Cerpen Ratna “Riri” Kemalasari
Wah ternyata cukup ramai juga yang datang, lega sekali rasanya melihat semua berjalan lancar. Ini memang bukan acaraku, tapi acara ulang tahun temanku, tapi disini aku membantu saja pura-pura jadi EO hehe :p “Ri,, liat deh.. ada Deni” kata Bani membisiki aku
Aku langsung menebarkan pandangan mencari sosok Deni yang kebetulan sekali sedang melihat ke arahku. Mau nggak mau aku akhirnya tersenyum tipis, dia membalas senyumanku juga dengan tipis.. bahkan lebih tipis dari aku. ”Buset dingin amat elo berdua” komentar Bani saat melihat tingkahku.
Aku masih diam dan hanya menancapkan satu dimsum hakau dengan keras pakai garpu, lebih tepatnya itu seperti jawaban untuk Bani bahwa ”udaahh..! diem aja lu! Nggak usah banyak ngomong gue lagi kesel.” Bani bukannya takut, malah menahan ketawa melihat tingkahku, namun dia tidak melanjutkan membahas lagi tentang Deni.
Yup! Aku memang kesal bukan main dengan Deni, melihat dia sekarang rasanya pingin aku siram pakai ocha panas. Aku masih nggak habis fikir, dua minggu yang lalu dia bilang mau serius sama aku, mau bawa aku ke kampung untuk dikenalkan ke keluarga besarnya dan sudah berbicara sangat ”jauh” sekali. Namun sehabis ke rumahku minggu lalu, dia memilih untuk menghilang begitu saja, dan di tengah kebingunganku dia malah mengirim sms, 'dina.. maaf sebelumnya setelah dr rumah kamu aku akhirnya mikir lagi, lebih baik kt fokus pada masing2 tujuan kita dulu..aku blm siap.'
Coba bayangkan!!
Beneran minta ditampar kan cowok kayak gitu, sungguh membuang-buang waktu saja, capek-capek dipikirin, diseriusin, eh malah milih pergi seenaknya tanpa alasan yang jelas.
Makannya sangat jelas kalau aku sangat muak melihat mukanya, bahkan ketika Syafi (temanku yang berulang tahun) minta tolong aku buat mengantarkan kupon makanan untuk Deni, aku menolaknya dengan keras. Untungnya Syafi mengerti sehingga melimpahkan tugas itu ke Bani.
Aku mengambil sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam untuk menenangkan hatiku yang sedang panas. Kupejamkan mata sejenak, mencoba mengatur nafas, dan ketika aku buka mata itulah aku melihat dia, duduk di depanku, tersenyum melihatku, ”Apa kabar bu? Jangan ngerokok mulu ah.. orang dulu nggak ngerokok juga,” ujarnya sambil merebut korek yang ada ditanganku dengan halus. ”Eval...” kataku pelan..
Semua kekesalanku hilang begitu saja saat melihat dia, melihat seseorang yang selama ini bersemayam di hatiku, seseorang yang aku cinta. ”Apa kabar Dina? Long time no see..” katanya ramah. “Gue yang nanya harusnya, elo apa kabar val.. gue nggak nyangka elo dateng” “Gue nyoba nelpon dari kemaren ke handphone lo, nggak aktif terus.”
Aku terdiam, 'iya.. aku memang sudah mengganti nomer handphone dan menghapus nomor kamu untuk bisa menghapus kamu di hatiku.' ”Nih.. catet no gue yang baru” kataku. Eval, menyalin di handphone-nya dan miss call ke nomerku. “Save no gue, dan laen kali.. kalau ganti nomor bilang-bilang yaa,” ujarnya menyindir sambil tertawa.
Aku membalas dengan senyuman. Kemudian memperhatikan dia dalam-dalam, ”Elo potong rambut?” kataku saat melihat hal mencolok yang berbeda dari dia, jelas saja mencolok.. dari yang tadinya gondrong dan berjambang panjang menjadi pendek dan sangat rapih. ”Gue banyak berubah din.”
Aku mengiyakan dalam hati sambil mataku tak lepas memerhatikan dia, dia sangat banyak berubah, pembawaannya lebih tenang, terlihat lebih dewasa, lebih rapih, walaupun.. dia tetap Eval, Eval yang sudah empat tahun ini aku cintai. Tiba-tiba Bani datang membuyarkan lamunanku.. ”Woy Val!! Apa kabar lo!” ujar bani sambil “tos” dengan Eval. ”Gila ya bro.. lama banget gue nggak ketemu kalian” kata Eval. ”Iya, kayaknya kita ketemu setahun sekali melulu ya, setiap di ulang tahun syafi”
Memang.. aku dan eval kenal karena syafi, dulu syafi mengenalkan aku ke eval karena kami sama-sama pemain bass, sampai akhirnya berlanjut dengan aku punya rasa dan merintis cinta ke eval. Bani tidak terlampau lama berbicara dengan eval, karena sepertinya bani tau kalau tidak mau mengganggu pertemuan kita berdua. ”So.. apa yang ketinggalan nih gw tentang elo?” tanyaku “Banyak din.. kita nggak contact lama banget sih ya.”
Aku tau dia menyindirku, karena aku memang menghilangkan diri dari dia. Karena dulunya, aku selalu menghubungi dia, jelas.. karena dulu aku mengejar dia.. itu dulu.. ketika aku masih berharap, ketika aku masih melihat ada kemungkinan, ketika aku menunggu dia membuka hatinya. Sampai akhirnya seiring tahun berganti, semua harapan dan kemungkinan seakan menjadi racun yang membunuhku pelan-pelan. Maka daripada aku yang mati, biar aku yang membunuh semua harapan dan kemungkinan itu.. dengan pergi dari dia. ”Mana cewek lo? Sendirian aja?”
“Iya.. sendirian.. cewek gue yang sekarang anak baik-baik din, punya jam malem dirumahnya hehe, cewek gue baru loh din.. gue udah putus sama temen lo itu.”
Aku jadi ingat, dulu.. itu yang membuat hatiku patah, ketika seorang wanita yang ternyata masih aku kenal mengatakan bahwa dia adalah pacar kamu dan secara tidak langsung meminta aku untuk tidak berharap lagi dengan eval. Bahkan yang lebih memilukan lagi, tidak hanya wanita itu yang bicara padaku.. tapi juga kamu.. dengan menggandeng wanita itu, kamu minta maaf dan mengatakan bahwa kamu lebih memilih wanita ini daripada aku. Aku masih ingat wajahmu yang terlihat tidak enak namun wanita yang sebenarnya hitungannya masih temanku itu seakan menekanmu untuk bicara tegas padaku. Dan setelah hari itu, setiap bertemu kamu, kamu selalu tidak sendiri, selalu ada dia. ”Ajak dong, kenalin sm gue, hehe.. yang ini kan gue belom kenal” kataku. ”InsyaAllah, nanti dikenalin kapan-kapan.. kalau pas acara siang palingan, dia jam delapan juga udah gelisah minta pulang din..hehehe.”
Wajahmu berbinar sekali saat menceritakan itu, astaghfirullah, ini membuatku lebih tersentak, jauh lebih tersentak daripada saat eval bersama temanku. Wanita ini terang-terangan berhasil membuat eval jatuh cinta..namun anehnya.. aku tidak sakit hati, sama sekali tidak, kebahagiaan eval seakan menular ke aku.. membuat aku ikut bahagia.
”Dia itu dulu pacar pertama gue din, dan sama.. gue juga pacar pertama dia, udah lama banget nggak ketemu, dan tiba-tiba pas belanja di supermarket gue ketemu lagi, dia malu-malu gitu dan langsung ngilang begitu aja dari gue. Dan anehnya gue langsung nyari dia, gue nyari-nyari nomer handphone dia ke orang-orang, nggak nyangka akhirnya dapet.” kata eval melanjutkan cerita.
Apa dia tau, dulu aku yang begitu ke dia, saat awal ketemu dia, kita manggung di sebuah acara di pantai anyer, dikenalkan oleh syafi, semenjak itu aku suka kamu. selesai acara itu kamu pergi, dan aku sempat merasa nggak bisa ketemu lagi, aku mengikuti naluriku untuk terus mencari kamu. sampai akhirnya dengan perjuangan panjang aku dapat nomor handphone-mu. Aku yang sms kamu duluan, sesuatu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya, sama kan.. kamu juga nggak pernah berjuang untuk wanita sebelumnya? Namun wanita ini mampu membuat kamu punya hasrat untuk mengejar dan berkenalan lebih jauh.
Sama.. dulu aku punya hasrat itu ke kamu, lebih tepatnya modalku hanya hasrat itu. Dan hasrat itu yang membuat keajaiban-keajaiban datang padaku setiap harinya. Kita yang secara logika sebenarnya tidak mungkin untuk sedekat itu, ternyata.. bisa.. kamu menyambut tanganku.. sesuatu yang tidak pernah aku impikan sekalipun. ”Thats good..” itu komentarku sambil tersenyum lebar.
Setelah itu celoteh kita mengalir terus, seakan kita menumpahkan segala kerinduan dengan berbagi cerita. Hanya ada dua saat itu.. senyuman dan tawa, kita seakan membuat pagar sendiri di acara itu, suatu kebahagiaan yang tidak pernah bisa aku gambarkan dengan kata-kata.
Beberapa kali teman-teman datang menghampiri aku dan eval, menggoda kami, karena memang kasus aku dan dia sudah menjadi sorotan orang banyak. Dulu eval selalu risih dan langsung menggeser kursi atau berpindah tempat, makannya kalau ketemu eval jarang mau ramai-ramai. Tapi sekarang berbeda, aku menanggapi dengan santai dan eval pun menghiraukan semua ledekan-ledekan yang ditujukan ke kita. Entah apa penyebabnya.. entah apa alasannya hingga aku dan dia seakan mempertahankan suasana tetap asik seperti ini.
Sampai akhirnya aku kehausan dan mau meminta minuman dia yang masih penuh, ternyata dia juga sama mau mengambil minum, dan tangan kami bersinggungan. Seketika aku dan dia terdiam saat melihat pergelangan tangan kita. ”Val.. gelang kita sama.” Kataku saat melihat seutas gelang berwarna merah yang sama persis di tanganku dan eval. ”Iya.. sama.. dan kita pake-nya di sama-sama tangan kanan.”
Wajah eval sempat berubah serius saat itu. ”Din.. kita sama-sama suka warna merah ya,” tanya eval yang lebih terdengar seperti pernyataan.
Kalau seperti ini aku tau arahnya kemana, dan aku tau kenapa wajahnya menjadi serius. Dulu awal bertemu, kalimat pertama dia juga seperti itu. ”Hei.. strap bass kita sama ya.. sama-sama warna merah.”
Lucu ya.. bermula dari warna merah, dan sekarang itu terungkap lagi, seakan mengembalikan ribuan memori yang ada tentang kita. Padahal.. ini hanya sebuah warna.. ”Din nitip ini ya..gue mau ke kamar mandi.”
Aku mengambil handphone dan rokoknya, sambil tersenyum aku mengamati dua benda miliknya di tanganku. Hanya dititipi seperti ini kenapa rasanya senang sekali ya?
Tiba-tiba syafi memanggilku dari jauh, menyuruh aku menghampiri mejanya. Aku tau disana ada deni, dan aku tau maksud syafi apa. Cuma karena rasa senang ini aku tidak peduli, masalah deni menjadi tidak penting lagi bagiku. Aku dengan cuek menghampiri meja syafi, bahkan aku duduk persis di depan deni. ”Kenapa syaf?” tanyaku ”Nggak apa-apa.. ngobrol nih sama deni.”
Benar kan dugaanku.. pasti ini yang syafi mau. Namun tidak lama bahuku dipegang oleh eval, "Gue cariin juga.”
Aku kembali tersenyum lebar, sambil menggeser duduk untuk mempersilahkan eval duduk disebelahku. Syafi sempat melirik ke arah deni dan aku ketika eval duduk disampingku, Cuma aku tidak perduli, sekali lagi aku katakan.. saat itu deni tidak penting bagiku. ”Val.. kenalin nih, temen gue, dia drummer,” kata Syafi,
Eval bersalaman, dan anehnya dia sempat melirikku, hingga aku memalingkan wajahku agar terlihat tetap tenang. Kita ngobrol cukup seru di meja itu, walaupun aku tidak nyaman.. karena disana ada deni, aku hanya mencoba fokus dengan eval dan syafi, menganggap deni hanya bongkahan patung. ”din..balik ke meja tadi yuk” kata eval kemudian, Aku mengangguk, dan kita kembali ke meja itu.. meja kita.. meja tempat kita banyak bercerita ”Elo kenapa?” tanya eval seakan tau glagatku ”Nggak apa-apa..”
Aku tau eval mau membahas deni, namun aku tidak mau membahas itu.Dia bukan orang penting yang harus dibahas apalagi dengan seorang eval, seorang yang aku cintai. ”Eval.. gue mau ngomong sama elo..” Eval tersenyum penuh arti, mungkin dia merasa aku akan membahas Deni. ”Serius banget..” lanjutku dengan penuh penekanan.
Senyuman eval langsung pudar, dia mengamati baik-baik wajahku, seakan menerka aku mau bicara apa. ”Mau main nggak?” tanyaku ”Sialan lo! Katanya serius, malah ngajak main,” katanya sambil menoyor pelan kepalaku. ”Nama mainannya.. jujur-jujuran,” kataku.
Eval menarik nafas panjang saat mendengarnya dan membetulkan duduknya.. ”Boleh.. elo duluan ya..” jawabnya..
Aku tertunduk, dan sekejap badanku terasa dingin dan bergetar.Mungkin kalau ini posisinya berdiri, aku sudah jatuh karena lututku sangat lemas sekali. “Din. Dina..” katanya sambil menyentuh bahuku, Dan aku masih tertunduk, tidak bisa bicara apapun. Eval mendekatkan dirinya ke aku, dan merangkulku.. ”Val.. I love you..”
Setelah lewat beberapa menit hanya itu yang bisa dikatakan, hanya itu yang bisa terucap dengan bibir yang bergetar dan mata yang mengembang karena menahan nangis.
Eval menatap mataku, dia tidak berbicara apa-apa, mungkin lebih tepatnya tidak bisa bicara apa-apa, karena bingung mau ngomong apa. ”Elo tau kan tentang itu?” tanyaku Dia menggeleng, Aku sempat kaget melihat dia menggeleng, segila itu aku ke dia, segila itu semua usahaku untuk bisa bersama dia, dia nggak tau?!
Nampaknya eval bisa membaca keherananku, ”Maksudnya, gue nggak tau sampai kayak gini..”terangnya. ”Until now!” jelasku kemudian. ”Kenapa bisa?” “Mana gue tau! Elo tanya hati gue! Gue nggak tau, beneran nggak tau! Nggak ngerti!” jawabku, Eval mengelus pundakku, karena sepertinya aku terlampau berapi-api,
Akhirnya aku kembali mengatur nafas, tanganku kugenggam erat menahan suatu gejolak yang sangat tidak menyenangkan. ”Terus..” tanyanya saat aku sudah mulai tenang, ”Gue nggak pernah menuntut dimilikin sama elo, gue nggak pernah minta elo bales perasaan gue.. gue Cuma butuh satu.. elo ngerti perasaan gue selama ini, elo tau alesan gue untuk selalu ada di deketli, elo tau sesakit apa waktu elo pacaran sama temen gue sendiri, supaya elo tau kenapa gue sengaja ganti nomer dan nggak pernah bilang sama elo, I just need to move on! Dan gue nggak pernah ngerti caranya gimana, gue capek kayak gini..ini udah tahun ke empat..?! dan perasaan gue nggak pernah berubah ke elo, gue capek..” kataku, Aku melihat mata dia, dan begitu juga dia, dia tidak memalingkan matanya sedikitpun. ”Mungkin dengan sejujur ini sama elo, gue bisa move on.. gue nggak pernah kan dengan terang-terang an bilang kayak gini sama elo, selalu hanya lewat lagu, lewat puisi, yang mungkin elo juga nggak peduli. Mungkin sekarang momentnya.. gue bisa bilang jelas sama elo.. I love you..”
Akhirnya beberapa tetes air mataku tak terbendung, dengan sigap aku mengelapnya dengan jariku, saat melihat aku menangis baru eval menunduk, nampaknya dia tidak mau melihat aku menangis. ”Boleh sekarang gue yang ngomong,” kata eval, Aku mengangguk, ”Terimakasih, elo udah punya perasaan seperti ini ke gue. Ini main jujur-jujuran kan.. ya udah gue mau jujur sama elo, saat ini gue nggak enak sama elo.”
Eval buru-buru menahan bibir gue dengan jarinya saat gue hendak menyaut, akhirnya aku memilih diam dan menyimak kembali, ”Gue nggak enak, karena perasaan gue nggak sebesar dan setulus itu ke elo, dan gue.. mungkin gue tau perasaan lo, tapi gue nggak pernah peduli, gue nggak pernah anggep itu penting, gue selalu ngerasa itu juga bakal hilang seiring waktu. Ternyata.. seperti ini perasaan lo ke gue, dan sekarang gue nggak tau mau ngomong apa.
Yang jelas.. gue nyaman ngobrol sama elo, mungkin itu yang bikin gue selalu nyari elo, yang bikin kita deket dulu. Tapi gue nggak cinta elo, gue nggak pernah cinta elo..mungkin elo sakit.. tapi biarin aja sekarang gue jujur, biar elo berenti cinta sama gue, biar elo tau gue nggak pantes elo cintai.”
Eval menatap mataku tajam, begitu juga aku, aku tak bisa bereaksi apa-apa saat eval bilang seperti itu, bahkan nangis pun aku sudah tidak bisa. Mungkin sebenarnya aku tau, aku tau dari dulu kalau dia nggak pernah ada rasa sama aku, apapun omongan dia dulu, semua hanya kebohongan semata-mata agar aku tetap menjadi temannya atau dia tidak ingin menyakiti perasaanku. Seharusnya aku tau itu, tapi baru ini aku melihat secara nyata dia mengucapkan secara lugas didepanku. Dulu aku hanya tau, tapi saat ini aku menjadi tau dan juga percaya..bahwa dia memang tidak pernah mencintai aku.
“Din.. gue udah sangat yakin sama pacar gue sekarang, dia bawa perubahan banyak untuk diri gue, gue serius sama dia. Gue juga pingin elo kayak gue, elo ketemu dengan orang yang memang sayang sama elo, punya cinta sebesar dan lebih dari elo.. please move on, banyak yang lebih baik dari gue, dan gue yakin sebenernya banyak yang sayang sama elo..”
Dan terakhir dia menggenggam tangan gue, ”Buka hati lo untuk yang lain.” Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan, Semua takkan mampu mengubahku, Hanya kaulah yang ada direlungku.. ”Takkan Terganti” – Kahitna.
Nyanyian bani diatas panggung seakan menjadi alunan tajam yang menyayat hati, mengiringi perbincangan aku dan eval. Setelah memastikan gue akan baik-baik saja dan tidak menangis, eval pun pergi, aku masih menatap punggungnya yang semakin menjauh, puing hatiku yang hancur seakan terseret pergi oleh langkah kepergiannya. Akhirnya aku menangis, Aku tidak menyeka setiap tetesnya, Aku biarkan berserakan membajiri wajah dan bajuku saat itu, Aku tidak peduli dengan semua orang yang menghampiri dan bertanya.. ”dina kenapa?” Kalau dulu hatiku hanya retak dan masih bisa aku tambal sulam, sekarang rasanya semua sudah menjadi abu.. terbang hilang entah kemana.
3 hari kemudian bekas gumpalan air mataku masih terlihat di pipi, mataku juga masih bengkak, saat bergegas mau ke kamar mandi untuk cuci muka, aku melirik laptop ku.. sebuah email masuk disana, kemudian aku baca dan pahami setiap katanya,
dear Dina, apa kabar kamu? Kamu baik-baik aja, semoga baik-baik aja ya. Aku nggak tau kamu kenapa waktu ulang tahun syafi, tp kalau butuh temen ngobrol aku bersedia kok.. -deni-
aku menghela nafas, sebuah email singkat yang membuatku terpaku, mengerutkan kening dan agak tersenyum.
Dear deni, Boleh.. -Dina-
Satu bulan kemudian, ”Kamu tau, kalau diseluruh indonesia, hanya pantai ini kita bisa menyaksikan sunrise dan sunset di satu titik yang sama” tanya deni ketika aku dengan serius melihat matahari yang perlahan demi perlahan tenggelam oleh langit malam. Jemari deni kemudian menyusup diantara jemariku, membuat pantai losari semakin syahdu senja itu. Kemudian agak tersentak ketika tanganku didekatkan ke dadanya, ”aku mau kasih sesuatu,” katanya, aku menghadapkan badanku ke dia, menunggu apa yang mau deni kasih ke aku.
Sebuah gelang perak dia keluarkan dari sakunya, aku tersenyum bahagia sekali, Dan ketika mau dipakaikan aku menahan tangannya, Kupandangi sejenak gelang merah yang masih ada di lenganku, dengan ringan aku buka, Eval.. Gue sudah membuka hati untuk orang yang jauh lebih baik dari elo.. terimakasih untuk semua rasa dan petualangan cinta yang udah elo kasih ke gue, kalau gue nggak sakit karena elo.. gue nggak akan melihat pentingnya deni dalam hidup gue. Terimakasih untuk semuanya, dan selamat tinggal cinta masa laluku.
Gelang merah itu aku lempar jauh ke laut, bersama dengan cinta dan harapan masa lalu. Diawali oleh warna merah, diakhiri dengan warnah merah, merah akan menjadi warna yang penuh kenangan untukku.. hanya cukup kenangan.. Kenangan yang berarti namun tetap hanya kenangan.
Karena kenyataannya aku tidak memakai warna merah lagi dilenganku, namun gelang cantik berwarna silver yang aku sematkan doa-doa dan harapan indah di dalamnya
Sumber: Kompas, 11 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar