Oleh Geger Riyanto Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia
Data buku Judul: Soeharto dan Barisan Jenderal Orba
Pengarang: David Jenkins
Penerbit: Komunitas Bambu
Jumlah halaman: xl + 384 hal
Waktu terbit: cetakan II, November 2010
Buku ini bercerita tentang relasi dan kecamuk di puncak-puncak kekuasaan Indonesia tahun 1975-1983. Untuk diingat, di zaman ini seorang petinggi dari kalangan militer dapat dengan enteng menyampaikan ke muka umum bahwa kalangan sipil tak punya kemampuan untuk memimpin Indonesia.
Dengan gaya yang tenang dan kebapakan, seorang petinggi militer pun bisa menuturkan sanggup menghilangkan satu-dua orang untuk menjaga ketertiban—pernyataan yang kedengaran sinting bila diungkapkan di tengah khalayak ramai hari ini. Stabilitas, saat itu, berada di atas segalanya. Kelompok tentara menduduki kasta paling atas.
Wartawan dari Australia, David Jenkins, lantas masuk ke dalam lingkaran kekuatan tertinggi Indonesia yang tampak angker tersebut. Jenkins ditempatkan di Indonesia oleh Far Eastern Economic Review pada 1976-1980. Ia kemudian mendapat hibah dari Institute of South East Asian Studies untuk melakukan studi tentang Indonesia.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Jenkins mengaku saat itu ia punya rencana untuk membuat tulisan yang dapat menggambarkan apakah Indonesia dengan seutuhnya, benar, dan akurat. Ia ingin menggambarkan bagaimana struktur kerja pemerintah Indonesia, melihat secara keseluruhan pertalian di antara pemerintahan dengan militer (Koran Tempo 18 Juli 2010).
Soeharto dan Barisan Jenderal Orba, tulisan Jenkins yang terbit dalam bahasa Indonesia 12 tahun kemudian setelah versi bahasa Inggrisnya, menjadi sebuah studi yang sangat rinci dan kaya akan data—seakan ditulis oleh seorang perfeksionis. Barisan petinggi militer yang tampak angker itu dibedah oleh Jenkins satu persatu, memperlihatkan di balik kulit rezim yang terlihat kokoh tersebut tersembunyi kesatuan yang rapuh.
Kasak-kusuk Para Jenderal
Memang, sejak pertengahan 1970an kelihatannya tak ada tentangan yang benar-benar berarti terhadap kekuasaan Soeharto. Dengan otoritas yang diwarisinya dari Sukarno, Soeharto mempunyai wewenang untuk menunjuk 61 persen dari anggota MPR, badan yang menetapkan Presiden dan GBHN. Tetapi, proses dan perseteruan politik yang sesungguhnya tidaklah terjadi di wadah formal tersebut.
Prosedur hanyalah prosedur belaka. Jenkins memperlihatkan, salah satu proses politik yang menentukan di Indonesia adalah kasak-kusuk para jenderal. Pada pertengahan 70an, apa yang di mata Soeharto menjadi teror riil terhadap pemerintahannya adalah barisan para jenderal yang kecewa. Pensiunan jenderal adalah tokoh yang relatif tak bisa disentuh di Indonesia, di samping sejumlah tokoh sipil dan advokat yang mempunyai jaringan internasional.
Nasution, pensiunan jenderal yang biografinya tak bisa dibedakan dengan dua dekade pertama sejarah militer Indonesia, pasang badan dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) bersama Muhammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX, badan yang mengkritik praktek kekuasaan Orde Baru yang tak punya aturan main. Selain LKB, pada waktu yang relatif berdekatan terbentuk pula Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI-AD, beranggotakan para pensiunan jenderal yang mengkritik pedas peran TNI/ABRI yang mereka anggap telah diselewengkan oleh lingkaran penguasa. Kertas kerja Fosko mengangkat bagaimana ABRI, yang seharusnya berada di atas semua golongan dan bersatu dengan rakyat, dirusak dengan dibaurkan dengan Golkar.
Menghadapi oposisi-oposisi yang tak mungkin dihilangkan begitu saja dengan penembak jitu, balasan yang dilakukan Soeharto adalah strategi-strategi intimidasi halus yang mengerikan. Di hadapan Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, Maret 1980, Soeharto menyampaikan tekad Orde Baru untuk melakukan koreksi total terhadap penyimpangan Pancasila dan UUD 1945. “Jika terjadi perubahan, menjadi tugas [ABRI] untuk menggunakan senjata,” ungkap Soeharto dengan ringan dan mengiris. Kelompok penentang Soeharto pun dikaitkan dengan tuduhan-tuduhan hendak mensubversi pemerintahan, tuduhan yang bisa mendatangkan maut kepada mereka.
Ketika kemudian Petisi 50 diterbitkan, di mana 50 tokoh termasuk jenderal-jenderal ternama mengungkapkan keprihatinannya terhadap penyelewengan Orde Baru dengan gaya yang tidak “Jawa” (dalam kamus Soeharto), pemerintah, menggunakan istilah Sukendro, salah satu penanda tangannya, “memotong seluruh jalur hidup kami”. Barisan oposisi tersebut tidak diperkenankan pergi keluar negeri, dilarang mendapatkan ruang di media massa, diberhentikan dari pekerjaan, bahkan distop karirnya dan tidak bisa mendapatkan pinjaman bank.
Jenkins kemudian juga menunjukkan, berada di dalam lingkaran dalam Soeharto pun tidak berarti aman. Kekuasaan Soeharto yang terlampau besar membuatnya memandang semua di luar dirinya, termasuk orang-orang terdekatnya, sebagai ancaman. Para jenderal lingkaran dalam ditata Soeharto sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling memandang dengan curiga.
Misal, Sudomo, sebagai Wakil Pangab, yang berarti bawahan Jusuf sebagai Panglima ABRI, juga menjabat sebagai Panglima Kopkamtib. Ini membuat Sudomo memiliki akses yang tak dimliki Jusuf. Barisan pembantu Soeharto ditempatkan pada posisi yang silang sengkarut semacam itu, menjamin tumbuhnya rivalitas di antara mereka. Hubungan di antara mereka pun pada prakteknya menjadi tidak mulus. Dengan begini, Soeharto memastikan bahwa masing-masing jenderal berusaha menetralisir kekuasaan yang lain dan akhirnya mengamankan kedudukan sang Panglima Tertinggi ABRI sendiri.
Pisau Kecil Jenkins
Berbeda dengan sosiolog yang mungkin akan membaca rezim militer Orde Baru dari data-data makro dan teori besar (kondisi ekonomi, konstelasi politik, struktur sosial, dan lain-lain), latar Jenkins sebagai seorang wartawan mendorongnya untuk menampilkan ulasan cara kerja rezim tersebut justru dari data-data yang kecil, mikro, dan kasat mata—peristiwa-peristiwa, intrik pribadi, dan hubungan antar orang-orang besar dunia militer Indonesia.
Tanpa pretensi untuk menjadi analis makro, Jenkins menjajarkan data-data rinci yang sebagian diperolehnya dari wawancara dan membiarkan fakta berbicara dengan sendirinya—gaya khas seorang jurnalis.
Kompleksitas realitas politik Indonesia dibiarkan berbicara, memperlihatkan dengan sangat meyakinkan bagaimana sebuah negara modern ditentukan dari kondisi rumah tangga militer yang liat, sarat benturan, dan diatur oleh Soeharto, sang bapak, layaknya sebuah kerajaan dengan para jenderal sebagai pangeran yang saling berseteru, diam-diam mengejar kekuasaan puncak.
Dan, meski awalnya buku ini adalah sebuah naskah hasil penelitian, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba memiliki daya naratif yang memikat. Paparan netral Jenkins memiliki alur mengalir yang membangun adegan-adegan klimaksnya tersendiri. Pelumpuhan petisi 50, misal, tak hanya terasa sebagai fakta sejarah, tetapi juga seperti membaca adegan puncak dari sebuah novel. Jangan heran seandainya pembaca mendapati jenderal yang kemudian menjadi favoritnya atau jenderal lain yang menjadi antagonisnya, apalagi pembaca Indonesia yang hidup langsung dalam sejarah yang ditulis Jenkins.
Soeharto dan Barisan Jenderal Orba yang mengupas rezim besar di masa lalu kita dengan pisau kecilnya adalah sebuah sumbangan yang tak tergantikan untuk membaca Indonesia.
Sumber: Kompas, 5 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar