Pages - Menu

30 November 2011

Ketika Seorang Kawan Datang

Cerpen: Odi Shalahuddin

Dia telah berdiri di hadapanku. Di depan meja. Membuatku gugup. Sekilas memandang sekitar, aku merasa semua mata menuju ke arah kami. Ah, kenapa dia datang di saat yang sama sekali tidak tepat? Bukankah kukatakan nanti malam saja bila ingin berjumpa.

Ia tersenyum, mengulurkan tangannya padaku. “Gimana kabarmu? Wah, sudah makmur sekali ya?”
“Eh, iya... ya.. baik.. baik....”


“Belum mulai ya,” tanyanya yang kukira tak perlu menunggu jawaban. Matanya memandang sekeliling. Meja-meja bundar, dengan lima atau enam kursi yang mengelilinginya. Baru sebagian yang terisi. Semua masih tampak berbincang-bincang. Di depan, belum ada orang.

Walaupun masih ada dua kursi kosong di mejaku. Aku tidak berani menawarkan kepadanya untuk duduk. Dua orang di sampingku, berulangkali memandangku dengan pandangan tak suka.
”Kita di luar dulu,” aku berdiri sambil meraih tangannya.

”Di sini sajalah. Santai sekaligus menikmati kemewahan. Cuci mata,” katanya setengah tertawa.

Ah, dia memang belum berubah. Wajahnya yang keras, dengan pandangan mata tajam.Suaranya keras tapi terdengar jelas. Orang pasti tidak akan menyangka bila hanya mendengar suaranya saja. Suara itu seolah-olah memiliki tubuh yang kekar. Sedangkan pemilik suara sesungguhnya bertubuh kurus. Sangat kurus bahkan.
Aku agak gelagapan mendengar penolakannya. Mataku melihat sekeliling. Ada beberapa mata yang kebetulan tengah memandang kami.

”Ayolah,” ajakku lagi.

”Santai sajalah. Hm, Baraman juga hadir ya?”

Ups. Aku menoleh ke arah sosok yang duduk satu meja denganku. Mereka juga memandang.
”Eh, aku tidak tahu. Tapi dalam undangan katanya dia yang akan membuka acara ini,”
”Oh, selalu saja beruntung dia,” katanya.

”Kita di luar yuk,” ajakku lagi.

”Ok, Ok,” ia beranjak sambil meraih botol air mineral di meja. Langsung menenggaknya dan membawa sisanya. Kami berjalan beriringan. Empat gadis cantik penerima tamu, memandang kami, lalu berbisik-bisik. Ah, biarlah. Aku tidak mendengar ini.

Kami duduk di sofa yang paling ujung. Aku memang sengaja membawanya ke sana, sehingga tidak menarik perhatian. Orang-orang terus berdatangan.

Ah, kawan satu ini. Benar-benar tidak berubah. Ia kelihatan sangat santai. Santai sekali. Tidak perduli dengan situasi dimana ia berada. Sungguh, seperti dua puluh tahun lalu ketika kami sama-sama di dalam satu komunitas. Ia orang yang tidak pernah ragu, tidak pernah takut, atau juga tidak pernah menunjukkan keminderan.

”Orang-orang berkuasa karena suara-suara dari kita. Kita, para pemberi suara adalah Tuan. Kita mendatangi pembantu yang kita mandatkan untuk mengelola bangsa ini. Jadi tidak perlu takut Bapak-Ibu sekalian. Kita mendatangi pembantunya pembantu kita. Bila masih mentok, kita datangi pembantu kita yang terhormat, Tuan Presiden,” masih kuingat provokasinya yang membangkitkan semangat para petani yang tanahnya akan tergusur, ketika kami mendatangi kantor Mentri Dalam Negeri.

Ia dengan tubuh kurus berdiri di atas undakan tiang bendera dengan tangan kiri mengepal ke udara, dengan suara menggelegar memecah sengat matahari yang merasuk hangat ke jiwa-jiwa yang hadir. Rambut panjangnya terurai dipermainkan angin. Sesekali ia mengibaskan. Pakaian kebesarannya terbuat dari karung gandum yang diwenter menjadi warna hitam, dengan sandal jepit sebagai alas kakinya.

Segeralah kami bergerak berniat memasuki halaman kantor Mentri yang pagar besinya sudah tertutup rapat dengan penjagaan yang sangat ketat dari para polisi dan tentara.
“Cara mengalahkan kapitalis, ya kita tidak konsumtif. Ngomong anti kapitalis, tapi bingung mencari merek....” katanya pernah mengatakan hal itu dalam diskusi santai di sekretariat mahasiswa.
Ya, kawan ini, masih berpenampilan sama. Hanya rambutnya saja yang sudah mulai memutih keperakan. Ketika ia masuk ke ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang dengan menggunakan jas safari, maka bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku. Apalagi ia mengucapkan nama Baraman tanpa menggunakan kata depan Bapak.

”Jadi, bagaimana, Bung?” tanyaku.

”Ah, begitulah. Senang aku mendengar kau memanggil begitu. Tidak perlu formal-formalan. Aku mau minta tolong dirimu mempertemukan dengan Baraman. Adiknya dia, pengusaha rakus itu mau memakan tanah-tanah di kampungku. Tapi kudengar ada acara di sini, jadi sekalian saja aku temui Baraman di sini,”

Tegang terasa menjalar di kepalaku. Aduh. Bagaimana ini? Aku sudah mengetahui benar kawan satu ini bertindak. Ia pasti akan memperlakukan Baraman seperti kawan yang dikenalnya dulu. Padahal sekarang posisi Baraman.....

”Pak Menteri sudah datang, Pak Menteri sudah datang,” beberapa orang terlihat memberi kabar. Di depan pintu ruangan segera berjejer orang-orang, termasuk penerima tamu yang cantik-cantik itu.
”Baraman?”

Aku mengangguk. Kawan ini segera bangkit. Berjalan menuju barisan orang yang tengah mempersiapkan sambutan kepada Bapak Menteri. Aku sendiri, tetap saja duduk sambil membayangkan apa yang akan terjadi.
Ah...

Yogyakarta, 25 Maret 2011

Sumber: kompas, 26 Nopember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar