Pages - Menu

24 September 2011

L i m b o

Cerpen Haz Algebra

Suatu pagi yang absurd, selesai sarapan aku bangkit dari kursi dan beranjak ke depan laptop untuk memeriksa "ruang" tulisku yang telah beberapa lama terbengkalai. Di sudut bibir, lidahku masih mengecap kelezatan leleh susu dan keju dari apitan dua potong roti. Seluruh ingatan terhadap menu pagiku yang fantastis itu, membuka semua pintu otak kananku dan mulai merangkai isinya sebagai fiksi.

Pagi itu begitu cerah, tapi kepalaku basah oleh hujan kenangan yang tak pernah mengenal musim. Jemariku pun mulai menari seperti ballerina di atas keyboard seolah mereka tak mau membiarkan hujan itu terlewat menghapus jejaknya. Walhasil, mataku pun kebasahan karena tetesannya.



Anggap saja itu aib. Anggap saja aib itu pada dasarnya merupakan rasa rindu tentang sesuatu yang tak ada, meski ia mengandung sejarah, aku dan “Ada”. Yang pasti, aku takkan membiarkan kenangan itu menginspirasimu, apalagi menghantuimu. Aku bukannya tak berani, aku hanya tak tega.

Aku hanya akan bercerita tentang sebuah lukisan yang kutemukan dari “blogwalking” ketika hendak menutupi aib itu dengan gambar; sebuah mimpi yang dituang dalam bentangan dua dimensi seluas 240x330 cm. “Persistence of Memory,” begitu mimpi itu dinamai dalam deretan lukisan paling misterius di dunia.

Adalah Salvador Dali, pelukis surealis ternama asal Spanyol yang pada tahun 1931 menciptakan gambar-gambar melting watches itu; jam-jam lumer, yang terdampar di dalam lanskap nglangut mengerikan, pokok kering, dua bilah balok, laut, dan tebing-tebing retak dari keberkanjangan memorinya. Konon, tepat di tengah mimpi itu Salvador memasang wajahnya sendiri, dengan kelopak terpejam dan bulu-bulu mata yang pasrah. Bisakah kau melihatnya, membayangkannya, memikirkannya?

Sangat sulit menebak apa yang dimimpikan oleh Salvador, tapi segala kemungkinan selalu terbuka untuk ditebak, diterka, diprediksi, --dikenang? Apakah Salvador sedang melukis mimpi yang dilandasi oleh kenangan? Aku belum tahu. Yang aku tahu ia pernah berkata, “Melukis itu kejujuran seni,” ia tak mungkin curang, meski hal itu baik atau buruk.

Pikiranku tiba-tiba seperti melayang masuk kedalam adegan "Inception", berjabat tangan dengan Cobb ketika ia berkata, “Mimpi yang dibangun dengan landasan kenangan adalah cara termudah untuk tidak dapat membedakan mimpi dan kenyataan.”

Limbo. Bukankah ini seperti Limbo, semacam ruang paling dasar dalam mimpi tempat kenangan menjadi bangunan sekaligus sampah? Entahlah. Mungkin Salvador membungkus harapan lewat mimpi dan kenangannya agar orang lain tak mengikuti jejaknya. Mungkin ia berpesan lewat lukisannya agar setiap orang harus berdamai dengan waktu di mana ia hidup, tanpa mesti merindukan waktu-waktu yang lain. Lalu, apa yang sedang kulakukan?

Mungkin aku sedang menulis mimpi yang membungkus kenangan, tapi aku tak peduli, aku hanya senang bisa menulis lagi untukmu. Dan kau sobat, terima kasih telah menjadi kenangan gila dalam kehidupan normalku yang naik turun. Kenangan memang seperti kunang-kunang, terlihat indah karena cahayanya yang redup terang. Tapi kenangan juga bisa menjadi lukisan, membuat yang hidup jadi beku dan terpasung dalam pajangan.

--hz-- Manado 2011, 11/9 

Haz Algebra Kompasianer. Beberapa cerpennya telah dimuat dalam buku Antologi Karya Festival Fiksi Kolaborasi Kompasiana (2011) dan Antologi Cerpen ICare NulisBuku.com (2011).

Sumber: Kompas, 24 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar