Pages - Menu

22 Oktober 2011

K e m b a l i

Cerpen Cosma Kopong Beda

“Kembalilah, Ina. Sudah delapan tahun kita berpisah. Sungguh satu hal yang selalu menggangguku adalah kesepian. Pulanglah, Inaku sayang!” Aku sangat merindukanmu. Kuharap, purnama malam nanti kita bisa sama menyaksikannya dari taman bunga-bunga mawar itu. Kau suka sekali dengan mawar dan aku suka sekali berada di sampingmu, Ina. Aku tunggu, ya. Kedatanganmu.” Dari Yang Mencintaimu Zion −−− Inilah bunyi surat pertama Zion untuk kekasihnya, Ina, yang sekarang sedang berada di negeri Samba.

Sebuah negeri yang terkenal dengan sepak bolanya yang aduhai. Jelas timnas Garuda harus lebih banyak berlatih dan berlatih serta harus siap mental yang baik dan fisik yang kuat untuk melawan permainan anak-anak Samba yang sudah lima kali menjuarai piala dunia itu. Ah, kurasa bukan soal sepak bola yang hendak aku ceritakan saat ini.


Delapan tahun sudah Zion dan Ina berpisah. Ina pergi ke Brazil mengikuti kedua orangtuanya yang sekarang sedang bekerja di sana. Entah apa perkerjaan kedua orang tua Ina, Zion sahabatku ini tidak pernah memberitahuku. Entah apa sebab, jelas aku tak tahu. Setiap kali aku menanyakan soal itu, Zion tak pernah mau memberitahuku. Tapi, sudahlah. Itukan bukan urusanku.

Zion dan Ina selama ini−selama delapan tahun tidak pernah berkomunikasi sedikit pun. Padahal soal komunikas di zaman yang serba canggih ini adalah hal yang sangat gampang. Bisa lewat telpon seluler atau pun lewat jejaring sosial yang sekarang sedang marak-maraknya. Namun, kecanggihan itu tidak dimanfaatkan penuh oleh kedua pasang kekasih ini untuk sekedar menghilangkan kerinduan. Sangatlah disayangkan, bukan?

Mereka hanya membiarkan kerinduan itu datang dan terus datang mengusik malam-malam mereka. Hal ini sangat dirasakan Zion sahabatku ini. Dia pernah bercerita kepadaku soal kerinduannya pada Ina yang tak bisa ia tahan lagi. Entah, Ina juga merasakan hal yang sama. Dia tidak tahu. Tapi jelas ia sangat merindukan Ina, buah hatinya ini.

Kesepian yang sudah bertahun mengisi malam-malam Zion sahabatku ini membuat aku juga seperti merasakannya. Kadang ia murung membuat aku pun jadi merasakan betapa dunia ini sepi sekali bila hidup tak ada yang menemani. Mungkin karena itu maka Tuhan menciptkan Hawa. Bayangkan saja jika tak ada Hawa, Adam tentu akan kesepian seperti halnya yang Zion rasakan sekarang ini. Zion adalah sahabat dekatku yang sangat akrab denganku sehingga membuat aku tak tega membiarkan ia dalam kesepian yang berlarut. Kadang bila ia hendak menangis karena kesepian itu, aku coba mengajak ia mendengarkan beberapa lagu kesukaannya. November Rain adalah salah satu lagu kesukaannya. Lagu milik Guns N’ Roses ini kadang membuat ia bisa tersenyum, walau hanya beberapa jam saja.

Pernah aku menyuruh Zion untuk membuat akun facebooknya. Siapa tahu dengan akun yang ia miliki bisa membuat ia lebih gampang berkomuniksi dengan Ina. Meski tujuankku baik, tapi ia selalu saja menolak setiap ide-ide yang kukasih. Ia tidak suka dengan dunia maya. Banyak kejahatan yang terjadi di sana. Ia hanya ingin Ina kembali dalam dunia yang nyata. Dunia dimana mereka bisa saling dekap dan saling bercakap-cakap tentang bulan dan tentang bintang. Lalu tersenyum bersama-sama. Sesungguhnya dunia nyatalah yang dapat membuat ia bisa merasakan bahwa bumi ini tak ia sendiri yang menjadi penghuni. Ada Ina di sana yang bisa mengecup keningnya. Hal inilah yang membuat ia selalu saja menolak untuk membuat akun facebook.

Aku hanya ingin hidup dalam dunia yang nyata. Dunia dimana ada sahabat-sahabtku yang benar-benar bisa membantuku bila aku menjumpai kesusahan dan kesedihan. Begitulah katanya. Baginya dunia maya sama sekali tak bisa memberikan ia sebuah kebahagian. Memang agak keras kepala, namun itulah yang menjadi pilihan hidup Zion, sahabatku ini. Atas sifat keras kepalanya itu membuat ia bisa menahan segala kesepian yang datang meski kadang ia harus meratapi kesepian. Sekali pun kesepian itu sangatlah menikam, ia tetap kuat untuk melawannya. Ia selalu menunggu untuk kembalinya Ina ke dalam dekapannya. Memang, menunggu adalah pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, Zion adalah manusia yang boleh dibilang beda dari yang lainnya.

Bisa menunggu hingga bertahun lamanya. Ia selalu percaya bahwa Ina tidak mungkin mengkhianati cinta tulusnya. Kepercayaan yang ia miliki inilah membuat ia selalu menanti Ina. −−− Sebuah sore yang tenang, aku coba mengajak Zion untuk minum kopi sore bersamaku di rumahku. “Zion, kamu terlalu kuat kawanku.”

Kataku memujinya. “Aku selalu kuat kawanku. Aku mampu hidup bertahun dalam kesepian, kawan. Jika hal ini terjadi padamu, kurasa kau tak akan bertahan untuk hidup di bumi Tuhan ini, bukan?” Kata Zion sambil menertawaiku. “Ah, aku lebih kuat kawanku. Aku bisa hidup tanpamu. Kau sahabat yang paling menyebalkan.” Sekarang giliranku yang menertawainya. “Jangan bohong kau kawanku. Tanpa aku kau mungkin sudah lama mati.” Zion tersenyum sambil meneguk kopi panas.

“Sudahlah kawanku. Kita tidak usah berdebat soal kesunyian. Tapi, mari kita pikirkan bagaimana cara agar si Ina segera kembali ke dalam dekapmu”. “Boleh, tapi jangan kau suruh aku untuk membuat akun facebook dan lalu mencari Ina, kemudian meng-add-nya dan lalu mengirim pesan kepadanya untuk segera pulang”.

“Kali Ini tidak kawanku. Kau tahu bukan sahabatku?” “Tahu tentang apa?” “Konon, tanggal 04 Oktober ini si Claudius akan ke Brazil. Coba saja kau menuliskan surat untuk Ina”. “ Serius kau kawanku?” “Iya, tentu aku serius kawanku. Tidak pernah bukan aku membohongimu?” “Hmm..benar, kawanku.”

Zion pun mulai menuliskan surat pertamanya untuk Ina. Setelah delapan tahun tidak pernah saling mengabarkan akhirnya segala kerinduan yang ia pendam selama ini pun tertuangkan di atas kertas putihnya. Ia melakukan penyandian yang baik dengan bahasa yang baku. Surat yang padat dengan kata-kata pun ia tuliskan. Kata demi kata ia rancang dengan indahnya. Tulisannya pun indah terlihat di sana. Rapi dan sangat mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar.

“Tulisanmu bagus kawan? Ujarku memuji.” ”Oh, tentu kawanku”. Tapi, Zion tidak begitu memperhatikan aku yang duduk di depannya. Ia menjawab semua ucapanku dengan begitu saja. Kali ini benar-benar ia memusatkan perhatiannya pada surat yang ia tuliskan. Kerinduannya sudah terlalu penuh tersimpan di dalam dadanya. Sekarang saatnya ia menuangkannya.

Sebuah surat telah selesai ia tuliskan. Dadanya yang selama ini hanya berisi kerinduan terlihat seperti kosong. Ia tersenyum, lalu tertawa kecil dan kemudian meneguk kopinya. Setelah itu membakar sebatang rokok. "Ah, enak sekali dadaku. Serunya.” “Enak?” ”Iya, Duff, kawanku. Dadaku sekarang benar-benar kosong. Segala rinduku kini sudah menjadi huruf-huruf, kawanku. Aku merasa sebuah beban berat di dadaku telah terbuang. Sekarang tinggal saja aku kirimkan surat ini lewat Claudius dan tinggal menanti balasan dari Ina”.

Tetap saja kau menanti lagi kawanku. Bukakah itu hanya menambah deritamu?” “Tidak. Kali ini tidak.

Dengan suratku ini kurasa Ina akan pulang dan menemuiku. Suratku ini sangat puitis kawanku.” ”Seyakin itukah kamu pada suratmu ini?” ”Yakin. Iya, aku sangat yakin pada kata-kataku sendiri. Kata-kata yang bisa membuat Ina bisa pulang ke pangkuanku seperti sedia kala.” ”Bolehkah aku membaca suratmu itu?” ”Tentu boleh kawanku. “Kembalilah, Ina. Sudah delapan tahun kita berpisah. Sungguh satu hal yang selalu menggangguku adalah kesepian. Pulanglah, Inaku sayang!”

"Aku sangat merindukanmu. Kuharap, purnama malam nanti kita bisa sama menyaksikannya dari taman bunga-bunga mawar itu. Kau suka sekali dengan mawar dan aku suka sekali berada di sampingmu, Ina. Aku tunggu, ya. Kedatanganmu.” Dari Yang Mencintaimu Zion.

Begitulah bunyi surat Zion untuk Ina yang akan ia kirimkan lewat sahabat kami, Claudius, yang akan pergi ke Brasil Oktober mendatang. Aku sudah membacanya sebelum kekasihnya. Sekarang saatnya kawanku menanti balasan atas surat ini.

Jika semua kita semua di bumi ini selalu setia kepada kekasih atau pun pasangan kita seperti halnya sahabatku yang satu ini. Bertahun-tahun ia menunggu dalam kesepian. Tentu yang namanya perselingkuhan dan isteri simpanan itu tak akan ada. Sakitkan bila di khianati? Sebagai manusia normal jawabannya pasti ‘tentu’. Aku ingin menjadi lelaki setia seperti sahabatku ini. −−− "Kawanku sudahkah kau mendapatkan balasan dari Ina atas suratmu yang kau kirimkan kepadanya?”. Tanyaku saat kami berjumpa di Gereja suatu senja. Sebulan setelah Zion menuliskan suratnya untuk Ina.

”Iya, kawanku. Aku sudah mendapatkan balasannya. Dalam suratnya, Ina bilang ia akan pulang  bulan Februari mendatang. Dan kami akan menikah kawanku.” ”Wah, ternyata Ina juga setia sama seperti kau, kawanku. Semoga saja Kau dan Ina akan bahagia nantinya.” ”Amin, kawanku. Kesetian kami ini sudah cukup membuat aku bahagia, kawanku. Semoga saja kamu juga bahagia bersama isterimu, Stefanie.
“Bisakah aku setia seperti mereka? Tanyaku dalam hati.”

Ciputat, 2011

Sumber: Kompas, 21 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar