, saat ia melihat lampu-lampu redup di kampusnya, peluang pengadaan bisnis lampu pun terekam di benaknya.
Berbekal surat yang ia dapat dari rekomendasi kampus, ia lantas melobi perusahaan Philips pusat untuk menyetok lampu di kampusnya. Keuntungan didapat Elang dari penjualan setiap lampu, sampai akhirnya ia berhasil mengumpulkan modal untuk usaha properti buat kaum papa yang ia geluti sekarang. Selain berjiwa wirausaha, rasa humanisme-sosial Elang pun berakar. ‘’Ada 75 juta penduduk negeri ini yang membutuhkan rumah. Ini peluang bisnis, tapi kita sekalian ibadah membantu orang juga,’’ katanya (Rhenald Kasali, 2010).
Nalar Pegawai
Kita tahu, sejak institusi pendidikan didirikan pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda abad XIX, nalar sebagai pegawai mendekam pada diri mayoritas kaum elite terdidik pribumi. Elite terdidik lulusan sekolah pemerintah kolonial itu ditempatkan sebagai pegawai rendahan, baik di birokrasi pemerintah maupun swasta melalui mekanisme aturan dan sistem gaji.
Politik ini ampuh menggerakkan nalar dan melunturkan jiwa dagang pribumi yang konon pernah berjaya semasa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Kerajaan Demak di Nusantara. Sisa-sisa kolonialisme pun tergambar melekat bahkan masih mendarah daging dengan sebutan mentalitas inlander. Nasruddin Anshory (2008) menilai mentalitas inlander adalah sebuah kondisi atau karakter di mana sang pemangku selalu berusaha untuk mencari ‘’aman’’ dalam situasi yang sulit. Boesjra Zahir memberi tamsil di zaman penjajahan, pendidikan hanya dimaksudkan untuk sekadar memberi kesempatan pada keluarga golongan yang dapat dipercaya untuk ikut serta mempertahankan kelangsungan pemerintahan penjajahan itu (Prisma, Maret 1978).
Mahasiswa sebagai intelektual mempunyai tugas dalam semua lini, yang dimulai saat duduk di bangku kuliah. Syaratnya, mereka tak boleh berleha-leha di kampus, sebab kampus adalah medium bagi pengasahan pikiran, perasaan, mentalitas, dan spiritualitas. Kampus tidak sekadar pencipta lembaran ijazah, tapi ia juga memberi narasi pengetahuan dan mentalitas agar mahasiswa tak terjerembab pada kultur job seeker (pencari kerja). Kepekaan terhadap realitas di masyarakat mutlak diperlukan guna membentuk karakter tangguh sebagai bagian dari budaya wirausaha yang kini digerakan di kampus-kampus.
Peter Drucker, seorang pakar manajemen menegaskan, ‘’The entrepreneur always searches for change, responds to it and exploits it as an opportunity’’ (pengusaha selalu mencari respons perubahan untuk itu dan mengeksploitasi sebagai sebuah kesempatan). Ciputra (2008) juga memberi semangat bahwa seorang wirausahawan harus sanggup mengubah ‘’kotoran’’ dan ‘’rongsokan’’ menjadi emas.
Mengubah Paradigma
Terjun di bidang wirausaha yang penuh ketidakpastian, ketidakamanan, dan berisiko tentunya memiliki tantangan tersendiri. Di sini, mahasiswa tak ubahnya sebagai agen intelektual yang kreatif dan inovatif. Mereka berusaha mencari solusi dengan menemukan dan menciptakan peluang óberdasar etika dan moral yang tak menyimpang.
Paradigma pencari kerja (pegawai) merupakan budaya kuno yang tak sejalan dengan zaman. Kompetitifnya persaingan global menuntut mahasiswa tak berpangku tangan.
Selain mengasah intelektual di kampus, gairah wirausaha pun perlu ditumbuhkan sebagai bagian dari budaya intelektual. Negara setidaknya terbantu dalam pengentasan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran yang bertambah tiap tahun.
Kemakmuran yang didamba rasanya bakal terlaksana jika mahasiswa berani bertarung dalam dunia wirausaha yang penuh onak dan duri. Mengutip Aristoteles, ‘’Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang, keunggulan bukanlah suatu perbuatan, tapi sebagai kebiasaan yang dilakukan berulang- ulang.’’
Kemampuan berwirausaha adalah buah dari kebiasaan, seperti halnya Elang Gumilang. Kebiasaan itu pada akhirnya membentuk sebagai budaya, yang pada akhirnya melatih mentalitas mahasiswa sebelum beranjak memasuki dunia barunya. (24)
—Saeful Achyar, mahasiswa PBSID Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pengelola Majalah Papirus.
Sumber: Suaramerdeka, 3 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar