Pages - Menu

12 Agustus 2011

Blues Hujan-hujan

Cerpen: Abimardha Kurniawan

Jazz? Kalian bilang jazz? Bukan, ini hanya sebuah komposisi kecil, semacam blues, tapi teramat sederhana sekaligus ruwet bukan main.

Lebih tepatnya, blues yang tak pernah jadi karena hanya ada tik-tik-tik hujan dan bunyi semrawut tak karuan yang terus menggangguku dengan bunyi ketukan jari-jemarinya yang tak henti menari-nari rancak di permukaan kanopi fiberglass.


Mungkin ini terlihat bodoh bagimu, tapi bukan bagiku. Ini layaknya langgam yang terus memainkan komposisi. Jangan recoki pikiranku dengan pikiranmu. Memang orang sekampung menyebutku aneh, bahkan tak jarang mereka sebut aku gila.

Ketika hujan turun, aku selalu gegas berlari ke tengah lapangan desa yang jaraknya tak berapa jauh dari rumah. Aku bawa gitar bututku. Aku duduk bersila di tengah lapangan, meyetem gitarku—memutar-mutar pasak di kepala gitar sambil kuping kiri aku tempelkan ke dinding tabung resonatornya. Sesekali aku dengarkan dengan sungguh-sungguh, aku pahami, bagaimana bunyi hujan ini.

Oh, aku mencari-cari nada yang sesuai dengan nada hujan dalam gitarku. Mat Jegug, musisi kampung yang selalu merasa jago main gitar, bilang bahwa aku memang nyeleneh. Mana bisa bunyi hujan ditala ke dalam nada-nada gitar. Itu tindakan bodoh, menurutnya.

Ya, aku tau dan paham betul kalau dia mengenyam sekolah musik sampai tinggi, bahkan juga mengajar di banyak sekolah musik. Dia sempat juga rekaman. Tapi, di sini bukan soal Mat Jegug jago main gitar atau tidak. Dalam soal ini, Mat Jegug hanya seekor nyamuk yang biasa mengganggu aku tidur malam, sampai-sampai aku kesulitan bangun pagi dan telat pergi bekerja.

Tidak penting apa pekerjaanku, ini bukan urusan kalian. Dalam cerita ini, cukup perhatikan bagaimana aku mencari bunyi-bunyi hujan dalam petikan gitar. Dan, oke Mat Jegug, keluarlah dari ceritaku. Jangan ganggu pikiran-pikiranku. Biarkan aku sendirian, mencari-cari bunyi hujan. Oho, ini memang suatu tantangan berat.

Tapi apalah arti tantangan jika aku sendiri terlalu nyaman menjalani dan menikmatinya. Aku ibaratkan ini sebagai perjalanan penemuan diriku sendiri. Tapi, mohon, jangan samakan aku dengan Frederic Chopin yang mengurung hujan dalam komposisi yang (kata banyak orang) menyayat-nyayat perasaan.

Aku tak yakin, Chopin pasti hanya berandai-andai bagaimana bunyi hujan jika diterjemahkan dalam nada-nada yang telah diwakili tuts-tuts piano. Aku ingin mendekati hujan sedekat-dekatanya. Selalu ia uarkan bunyi, jadi aku harus menangkap bunyi itu. Ketika kemarau panjang datang, hujan lama menghilang, sebelum akhirnya turun untuk waktu yang sangat mustahil diramalkan, tentu aku merasa rindu pada saat-saat itu—rindu akan hujan dan bunyi-bunyinya.

Jadi, dengan mencari bunyi hujan dalam nada-nada gitarku. Sewaktu-waktu ketika kemarau datang melanda dan tak ada kepastian kapan berhenti, aku akan bunyikan gitarku, memetik-metiknya sampai dengar kembali hujan untuk mengobati kangen.

Aku berjanji, nanti setelah aku temukan bunyi hujan dalam nada-nada gitarku, pasti tak akan aku stem lagi, aku biarkan tetap pada posisi seperti itu. Biar orang mencibir fals atau apa. Biar ahli fisika membuat pengertian yang berbeda antara nada sebagai bunyi yang punya frekuensi teratur dan tertentu, dengan hujan yang mereka golongkan ke dalam desah atau bunyi tak beraturan. Biarlah mereka menganggap seperti itu, aku tetap pada pendirianku—hujan memang sebuah komposisi yang punya dunia sendiri, punya nada-nada sendiri. Manusia selalu memaksakan diri saat memaknai sesuatu. Sungguh berlebihan. Aku tetap menempelkan kuping sisi kiriku ke tabung gitar.

Aku cari-cari. Aku putar pasak-pasak gitar. Mencari-cari. Aku berpikir dan berpikir lagi. Tapi jangan anggap aku menderita karenanya. Aku sungguh-sungguh menikmatinya, bahkan kalau perlu aku bersumpah di hadapan kalian. Seandainya sudah aku temukan, nanti gitarku ini akan aku beri nama GITAR HUJAN.
Gitar yang seluruhnya berbunyi hujan. Nanti, aku mainkan kord-kord menurutku sendiri, bukan kord-kord yang sudah ada di majalah-majalah musik. Aku lekuk-lekukkan jari-jemariku, aku mainkan menurut diriku sendiri.

Mungkin terdengar aneh bagi kalian. Tapi, inilah blues yang sesungguhnya. Bukan blues yang diciptakan kaum budak Negro di tlatah Amerika. Ini bluesku sendiri. Blues yang benar-benar terdengar sebagai bunyi hujan yang terus mengganggu perasaanku dengan ajaib. Aku juga ingin mendengar ada bunyi hujan ketika gitar aku petik.

Aku tekan senar-senarnya dengan jemariku yang terus menari-nari di leher-jenjangnya, seperti ketika butir-butir hujan mematuk apa saja yang ditemui di muka bumi. Aku hanya ingin kalian mendengar hujan, dari gitarku, itu saja. Karena aku yakin, kalian pasti merindukan hujan dari dasar lubuk perasaan terdalam, yang terdalam.

Seperti kesedihan yang selalu tersinpan, tak tau kapan muncul kembali di tengah keriangan...

Yogyakarta, 23 November 2010

Sumber: Kompas, 11 Agustus 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar