Cerpen Joko Nugroho
Anisa menyelinap di antara pepohonan. Menunduk, merangkak. Matanya yang sayu, mengamati sekelilingnya. Saat terdengar langkah kaki, ia berhenti. Kemudian menyusup kembali ketika yang terdengar hanya hembusan napasnya dan cacing yang terus menggeliat di dalam perut. Desauan angin merisau memacu degup jantung untuk berdetak kian kencang tatkala ia sampai di pintu pagar bagian belakang rumah tersebut.
Anisa mengamati rumah bertingkat dua bercat merah maron itu. Telinganya seksama mendengar segala suara di sekitarnya. Sesekali ia mengamati sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang yang melihat ia bersembunyi di balik bak sampah yang berada di samping pintu pagar bagian belakang rumah milik Abah Ahong. Suara kucing ribut ketika terdengar benda jatuh dari arah belakang rumah itu. Seperti biasa, Anisa langsung mengendap masuk ke pekarangan dan menyelinap mendekati asal suara. Setelah mengusir empat lima ekor kucing, ia bergegas membongkar plastik hitam yang berisi penuh. Wajah gadis belasan tahun itu tersenyum ketika menemukan dua potong roti.
Tanpa mengucapkan salam, ia langsung membuka pintu. Tampak dalam samar perempuan setengah baya yang tiduran di atas kertas karton berbagai ukuran dan warna.
“Hari ini kita masih diberi rejeki, Mak,” katanya sambil duduk di samping perempuan itu. Dengan susah payah perempuan tersebut duduk.
Sesuwir demi sesuwir roti dimasukan ke dalam mulut sang emak. Pelan dan seolah mehanan sakit, mulut perempuan itu mengunyah roti yang disuapkan anak semata wayangnya. Anisa tersenyum melihat emaknya menelan makan malam mereka.
Rohila siang itu sibuk memunguti bekas kemasan air minum di lapangan seusai kampanye sebuah partai. Bukan hanya dia, setidaknya lima sampai tujuh orang juga beradu cepat memunguti bekas kemasan air minum dan apa saja yang mereka anggap bisa dijadikan uang. Meskipun karung yang dibawanya sudah penuh sesak dengan bekas kemasan air minum dan barang bekas lainnya yang bisa dijual, Rohila masih terus memungutinya. Batinnya, hari ini adalah rejeki anaknya yang baru masuk sekolah.
Rohila kesulitan membawa dua karung yang penuh sesak dengan barang-barang bekas. Ia sempat terjatuh beberapa kali karena tak kuat membawa keduanya secara bersamaan. Pinggang dan kedua tangannya seolah akan lepas, tapi ia tetap berusaha agar barang-barang itu cepat sampai ke pengumpul.
Terbayang olehnya betapa bahagianya Anisa saat tahu dirinya pulang membawa buku tulis. Bagi dirinya, Anisa bisa belajar saja merupakan berkah yang tak pernah hadir dalam mimpinya. Awalnya sulit bagi Rolihan untuk mendaftarkan anaknya belajar di kelompok belajar yang didirikan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang tak jauh dari rumahnya mengingat kondisinya yang tidak mungkin bisa menyekolahkan putri kesayangannya. Jangankan untuk sekolah, makan sehari-hari saja ia harus menahan lapar agar Anisa bisa kenyang.
Bahkan dirinya hanya meminum air putih satu sampai dua hari agar anaknya bisa makan. Karena hampir seluruh anak seusia Anisa ikut belajar di kelompok itu, Rohila pun akhirnya memasukannya. Meskipun gratis, tapi ia masih risau dengan perlengkapan belajar Anisa, seperti alat tulis. Dengan menatap prihatin kepada anak dan nasibnya, Rohila mengumpulkan buku-buku tulis bekas yang masih kosong. Ah, silet-silet kehidupan menyayat hatinya saat Anisa tertawa bahagia menerima buku-buku bekas itu. Dan hari ini, senyum bahagia anaknya akan menjadi obat mujarab semua luka yang selama ini menjadi borok dalam kehidupannya. Luka-luka hidup itu sembuh sekejab oleh senyum anaknya.
Cericit rem mobil sedan dengan kecepatan tinggi membuyarkan senyum bahagia Anisa yang melintas di pikirannya. Bekas kemasan air mineral itu berserak memenuhi jalan. Tubuhnya terpental sekian meter. Hampir menghantam trotoar. Tapi, Tuhan masih sayang kepadanya. Jantungnya masih berdetak. Napasnya masih hangat. Nadinya masih berdenyut. Karung yang berisi bekas kemasan air mineral itu menyelamatkan kaki dan pinggangnya saat mobil sedang itu menabraknya. Meskipun begitu, tulang pinggangnya retak. Sementara mobil sedan itu, menghantam trotoar dan sopirnya tewas.
Setelah menghabiskan satu dari dua roti, Rohila menyandarkan tubuh ke dinding. Hanya tidur dan duduk yang bisa ia lakukan setelah tabrakan itu. Kedua kakinya tidak bisa digerakan, apalagi untuk jalan. Dia lumpuh. Sekolah Anisa ikut menjadi korban. Kini, perempuan kecil itu memikul beban untuk menghidupi mereka berdua. Pagi, setelah membuatkan air minum untuk emaknya, Anisa harus bergegas ke tempat pembuangan sampah mencari barang-barang bekas untuk dijual. Malamnya, ia harus menyuapi emaknya. Ketika uang yang ia peroleh tidak cukup untuk membeli makanan, Anisa datang ke rumah Abah Ahong berharap ada sisa makanan, seperti malam ini.
“Kamu gak makan, Sa?” tanya Rohila. “Sudah Mak. Tadi sehabis jual barang bekas, aku beli nasi uduk tempak mbok Nah.” jawab Anisa. Hati Rohila tercabik-cabik dengan jawaban anaknya. Ia tahu kalau Anisa belum makan sejak tadi pagi. Namun, ia mencoba menyembunyikan kepedihan hatinya. “Roti ini sepertinya dari rumah Abah Ahong?” tanya Rohila. “Iya Mak. Uang penjualan barang bekas tadi hanya cukup untuk beli satu bungkus nasi uduk. Waktu lagi makan, truk sampah datang. Aku lupa membungkus lagi nasinya. Kemudian aku lihat lagi sudah habis dimakan anjing,” jelas Anisa.
Rohilah tersenyum. Hujan dalam dadanya kian deras. Banjir kepedihan menghantam kekuatan bendungan hatinya. Ia bertahan dan terus menahan bendungan itu agar tidak jebol di hadapan anaknya. Rohila menyandarkan tubuh dengan pasrah. Napas berat menjadi pelampiasan sesak dadanya. Meskipun tidak melegakan dada, tapi bebannya sedikit lepas.
“Mak, tadi masih ada sisa sedikit. Aku masukin celengan, ya?” tanya Anisa. Rohila mengangguk.
Setelah mengambil celengan dari kaleng susu dan memasukan beberapa lembar uang ribuan, Anisa mendekat ke emaknya dan tiduran di sampingnya. Rohila membelai rambut anak perempuannya. Rambut hitam itu terasa kasar dan kumal. Sesekali Rohila mengusap kening pertama hatinya. Batinnya saat ini tak setenang belaiannya. Berkecambuk antara perih, sedih dan putus asa. Entah karena kelelahan atau lembutnya belaian Rohila, Anisa pun terlelap.
Rohila memandangi wajah teduh anaknya. Ia tampak kecewa dengan hidup yang dijalaninya sekarang. Mimpi dan angan yang ia bangun itu hancur oleh kenyataan. Padahal, tinggal selangkah lagi ia akan merasakan kebahagiaan yang begitu didambakannya, meskipun itu hanya sekedar senyuman Anisa. Kebahagiaan Anisa, bagi Rohila, adalah seluruh hidupnya. Walaupun matahari menjadi payung dan karang menjadi jalan, akan ia tempuh asal senyuman Anisa mekar laksana bunga di pagi hari. Itulah kesejukan hatinya.
Semilir angin menyusup melalui lubang-lubang rumah kayu yang dibangun mendiang suaminya sepuluh tahun silam. Dingin yang menyapa tubuhnya menciptakan kerinduan kepada mendiang suaminya. Dulu, saat-saat seperti ini ia selalu berbagi dengan suaminya. Ia begitu tabah, begitu kuat dan sabar menghadapi hidup meskipun dalam kesusahan terberat mereka saat suaminya divonis mengidap HIV. Awalnya ia tak tahu jenis penyakit apa itu. Setelah banyak buku yang ia baca dan konsultasi deengan beberapa dokter kenalannya, jantung seakan berhenti seketika. Hidup seolah tak berguna setelah mengetahui kenyataan yang begitu pahit. Harta kekayaan yang mereka kumpulkan selama menikah habis untuk menngobati suaminya agar sembuh. Tapi semuanya gagal. Dia dan suaminya pun akhirnya menyingkir dari kehidupan mewah yang memanjakannya selama ini.
Setelah kematian Ardan, duka tak berhenti di situ. Malam itu hujan lebat dengan angin kencang, genap seminggu suaminya meninggal. Hatinya sudah resah sejak sore. Semua yang ia kerjakan sehari itu sia-sia dan kurang srek. Gundah itu menggelayuti sampai malam tiba. Gemuruh petir dan desauan angin mencekam malam. Satu dua butiran air jatuh ke bumi dan berubah menjadi hujan, lebat. Dalam temaram, Rohila mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikiran dengan bersahabat dengan gundah gulananya. Saat dirinya menggapai mati, tiba-tiba tubuh ditindih sesuatu dengan aroma alkohol menyenggat. Semua terjadi begitu cepat dan sekejap menggapai klimaks. Kepahitan-kepahitan itu mampu Rohila hadapi meskipun sendirian.
Rohila kian menyandar. Semua kenangan itu tergambar begitu jelas, seolah hendak menekankan bahwa garis hidupnya tak mentas dari kubangan duka. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menjalani hidup. Ketika pasrah, hidup seolah mengejeknya. Saat mencoba tegar, ia dihadapkan pada kenyataan yang sangat sulit diterima. Tangannya kembali mengelus rambut Anisa. Dan meyakinkan diri harus ada sebuah keputusan.
Bukan hanya dia, Ardan, suaminya, tak kuat lagi menjalani hidup dengan kenyataan bahwa dirinya mengidap HIV. Setelah mengetahui kondisinya, Ardan menghabiskan hari-harinya dengan minuman keras. Sampai pada akhirnya ia tewas ditikam preman di kawasan kumuh saat pulang.
Malam itu Anisa kembali mengendap ke pekarangan belakang rumah Abah Ahong. Dengan sabar ia menunggu pembantu Abah Ahong membuang sampah. Satu dua kucing berdatangan, sama seperti dirinya menanti rejeki malam ini. Di antara mereka, terjadi pertengkaran kecil atau bercumbu karena musim kawin datang. Anisa mencoba mengusir kucing-kucing itu.
Kucing-kucing pergi, kemudian datang lagi. Setengah jam kemudian, pintu belakang rumah Abah Ahong terbuka. Wanita setengah baya keluar dengan menjinjing dua plastik hitam yang berisi penuh. Wanita itu melemparkan barang bawaannya ke dalam bak sampah yang berada di sudut pekarangan, tak jauh dari pintu pagar bagian belakang. Kucing-kucing bergegas mendekati wanita tersebut dan satu per satu melompat ke bak sampah. Setelah pembantu itu kembali ke dalam rumah, Anisa bergegas menyusul kucing-kucing itu. Ia harus berebut dengan kucing yang sudah mendahuluinya untuk mendapatkan makanan. Kedua plastik itu dibongkarnya, tapi tak ada sisa makanan, cuma sampah dapur dan beberapa helai pembalut wanita. Dengan murung ia kembali ke rumah.
Anisa membuka pintu tanpa salam. Rumahnya begitu sepi dan senyap. Tak terlihat emaknya yang biasa tidur di ruang depan yang juga kamar bagi mereka berdua. Karton-karton yang digunakan sebagai alas tidur tersusun rapi di sebelah kiri ruangan. Bekas spanduk yang mereka gunakan untuk selimut terlipat rapi di atas karton. Meskipun dalam temaram, Anisa bisa melihat rumahnya malam ini begitu bersih dan rapi. Tapi, tidak ada emak.
Hati Anisa risau. Tak biasa emak pergi pada malam hari. Beberapa tetangga yang ia tanyai mengaku tidak melihat emaknya. Di belakang rumah, hanya tumpukan barang bekas yang belum dijual. Airmata mulai menetes. Mulutnya tak berhenti-henti memanggil Rohila. Saat ia akan kembali ke dalam rumah, dalam gelap terlihat daster yang biasa dipakai emaknya di antara tumpukan sampah yang tak jauh dari rumahnya. Anisa bergegas lari ke tempat daster itu. Daster itu koyak. Sekitar lima meter dari tempat ia menemukan daster, tampak tubuh Rohila terbujur dengan telanjang bulat. Mulutnya mengeluarkan busa dan tercium bau racun.
Padang, September 2011
Biodata: Joko Nugroho. Lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 18 Maret 1979. Saat ini tinggal di Padang, Sumatera Barat, dengan alamat Jln Palinggam No. 34, Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat.
Sumber: Kompas, 7 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar