Oleh Dahlia Irawati
Sosoknya relatif kecil, tetapi karyanya bagi kemajuan pendidikan di Tanah Air bisa dikatakan cukup besar. Berawal dari sebuah perpustakaan bambu sederhana di kampungnya, sekarang Eko Tjahyono (31) mampu menyirami dahaga membaca ribuan orang di dalam dan luar kampungnya.
Kisah pejuang perpustakaan kampung ini dimulai pada 1998 saat Eko membangun perpustakaan kecil-kecilan di rumahnya. ”Nafsu” membaca Eko tumbuh subur kala itu sebab dia memiliki banyak waktu luang setelah mengalami pemutusan hubungan kerja dari pabrik konfeksi tempatnya bekerja.
Pabrik tempat Eko bekerja tak bisa bertahan, terimbas krisis moneter. Banyaknya waktu luang membuat Eko dalam sehari bisa membaca sampai sekitar 3 kilogram koran bekas.
Melihat keasyikan pria itu membaca koran, satu per satu tetangga Eko kemudian tertarik untuk turut membaca. Dia bercerita, awalnya mereka heran mengapa Eko bisa asyik membaca koran. Eko pun coba menarik minat membaca para tetangganya dengan menyediakan majalah-majalah.
Seiring dengan semakin banyaknya para tetangga yang tertarik ikut membaca majalah dan koran, lambat laun koran-koran bekas itu pun menggunung di rumahnya.
Hari demi hari, semakin banyak pengunjung ”perpustakaan”-nya. Kondisi itu menuntut pemuda asal Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tersebut berusaha mencarikan bahan bacaan lebih banyak lagi.
Pada 2008, Eko pun memberanikan diri mendirikan perpustakaan di lahan kosong milik tetangganya yang terletak di samping tanah makam desa. Namun, keterbatasan biaya membuat Eko hanya mampu membangun perpustakaan bambu dan diberinya nama ”Perpustakaan Anak Bangsa”.
Ajang ”nongkrong”
Meski awalnya keberadaan perpustakaan itu sempat dicap ”miring” oleh sebagian tetangga di sekitar lokasi karena menjadi ajang nongkrong pemuda-pemudi, perpustakaan bambu itu nyatanya bisa terus berkembang.
Jumlah buku dan anggota Perpustakaan Anak Bangsa pun semakin banyak. Sekarang ini dia memperkirakan anggotanya sudah lebih dari 10.000 orang. Lebih dari 2.000 anggota di antaranya adalah pelajar. Anggota lain berasal dari beragam latar belakang, mulai dari tukang becak, ibu rumah tangga, petani, sampai para pelajar dari dalam dan luar kampungnya.
Para anggota Perpustakaan Anak Bangsa umumnya senang mengunjungi tempat itu karena Eko meminjamkan buku-buku koleksinya secara gratis. Sementara bagi Eko, semakin banyak orang mau membaca saja sudah menyenangkan hatinya.
Dengan membaca, Eko berharap apa pun kondisinya, orang tersebut tetap mempunyai pengetahuan luas dan mampu berpikir lebih terbuka untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Warga di kampung Eko yang rata-rata bekerja sebagai buruh tani, pencari kayu di hutan, peternak, atau kuli bangunan di kota itu sesungguhnya juga haus akan pengetahuan. Bagi Eko, kalau pikiran mereka lebih terbuka dan pintar, hidup seseorang akan bahagia, apa pun pekerjaan dan berapa pun penghasilannya.
Perpustakaan Anak Bangsa pun terus berkembang. Eko membiayai operasional perpustakaannya dari hasil menjual tulisannya ke sejumlah surat kabar. Ia juga mengambil sebagian penghasilan dari usaha menjual bahan makanan pokok yang kala itu dijalankannya bersama sang kakak.
Namun, suatu ketika, saat lahan tempat perpustakaan itu akan dijual pemiliknya (Eko menempati lahan itu dengan gratis), dia mulai kebingungan. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu coba membeli lahan tersebut agar perpustakaan yang sudah memiliki banyak anggota itu tidak tutup.
Bahkan, Eko, anak pasangan Supeno dan Ponisah, sempat berniat menjual ginjalnya untuk membeli lahan tersebut meski akhirnya niat itu dibatalkan.
Di tengah situasi sulit itu, Perpustakaan Anak Bangsa terus berkembang. Jika awalnya koleksi buku-bukunya terbatas, kini koleksinya beragam, mulai dari majalah Bobo, buku pelajaran sekolah, buku komputer, novel roman seperti karya Mira W, novel terjemahan, sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Perpustakaan Anak Bangsa bahkan menyediakan novel-novel berbahasa Inggris meski dalam jumlah yang masih terbatas.
Perpustakaan mandiri
Perjuangan Eko selama sekitar 13 tahun pun mulai memperlihatkan hasil. Juli 2011, atas bantuan dan perhatian banyak pihak, dia akhirnya bisa membeli lahan dan mampu membangun perpustakaan berdinding bata.
Kini, tidak hanya Perpustakaan Anak Bangsa yang berkembang. Berbagai perpustakaan mandiri lain, baik di Malang maupun di luar Malang, turut maju. Mereka menjadikan perpustakaan buatan Eko sebagai rujukan untuk mendapatkan sumbangan buku.
”Keinginan saya dengan Perpustakaan Anak Bangsa ini sudah tercapai, yaitu menjadikannya perpustakaan permanen. Orang-orang di kampung saya juga sudah mencintai buku. Mereka suka membaca,” katanya.
Eko menambahkan, ”Sekarang saya lebih tertarik membangun sudut-sudut baca di sejumlah titik, seperti pos tukang ojek, puskesmas, dan pasar. Meski jumlah bukunya sedikit, sudut baca ini bisa ada di mana saja dan mudah dicapai lebih banyak kalangan. Artinya, semakin banyak orang bisa membaca.”
Semangat Eko untuk mengobarkan api membaca memang tidak padam. Ia berniat tetap mengelola perpustakaannya sampai tubuhnya tidak kuat lagi mencari buku untuk bahan bacaan bagi anggota perpustakaan.
Rencana membuka warung nasi dan es di depan perpustakaan dianggap Eko cukup efektif untuk membiayai operasional perpustakaan dan kebutuhan hidupnya ke depan.
”Mengelola perpustakaan itu tidak butuh banyak biaya. Kita hanya butuh niat yang kuat,” ujarnya.
Beragam penghargaan telah diterima Eko atas dedikasinya menggiatkan kecintaan banyak orang untuk membaca, seperti Nugra Jasadharma Pustakaloka dari Perpustakaan Nasional RI, Penghargaan Mutiara Bangsa Bidang Pendidikan, serta gelar Taman Bacaan Kreatif dan Rekreatif Se-Indonesia dari Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional pada Mei 2011 untuk
Perpustakaan Anak Bangsa.
Bermula dari kampung, kini Eko menjadi setitik cahaya penerang pendidikan di Tanah Air. Semoga semangat ini tetap terjaga dan menular pada lebih banyak orang.
Sumber: Kompas, 09 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar