Pages - Menu

20 Juli 2011

Tamu Dari Israel

Cerpen Vivi Al-Hinduan

Desa Tanjung  Sengat  gempar. Penduduk desa kecil di seberang desa Sungai Kepinding  itu kaget bukan kepalang. Kecolongan, barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi mereka saat ini. “Bagaimana mungkin?”, tanya seorang tokoh agama di desa itu.

“Kok bisa?” tanya yang lain.

Syaugi, seorang mahasiswa asli desa itu yang kuliah di Pontianak dan sedang pulang kampung punya teori lain, ”Pasti telah terjadi sebuah konspirasi besar. Jangan-jangan dia seorang agen Mossad yang sedang menyamar menjadi peneliti.”


Tak lama, gosip pun segera menyebar seperti kanker ganas di seantero desa kecil itu yang 99,99% penduduknya beragama Islam. Penyebabnya cuma satu, datangnya seorang  Sosiolog asing berkebangsaan Israel yang kebetulan pula beragama Yahudi, Benjamin Askadot, ke desa itu. Tentu saja aku ikut disalahkan, karena akulah yang menemani Benji ke desa itu.

Perkenalanku dengan Benji  terjadi sebulan yang lalu, ketika Aline Van Gobus menelponku. Aline, dosen cantik di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta, wanita blasteran Cina-Belanda itu kukenal sewaktu aku mengambil S3 Sosiologi di National University of Singapore, Singapura. Aline mengambil S2 jurusan bisnis di NUS. Kami sering bertemu di acara-acara yang diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Singapura dan KBRI di Singapura. Ia berusia duapuluh tahun di bawahku dan hingga kini ia belum juga mau menikah. Aku ingat percakapanku dengannya sewaktu dia menelponku bulan lalu.

“Aku sudah telanjur menikahi pekerjaanku, Prof. Tampoy,” ungkapnya padaku. “Ah, Aline. Sayang sekali ya?" “Hahaha…anda mau mencobanya, Prof?” “Mencoba apa? Melamarmu? Aach.” “Kenapa Aacch?” “Aku rasa aku sudah terlalu tua untukmu. Lagipula..” “Ssst..aku suka pria mapan,” dia mulai menggoda. “Tapi aku sudah menikah. Lagipula, kita beda agama.” “Kau menyesal? Aku mendengar nada penyesalan di suaramu.”

Menyesal? Kenapa kau tanyakan itu? Apakah aku menyesal karena telah menikah dan punya empat anak? Apakah aku menyesal terlambat mengenalmu? Apakah aku menyesali segala perbedaan di antara kita? Apakah aku menyesal  tidak berani menceraikan istriku demi kamu? Aku ingin mengatakan YA untuk semua pertanyaan itu, namun kalimat yang keluar dari bibirku hanyalah ini: “Bisa ganti topik lain?” ***** “Bagaimana anda bisa masuk ke Indonesia?  Dengan paspor Israel?” Benjamin Askadot mengangguk. “Tapi…” “Aku punya kenalan di imigrasi dan bandara. Dia yang meloloskan Benji. Yaah,,dengan sedikit fulus lah,” sahut Aline santai. “Ooooh..” hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibirku.

Aku begitu takjub melihat ulah oknum aparat negeri  ini. Jangankan Yahudi Israel, barang bekas saja bisa lolos dengan mudah. Bahkan sampah negeri tetangga pun bisa masuk ke Indonesia asal dipoles dengan duit. Naudzubilah. Tiba-tiba aku merasa seperti orang suci yang muak melihat korupsi yang telah menjajah negeri.

 “Prof. Tampoy, setahu saya di Manado sudah lama ada penganut Yahudi,” ujar Benji dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar. “Iya, Prof. Benji ini sering loh ke manado ketemu komunitas Yahudi disana,” sambung Aline. “Berartii…ada Sinagog ya di Manado?” tanyaku lugu. “Setahuku bahkan dulu di Surabaya pun ada, tapi pernah disegel massa. Entah bagaimana nasib tempat itu sekarang.” Ujar Aline. “Logikanya, tak mungkin orang beragama tanpa rumah ibadah bukan?” Benji menambahkan. “Well  Jew, welcome in Wonderland,” sahutku pasrah. “Come on, Prof, biasa ajalah. Bukankah negara anda menjamin kebebasan beragama bagi warganya dan kebebasan menjalankan ibadah agama mereka?” kata Benji. “Hehe...speechless,” Aline Van Gobus terbahak. “Jadi anda lulusan S3 Sosiologi  dari Yale, dan sekarang bekerja di lembaga penelitian milik pemerintah Israel?” aku mengalihkan topik. “Iya, saya tertarik meneliti tentang pengaruh internet  terhadap perubahan pola pikir  masyarakat desa itu.” “Saya bisa mengantar anda kesana. Tapi sekedar informasi, penduduk desa itu bisa dibilang hampir semua muslim. Anda tahu, isu Yahudi dan Israel sangat sensitif sekali. Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka tahu anda seorang Yahudi Israel.” “Memangnya kenafa kalo saya Yahudi Israel? Ada yang salah, Prof?” “Benji, please. Televisi dan internet sudah beberapa tahun masuk ke desa itu. Kau tau berita apa yang sering mereka lihat tiap hari? Pembunuhan muslim Palestina oleh tentara Israel,” sahut Aline. “Tapi aku bukan pembunuh, Aline! Aku peneliti, ilmuwan. Aku bukan Zionist!” “Mereka tidak mau tahu itu, Ben. Yang mereka tahu hanya satu, kau Yahudi, dan kau berasal dari Israel. Jelas?” “Tapi aku bukan pembunuh umat muslim, Aline! Aku ilmuwan! Aku penganut Yahudi yang anti Zionist..” “Oke, enough guys! Aku yakin mereka tidak terlalu peduli dengan berita holocaust muslim Gaza yang kalian debatkan. Karena mereka mungkin tidak pernah  menontonnya.” “Maksud Prof mereka tidak suka nonton tivi?” Benji terlihat bingung. “ Oh, tidak Ben. Justru sebaliknya, mereka sangaaat hobi menonton tivi dan mengakses internet. Tapi aku yakin yang mereka tonton setiap hari adalah sinetron dan berita gosip selebritis tanah air, dan yang mereka lihat setiap saat di internet adalah gambar dan video porno yang sangat mudah diakses.” “ ………… “ ***** Malam itu aku tak bisa tidur. Pertemuanku dengan Aline dan Benjamin tadi siang memercikkan kembali kenangan masa lalu. Aline Van Gobuz , wanita berdarah kompeni dengan tinggi 168 dan berat 58 itu betul-betul menggelitik otak kananku. Geli.

Aku beristigfar. Disampingku terlelap istriku yang biasa kusapa Umi. Maryam Bachdim, wanita berdarah Arab dengan hidung bangirnya yang entah kenapa membuatku begitu tergila-gila. Membayangkan senyuman Aline saja telah membuatku merasa berdosa terhadap wanita Arab yang telah menemani hidupku selama 22 tahun dan memberiku empat anak ini.

Aku ingat, tadi siang Aline bercerita tentang awal perkenalannya dengan Benji. Mereka kenal lewat facebook, lalu merambah ke twitter, dan saling curhat lewat blog masing-masing. Aku rasa tentu hubungan mereka tambah akrab sekarang, karena Aline berani mengambil resiko meloloskan seorang  warga Israel ke Indonesia. Ach, rasanya mudah sekali untuk jatuh cinta di era digital ini, tinggal buka facebooknya,saling memollow di twitter,dan selanjutnya tukaran nomer hape. Hasil lebih penting dibanding proses, bukan?

Jadi ingat, pertama kali mengenal Maryam. Aku bersahabat dengan Helmi Bachdim, sepupu Maryam yang kebetulan rekan sesama  dosen dikampus tempatku mengajar. Helmi yang prihatin melihat usiaku sudah 34 dan belum menikah, berinisiatif menjodohkanku dengan sepupunya, Maryam, yang kala itu sudah berusia 32. Aku yang selalu kikuk berhadapan dengan wanita, merasa mati kutu berhadapan dengan gadis Arab bertubuh bongsor itu ketika pertama kali kerumahnya, itupun ditemani Helmi. Kalau jadi salesman, barangkali aku bahkan tidak bisa menjual pelampung kepada orang yang nyaris tenggelam.

Lama-kelamaan, mulai timbul keberanian dalam diriku. Aku mulai merasa menjadi seorang pria sejati. Aku memberanikan diri pergi sendirian kerumah Maryam tanpa ditemani Helmi. Meskipun aku masih gemetaran berhadapan dan berbicara dengan Ustad Ali Bachdim, ayah Maryam. Kopi pahit tanpa gula, minuman kesukaan ayah mertuaku itu. Dengan perawakan yang tinggi besar dan janggut lebat serta tatapan mata tajam khas Timur Tengah, wajar jika aku langsung menciut berhadapan dengannya.

Hubunganku dengan Maryam sempat ditentang ibuku. Beliau ingin aku mencari istri seorang wanita Jawa yang usianya paling tidak sepuluh tahun dibawahku, dengan perangai yang halus dan keibuan, taat pada suami. Aku pikir, memangnya cuma wanita Jawa saja yang bisa seperti itu? hingga akhirnya aku bisa meyakinkan Ibu agar mau menerima Maryam sebagai menantunya.Tapi itulah proses. Tidak instan, dan butuh waktu. Bahkan untuk membuat kopi instan pun dibutuhkan penelitian yang tidak instan. Tapi bukankah kita akan lebih menghargai sesuatu yang kita peroleh dengan susah payah ketimbang sesuatu yang bisa kita dapatkan dengan mudahnya? Aku melirik Maryam yang terlelap disampingku, dan rasa kantuk pun menyergapku. ******

Sok tahu, itulah kata yang paling tepat ditujukan padaku . Ternyata prediksiku keliru. Entah siapa yang menghembuskannya, tiba-tiba warga Desa Tanjung Sengat heboh. Mereka tahu Benji seorang Yahudi. Bahkan anak muda di desa itu beramai-ramai memeriksa dan menahan paspornya, serta menginterogasi kami.

“Hai, Yahudi Laknatullah! Mau apa kau ke desa kami? Kamu intel Israel ya? Ayo jawab!” Syaugi berteriak lantang. “Tolong dengarkan saya…” “Alah, dasar kafir! Keluar kau dari desa ini !” “Syaugi, tenang lah. Jangan main tuduh sembarangan..” Aku berusaha menengahi. “ Prof. Tampoy, anda muslim bukan? Kenapa anda bekerjasama dengan musuh kita? Anda ingin menghancurkan Islam dari dalam?” “Syaugi, jangan menuduhku sembarangan.”, emosiku mulai tinggi. “Sudahlah Prof, jangan munafik. Bukankah Allah telah mengingatkan kita bahwa Yahudi dan Nasrani itu musuh kita yang paling nyata? Kenapa anda justru berteman dengan kaum laknat pembantai saudara-saudara kita di Gaza? Berapa anda dibayar sama Askadot?” “Brengsek kau, Syaugi! Apakah sesempit itu pemikiranmu sebagai mahasiswa? Apa kau tidak bisa membedakan antara penganut Yahudi dan Zionist? Mereka berbeda, Gi. Kau tahu, di negaranya, Benji dan teman-temannya sering mendemo pemerintah Israel  agar berhenti membunuh muslim Gaza, berhenti membangun pemukiman Yahudi di Palestina, dan..” “Oh, jadi sekarang Profesor malah membela mereka? Bagus. Prof, saya tidak peduli Askadot ini Zionist atau bukan. Yang saya dan semua penduduk desa ini tahu, dia seorang Yahudi dan dia berasal dari Israel. Titik.” “Kau tau, dengan reaksimu yang seperti itu, berarti sama saja kau dengan tentara Israel yang biadab itu. Mereka telah lama kehilangan sesuatu yang membuat mereka layak disebut sebagai manusia, yaitu rasa kemanusiaan itu sendiri. Dan sekarang kau ingin menghasut warga desa ini agar menghakimi kami beramai-ramai? Perbuatanmu telah mengotori ajaran Islam yang menghormati umat lain.”

Syaugi terdiam. Wajahnya merah padam. “Syauki, saya tidak salah. Jangan samakan saya dengan pemerintah kami yang biadab. Sayapun bisa masuk ke Indonesia dengan mudah karena ulah oknum aparat kalian yang mau meloloskan saya dengan imbalan uang.” Benji berusaha menjelaskan.

Akhirnya, Syaugi dan beberapa pemuda desa itu pergi meninggalkan kami berdua.Aku ingat, sewaktu mengambil S3 di NUS  dulu, dalam sebuah kelas hanya aku satu-satunya yang berasal dari Indonesia. Diantara 5 orang lainnya dalam kelas itu, 2 merupakan warga asli Singapura, 1 dari Vietnam, 1 dari Australia, dan 1 lagi seorang wanita dari Cina. Dan materi yang kami bahas hari itu adalah mengenai budaya korupsi di Indonesia. Reflek, aku menunduk malu dan rasanya ingin segera kabur dari kelas.

Ajaib,tidak satupun dari mereka menatapku sambil mengolok-olokku atau menuduhku sebagai bagian dari budaya korupsi itu. Mereka semua tetap fokus pada materi yang dibahas. Mereka mampu menunjukkan kedewasaan berpikir. Satu lagi pelajaran penting yang kudapat hari itu. **** “Prof. Tampoy dan Pak Benjamin, saya mohon besok pagi anda berdua segera meninggalkan desa ini. Penduduk desa akan melaporkan anda berdua ke polisi.” Pak Ustad mengingatkan kami. “Afa  salah kami, Pak Ustad? Saya bukan Zionist.” Benji berusaha menjelaskan. “Sudahlah Ben, tidak ada gunanya. Mereka tidak peduli dengan perbedaan itu.” “Tapi, Prof…”

Aku tak mengacuhkannya. “Pak Ustad, bukankah Islam itu ajaran yang rahmatan lil alamin? Rahmat bagi semesta ini? Bagi semua umat diluar Islam?” tanya Benji. Pak Ustad mengiyakan.
Benji bertanya,” Pak Ustad, setahu saya Nabi Muhammad sangat mengayomi umat Yahudi dan Nasrani sewaktu beliau menjadi Rasul?” “Benar, Pak Ben.” “Kenapa umat Islam saat ini tidak mencontoh apa yang dilakukan Nabi mereka? Pak Ustad, saya sangat mengagumi ajaran Islam meskipun pemerintah negara saya membenci kalian. Ajaran Islam sangat indah. Tapi kenapa umat Islam, terutama di Indonesia dan di Timur Tengah, kehidupannya sangat jauh dari ajaran Islam? Apa yang salah dengan kalian?”

Pak Ustad terdiam. Kiranya terkejut mendengar pertanyaan yang baru kali itu didengarnya.
Aku jadi ingat sebuah anekdot tajam yang menyebutkan, disaat orang-orang di Barat sana telah lama meninggalkan Tuhan mereka, umat Islam di negeri ini justru telah ditinggalkan oleh Tuhan mereka. Miris.
Di perjalanan pulang, Benjamin Askadot bercerita bahwa dia melihat perbedaan mencolok antara makna pemakaian jilbab bagi para muslimah di Palestina dan di Indonesia. Jika para muslimah di Palestina rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan jilbab mereka dari rampasan dan pelecehan tentara Israel, maka muslimah di negeri ini memaknai jilbab hanya sebagai trend semata, bahkan melihatnya sebagai peluang bisnis. Masya Allah.

Aku mengatakan kepada Benji, jika Iran yang telah puluhan tahun diembargo oleh Amerika Serikat saja mampu menerbangkan  seekor monyet ke luar angkasa,pemerintah  Indonesia yang bersahabat erat dengan pemerintah Amerika Serikat ini bahkan kewalahan mempertahankan permainan khas topeng monyet ditengah gencarnya arus modernisasi dan globalisasi yang melanda negeri ini. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat permainan rakyat itu akan diakui oleh Malaysia.Alangkah lucunya negeri ini. Aach..

Pontianak, 09072011 

Kompas, 19 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar