Oleh M. Hari Atmoko
"Ciptaningsun mring kang Maha Suci. Tata lahir, donya, lan delahan. Diwaspada piandele, mulyaning kang Maha Agung. Yoden udi kawruhing batin. Ciptaning manungsatama. Tata, titip, tutuk. Dimenkanggo patuladhan. Mula kanca ayo padha amarsudi. Laku tembang kautaman".
Syair tembang berbahasa Jawa itu dilantunkan pemimpin peguyuban "Andong Jinawi" salah satu anggota Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Supadi Haryono, saat puncak Festival Lima Gunung ke-10, Minggu (10/7), di Dusun Keron, Desa Krogowanang, Kecamatan Sawangan, kawasan antara Merapi dengan Merbabu.
Lelaki yang sehari-hari bertani dan bakul sayuran antarkota itu mengenakan balutan kain warna hitam dan tutup kepala "iket" dengan beberapa goresan cat hitam di wajahnya menggambarkan sosok kharismatis desa.
Ia duduk bersila dikelilingi tiga barisan melingkar 15 pelaku performa drama tari di panggung alam festival dengan instalasi bahan alam dari dedaunan kering membentuk simbol gunung.
"Itu syair tembang Jawa, ’Dhandhang Gula’, mengingatkan manusia ciptakaan Tuhan yang harus selalu waspada dan percaya akan kemuliaan Tuhan, selalu menata diri, teliti, dan mencari ilmu setinggi mungkin, supaya hidupnya menjadi teladan untuk lainnya," katanya.
Festival tahunan ke-10 yang diselenggarakan secara mandiri oleh seniman petani komunitas itu mengangkat tema besar "Tembang Kautaman". Setiap grup kesenian menyuguhkan karya tembang sebagai bagian dari karya mereka baik tarian tradisional, kontemporer, dan kolaborasi.
Ia menjelaskan, situasi kehidupan masyarakat yang diwarnai dengan berbagai kesulitan dan keprihatinan dalam berbagai aspek mestinya membuka kesadaran semua orang untuk segara mencari jalan keutamaan. "Itu kira-kira maksud tembang tersebut," katanya.
Pementasan dalam bentuk gerak tari dan performa doa itu dimainkan oleh penari laki-laki dan perempuan, mengesankan suguhan elitis orang gunung saat menyampaikan nilai-nilai keutamaan hidup.
Delapan penari perempuan masing-masing mengenakan kain warna kuning gading dengan selendang kuning keemasan, dan tatanan gelung rambut dengan properti bunga-bunga warna kuning. Masing-masing membawa piring dari anyaman rotan berisi berbagai macam bunga dengan aneka warna.
Penari lelaki yang berjumlah delapan masing-masing membawa kendil berisi kemenyan, berbalut kain hitam, dan tutup kepala "belangkon", sedangkan Supadi yang tampil sebagai tokoh spritiual gunung itu membawa bokor berisi air kembang.
Ia menunjukkan gerak tarian sambil memercikkan air dari bokor itu dengan daun pandan kepada ribuan penonton yang memadati panggung utama festival.
Para penari putri dengan gerak lemah gemulai juga menaburkan kembang di tengah panggung terbuka itu, sementara tabuhan musik gamelan beritme takzim terus mengiring pergelaran berdurasi 15 menit tersebut.
Sejumlah konfigurasi gerak mereka diiringi beberapa nomor musik gamelan dari atas panggung bambu dengan instalasi rangkaian dedaunan kering dan batang kering pohon jagung itu mengesankan karya yang khusus mereka ciptakan untuk FLG ke-10 itu menjdi elitis, agung, dan bertutur cerita.
Grup itu terdiri atas para seniman petani holtikultura berasal dari Gunung Andong, Desa Mantran, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Saat suasana puncak festival sepanjang Minggu (10/7) siang yang cerah itu, para seniman, budayawan, dan pemerhati seni, serta puluhan fotografer berasal dari berbagai kota hadir menyaksikan dan merekam dengan kamera atas even budaya tersebut.
Mereka antara lain Pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori, penari Eko "Madonna" Supriyanto, pengajar Institut Kesenian Jakarta Sal Murgiyanto, dan pengajar tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI), Umar Khusaeni, pelukis apel, Dedy Paw.
Para petinggi KLG antara lain Sutanto Mendut, Sitras Anjilin, Riyadi, Sumarno, Sarwo Edi, Ki Ipang, Ismanto, Handoko, Timbul, dan Sujono.
"Itu ekspresi yang kami suguhkan saat puncak festival ini. Kami tetap petani desa yang kecil. Kalau kami mementaskan karya itu, bukan supaya bisa terkenal, tetapi hanya mengungkapkan suara hati dan meneruskan tradisi berkesenian," katanya.
Puncak festival itu ditandai pemukulan gong oleh para tokoh KLG dan kirab budaya dipimpin Ismanto yang mengenakan properti alam seakan menggambarkan manusia pedalaman, diiringi dengan puluhan anak mengenakan kain hitam dan properti dari karung goni di pundak, pinggang, dan kaki.
Kirab budaya itu melewati jalan-jalan sempit di kampung berpenduduk sekitar 80 keluarga atau 250 jiwa. Tabuhan aneka musik terdengar sepanjang kirab tersebut. Di beberapa tempat terutama sudut-sudut jalan selebar sekitar 1,5 meter di kampung terpampang instalasi seni beraneka ragam.
Sebelumnya, seniman petani Sanggar Wonolelo, Bandongan, Magelang, menggelar ritual "Terlahir" ditandai dengan pemotongan rambut pemimpin grup itu, Ki Ipang, yang telah dipelihara selama sembilan tahun terakhir.
Para pemimpin KLG satu per satu memotong rambut Ki Ipang yang mengenakan balutan kain hitam dan putih, di tengah panggung dengan menggunakan arit, sedangkan tembang "Madyo Pituturan yang diiringi tabuhan alat musik terbang dan jedor tak henti terdengar selama performa itu.
Ia kemudian didampingi sesepuh masyarakat Keron, Abu Yamin (70), menjalani kirab budaya sebagai pembuka pementasan pucak festival yang terkesan meriah itu.
Pementasan yang mencatatkan kesan karya elitis oleh seniman desa dan gunung setempat juga disuguhkan oleh grup "Wargo Budoyo Sumbing" pimpinan Riyadi, yang juga Kepala Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelang, di kawasan Gunung Merbabu.
Saat puncak festival itu mereka mementaskan garapan berlanjut berjudul "Jazz Gladiator Gunung" yang terdiri atas empat tarian baik tradisional maupun kontemporer yakni "Kipas Mega" (delapan penari perempuan), "Geculan Bocah" (delapan anak), "Gupala Gunung" (delapan pemuda), dan "Soreng" (tujuh penari dewasa).
Suguhan tarian itu diiringi sejumlah nomor musik dinamis dari tabuhan alat musik terbang, truntung, kendang, bende, drum, dan gong. Sesekali para pemain meneriakkan yel-yel menguatkan gerakan tarian para seniman.
"Jalan-jalan di kantong ati, lihat orang putih dan kuning, rambut panjang di atas akar gelung tekuk, menjadi ati," demikian salah satu syair tembang mereka.
"Suguhan ini menunjukkan orang gunung sebagai petarung," kata Riyadi.
Lain lagi dengan para seniman petani "Cahya Budoyo Sumbing" pimpinan Juwahir Sarwo Edi. Mereka menyuguhkan performa tarian rakyat "Lengger" yang selama ini terus mereka lestarikan di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Magelang, kawasan Gunung Sumbing.
Performa yang terlihat memikat ribuan penonton itu ditandai dengan seorang seniman, Suwakir yang mengenakan properti berewok di wajahnya dan berbalut kain hitam, diiring dua penari lengger Sumirah dan Sariyatun, membawa kemeyan setumpuk di tengah panggung. Dibakarnya kemenyan itu hingga asapnya mengepul.
Syair tembang berjudul "Ngundang Dewa" (Memanggil desa, red.) terdengar melantun. "Menyan putih sing ngundang dewa. Ono dewa sing ngundang sopo. Widadari angger, sampeyan tumuruna. Ojo suwe mesakake karo dedalahan lengger e".
"Itu tembang yang maksudnya berdoa kepada Tuhan memohon berkah untuk apa yang dikerjakan petani," kata Sarwo Edi.
Tak seberapa lama kemudian tabuhan musik gamelan pengiring tarian masuk ke nomor berikutnya untuk mengiring sajian tarian keprajuritan "Embek" oleh delapan penari laki-laki yang masing-masing membawa sepotong bambu berwarna putih.
Dua pasang penari yakni Sumirah-Pujianto dan Sariyatun-Parjudi" menyuguhkan nomor lengger berjudul "Sontoloyo", tarian sederhana dan riang yang menggambarkan orang desa menggiring bebek.
Sajian lainnya saat puncak festival itu antara lain tarian "Kuda Lumping", "Truntung Jemari Bumi", "Topeng Ireng", "Grasak", "Wayang Orang", dan "Kukilo Gunung".
Seniman petani komunitas itu hingga saat ini telah menggelar karya mereka saat berbagai even baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional di berbagai kota besat.
Eko Supriyanto menyatakan bangga mendapat kesempatan menyaksikan FLG ke-10 yang digelar secara mandiri oleh seniman petani KLG.
"Saya bangga melihat festival ini. Sebagai warga Magelang hingga saat ini masih merasakan kekuatan kesenian di sini. Dulu saya sering main ’Jatilan’, sekarang masih melihat tarian ’soreng’. Terasa kembali ke desa," katanya.
Sal Murgiyanto menyatakan kagum atas penyelenggaraan FLG karena inisiatifnya justru dari kalangan bawah. Berbeda dengan festival di Bali yang megah karena ditopang pemerintah.
"FLG prakarsa sendiri. Sepuluh tahun yang kesepuluh mendatang, apa yang akan terjadi dengan inisiatif dari bawah ini. Ada keakraban yang kuat lewat festival kebudayaan yang menyuguhkan tarian, sastra, musik, dan drama ini," katanya.
Mereka yang para seniman petani gunung itu, katanya, menemukan wadah silaturahim melalui festivalnya.
Suguhan berbagai karya tarian Komunitas Lima Gunung yang terkesan elitis saat puncak festivalnya pada 2011 itu dengan mendapatkan tepukan tangan ribuan penonton dan meraup sanjungan pengamat bukanlah menjadikan mereka bersombong hati.
Usai festival tahunan, mereka kembali ke lahan tanaman sayuran, bergelut dengan sapaan alam gunung, dan menjalani tradisi budaya desa masing-masing.
Mereka tetap petani, dengan genggaman keutamaan gunung.
Sumber: Kompas, 12 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar