Cerpen Fandy Hutari
ALLAH selalu memberi cobaan yang masih bisa kita atasi. Dia tidak pernah memberi cobaan melampaui batas kemampuan kita. Begitulah pesan Ustadz Mansur, guru mengajiku sewaktu aku kecil dulu. Dari pesannya itu, kini aku lebih kuat menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Ibu, bulan lalu juga mengatakan kalau ada saatnya manusia itu hidup di atas. Allah tidak pernah melulu menggariskan hidup manusia di bawah. Ya, aku percaya nasihat mereka berdua. Orang yang dua-duanya aku sangat menaruh hormat dan angkat topi.
2 Hujan yang turun semakin deras tidak menyurutkan deru mesin motorku untuk menggaung di jalan raya. Dengan seragam lengkap: jaket kulit lusuh, helm, dan topi, setiap pagi aku berangkat ke ujung gang untuk bertemu sesama rekan profesiku. Aku memacu sepeda motor warisan ayah untuk mengantarkan siapa saja dengan bayaran sesampainya di tempat tujuan mereka. Tukang ojek. Itulah sebutan orang-orang pada profesiku ini.
Hujan ini tak bisa menghentikan laju sepeda motorku demi sebuah nasi bungkus dengan siraman sayur asem dan ikan asin, kesukaan ibu di rumah. Walaupun sejumlah orang meremehkan profesiku, tapi aku tak peduli dengan segala gunjingan mereka. Yang aku pikirkan adalah keberlangsungan hidup ibu yang kini sakit-sakitan. Beliau butuh obat yang harus dikonsumsinya agar kehidupannya tetap berlangsung. Ibu divonis terkena TBC dan diabetes oleh dokter. Aku harus bekerja lebih giat untuk ibu. Aku ingin melihat ibu seperti dulu. Ketika beristirahat sebentar di motorku, tiba-tiba suara seorang perempuan setengah baya mengagetkanku, dan memintaku untuk mengantarkannya.
“Nak, tolong antarkan ibu ke pasar,” katanya dengan suara yang parau. “Iya,” kataku tanpa sempat melihat ke belakang lagi.
Tanpa melihat wajah perempuan yang kini sudah duduk di belakangku, aku memutar kunci dan menghidupkan mesin motor. Kalau aku hitung-hitung, ibu ini adalah penumpang ke delapan aku di hari ini, sejak aku mangkal dari pukul delapan pagi tadi sampai sore ini. Dan, motor pun melaju pelan. 3 Dahulu, setiap sore, sehabis kami mengaji di mushola, Ustadz Mansur kerap mengajakku jalan-jalan. Bukan ke tempat hiburan yang penuh hiruk-pikuk dan ingar-bingar musik, tapi ke pinggiran rel kereta dan bantaran kali. Kebetulan rumahku memang dekat dengan pinggiran rel kereta dan bantaran kali tadi. Beliau kerap memberikan gambaran indah soal ketimpangan, yang katanya sebuah takdir dari Illahi.
“Orang-orang miskin seperti kita, selalu bekerja lebih keras daripada orang-orang kaya yang tinggal di gedung-gedung mewah itu, Ahmad,” katanya dengan jari telunjuk yang menuding ke arah sebuah gedung pencakar langit yang terlihat angkuh dari tempat kami berpijak.
Setiap jalan yang kutelusuri bersama Ustadz Manzur, sebuah ironi yang kusaksikan juga menggedor-gedor jiwaku. Dalam hatiku, terkadang aku berpikir, mengapa orang-orang kaya yang tinggal di gedung-gedung mewah itu tak mempedulikan mereka yang hidup terlunta-lunta di sekitarnya? Andai saja masing-masing orang kaya di negeri ini menyumbangkan sesuatu bagi mereka yang hidup tak layak, mungkin kemiskinan di sini sedikit sirna.
“Lihat itu. Tukang ojek di sana. Mereka itu termasuk orang-orang tangguh yang berani menantang hidup. Mereka tidak ingin menjadi pengemis. Hidup mereka lebih terhormat dibandingkan dengan politikus yang korupsi uang rakyat,” ujar Ustadz Mansur saat kami tiba di gang dekat rumahku. Wajahnya serius. Matanya berbinar-binar, memancarkan cahaya api yang menggelora. Tampak ada sesuatu yang membakar jiwanya saat berbicara demikian.
Di sini—ujung gang dekat rumahku—memang menjadi pangkalan ojek. Banyak tetanggaku yang memilih menjadi tukang ojek setelah mereka putus asa mencari pekerjaan dengan ijazah pendidikan dasar. Begitulah Ustadz Mansur. Beliau bukan saja mengajarkan aku membaca Alquran dan menghafal ayat-ayat salat, namun juga mengajarkan aku soal kehidupan. Aku kagum dengan sosok beliau. Perjalanan kami terhenti di sini. Ibu datang dari arah gang. Lalu, memerintahkan aku untuk pulang.
“Ahmad. Dari mana kamu? Ayo pulang,” perintah ibu. Ustadz Mansur diam. Kakinya seolah-olah tertanam di tanah yang beliau pijak. Aku menghampiri ibu. Kemudian, ibu berjalan lima langkah, ke arah Ustadz Mansur yang masih terdiam.
“Jangan sekali-kali lagi mengajak anak saya keliling tempat-tempat kumuh. Saya tidak suka!” dengan nada tinggi, ibu berkata demikian kepada Ustadz Mansur.
Aku cuma tercenung menyaksikan momen ini. Entah apa yang orang dewasa ini ributkan. Begitulah pikiran kecilku berkata. Sehabis melepaskan amarahnya, ibu menghampiriku. Lalu menggandeng tanganku, dan menuntunku lekas-lekas. Tapi, tak sampai lima belas meter kami berjalan, ibu menghentikan langkahnya.
Beliau membalikkan tubuhnya. Ibu menatap begitu dalam Ustadz Mansur yang masih berdiri di tempat yang sama. Seperti akan ada kalimat yang ingin membucah, namun tertahan di kerongkongannya. Aku lihat jelas, air mata Ustadz Mansur menetes perlahan. Sedangkan ibu, buru-buru menafikan kesedihan yang terekam dari gelagatnya dengan mengelap matanya yang kulihat memerah menggunakan ujung dasternya.
Semenjak itu, Ustadz Mansur tidak berani lagi mengajakku keliling untuk menemui orang-orang yang kurang beruntung. Bukan cuma itu, ibu bahkan melarangku untuk bertemu Ustadz Mansur di mushola. Aku terpaksa berhenti mengaji di kelas lima SD. Sejak saat itu, aku kerap menangkap sosok Ustadz Mansur di teras mushola dengan wajah yang sedih. Aku pun menghindari teguran beliau, dan memilih berlari sekencang-kencangnya agar tidak dimarahi ibu jika kebetulan dia melihatku. Aku takut, ibu marah besar kalau aku bersinggungan lagi dengan Ustadz Mansur. 4 “Ayah ke mana, bu? Sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya,” tanyaku kepada ibu ketika aku baru saja duduk di bangku SMA. Bertahun-tahun aku membungkam mulut. Tak berani bertanya demikian kepada ibu. Hingga sel-sel otak dewasaku mampu berpikir lebih realistis, bahwa tidak akan mungkin aku ada di dunia ini tanpa peranan seorang ayah. Setiap manusia pasti punya ayah dan ibu, kecuali Nabi Isa yang lahir dari rahim suci Siti Mariam.
Ibu seperti langsung terbang ke sebuah alam pikiran sendiri setelah aku bertanya hal itu. Beliau meneguk air bening di atas meja makan, dan duduk di kursi kayu sebelah meja tadi. Aku menunggu jawaban dari mulut ibu. Masih berdiri di hadapannya.
“Ayahmu sudah meninggal saat kamu baru berusia tiga bulan,” katanya. Mata ibu berair. Sedetik kemudian, turun perlahan-lahan tetesan air mata. Aku cuma terpaku di hadapannya. Tapi, benarkah begitu? Lagi-lagi sel-sel otak dewasaku bertanya-tanya. Aku merasakan sesuatu yang teramat ganjil dari pernyataan ibu. Kemudian aku memilih bungkam lagi. Menutup pertanyaan soal ayah yang sulit membuatku terlelap di saat malam tiba. Dua minggu kemudian, tepat hari pertama di bulan Ramadhan, para tetangga berbondong-bondong datang ke mushola. Mereka hendak mengurus Ustadz Mansur yang meninggal dunia secara mendadak karena terserang penyakit jantung ketika beliau mengumandangkan azan magrib. Ibu sendiri tidak ikut rombongan pelayat itu. Beliau lebih memilih mengurung diri di dalam kamarnya.
5 Adalah Pak Darto, tetanggaku yang sudah mendiami rumah kecil di sebelah kontrakan kami sejak aku masih kecil, dan berprofesi sebagai tukang ojek di depan gang menuju rumahku yang membuka misteri soal keberadaan ayah. Sengaja aku mampir ke pangkalan ojek ini untuk menemuinya. Kebetulan sekali, siang itu ketika aku pulang dari kampus, ia sedang istirahat di pangkalan ojek yang cuma beratap seng dan berbentuk seperti gardu hansip. “Pak,” tegurku yang langsung duduk di sebelahnya.
“Eh, Ahmad. Sudah pulang kuliah?” tanyanya.
“Iya, sudah Pak. Maaf, ganggu nggak nih saya di sini?”
“Ah, nggak. Bapak juga lagi istirahat nih. Kenapa? Tumben.”
“Ada yang mau saya tanyain, Pak.”
“Nanya apa?”
Setelah mengambil rokok sebatang yang aku tawari, Pak Darto menjawab pertanyaanku dengan panjang lebar. Awalnya, ia sedikit bungkam. Tapi, aku terus mendesaknya. Hingga terkuaklah semuanya. Kata Pak Darto, para tetangga sengaja memilih diam untuk menceritakan masalah ini, karena takut membuka aib kelam keluarga kami. Pak Darto bilang, ayah meninggalkan kami saat usiaku beranjak empat tahun. Dulu, ayah sering berbuat hal-hal yang membuat ibu sedih, kecewa, juga marah. Ayah gemar berjudi dan mabuk-mabukan dengan kawan-kawannya sesama buruh pabrik sepatu. Yang paling membuat ibu sedih dan kecewa adalah, ayah terlibat perselingkuhan dengan seorang pekerja seks komersial yang mangkal di pinggiran rel kereta api. Ibu jengah dengan perilaku ayah, dan ia memilih berpisah. Sejak ditinggalkan ayah, ibu menafkahi hidup kami berdua dan membiayai aku sekolah dengan menjadi buruh cuci.
Namun, yang membuatku terhenyak setengah mati bukan itu. Kali ini aku sangat percaya dengan cerita Pak Darto dan menjumpai kenyataan bahwa Ustadz Mansur adalah ayah kandungku!
“Ayahmu akhirnya tobat. Kejadian itu persis ketika kamu baru kelas dua SD. Setelah meninggalkan rumah kamu, dan pergi entah ke mana, ayahmu kembali lagi. Dia mengajar mengaji anak-anak dan tinggal di mushola tempat kamu mengaji dulu,” terang Pak Darto diembusan terakhir rokoknya.
Aku tertunduk. Tak ada lagi yang mesti aku tanyakan soal ayah. Aku sudah cukup terkejut. 6 Aku berhasil meraih gelar sarjana, tepat lima bulan yang lalu. Tidak lama, ibu sakit keras. Aku terpaksa berbohong kepada ibu dan berkata bahwa aku diterima di sebuah perusahaan media di kota. Itu aku lakukan untuk
menyenangkan hatinya, demi membayar semua peluhnya selama ini untuk membiayai pendidikanku. Jujur, setelah selesai mengenyam pendidikan dan menyandang gelar sarjana, pekerjaan tampaknya sulit sekali aku dapatkan. Sampai suatu ketika, aku memutuskan untuk memanfaatkan sepeda motor yang tergolek di teras rumah. Itu motor ayah yang ditinggalkannya waktu ia meninggal dunia, begitulah kata ibu sewaktu aku duduk di bangku SMP.
“Nak, sudah di sini saja,” ujar seorang ibu yang menumpangi motorku. Tidak terasa, kami sudah tiba di mulut gerbang pasar.
“Iya, bu.” Ia turun dari motorku.
“Berapa, nak?” tanyanya.
Saat itu, aku perlahan membuka helm dan topi yang kukenakan. Alangkah terkejutnya aku, mungkin juga dia, yang menumpangiku sejak tadi itu rupanya ibu!
“Ahmad!” kata ibu terkejut.
“I-ibu… “
“Kamu ngojek?!” tanyanya penuh emosi.
Aku diam, tertunduk.
“Selama ini kamu menipu ibu…” lanjutnya.
Tiba-tiba, ibu memegang dadanya. Ia tampak sesak. Wajahnya mendadak pucat pasi. Seperti ada seutas tambang yang melilit batang lehernya yang sudah keriput itu. Lalu, tubuhnya roboh. Aku tak sempat menangkap tubuhnya yang jatuh ke jalan. Suasana mendadak ramai ketika bunyi gedebuk terdengar.
Orang-orang mengerumuni kami berdua. Hanya menangis yang aku bisa saat itu. 7 Kembali lagi aku di sini. Menapaki jalan becek yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Menjenguk mereka yang sudah tiada. Suasana sepi. Tak ada seorangpun di puluhan batu nisan yang berdiri tegak. Aku menziarahi makam ibu. Menaburi bunga di atas pusaranya. Dan, di sebelahnya, terdapat makam Ustadz Mansur, guru mengajiku. Allah selalu memberi cobaan yang masih bisa kita atasi. Dia tidak pernah memberi cobaan melampaui batas kemampuan kita. Begitulah pesan yang selalu aku pegang dalam mengarungi kehidupan dari Ustadz Mansur yang juga ayah kandungku.
Bandung, 27-28 Mei 2011.
Fandy Hutari, lahir di Jakarta 17 Agustus 1984. Menamatkan studi di Jurusan Sejarah Unpad. Penulis lepas dan editor di Penerbit Angkasa Bandung. Esai dan cerpennya dimuat di berbagai media cetak dan online. Bukunya yang sudah terbit: Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), Ingatan Dodol (IMU, 2010), Imajinasi Bumi (Hasfa Arias, 2011), serta Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (INSISTPress, 2011). Salah satu cerpennya termuat di antologi cerpen Be Strong, Indonesia edisi 4. Tengah mempersiapkan kumpulan cerpen tunggalnya yang diberi judul Sudut-sudut yang Berbicara. Kontak Facebook: Fandy Hutari (fandyhutari@yahoo.com).
Sumber: Kompas, 20 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar