Pages - Menu

30 Juli 2011

Puasa Bangun Kesadaran

  • Oleh Mahmudi Asyari
RAMADAN tidak pelak lagi menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi banyak orang. Tidak hanya bagi muslim, tapi bagi nonmuslim, terutama para pebinis (pedagang) yang merasa akan mendapatkan keuntungan berlimpah. Barangkali itulah yang menyebabkan bulan suci itu seperti pertunjukan tahunan yang segera sirna, baik praktis maupun jejaknya, sesaat setelah momentumnya berlalu.

Terlepas dari masalah itu, Allah sebenarnya sudah memberikan isyarat melalui firman-Nya bahwa sejatinya puasa membangun kesadaran berkelanjutan. Hal ini, terlihat dari ketiadaan penampakan Allah dalam perintah-Nya pada saat menegaskan bahwa ibadah itu sebuah kewajiban. Ibarat kuda, kata seorang profesor filsafat, tidak ada jokinya, siapa yang mewajibkan puasa itu? Cermatilah bunyi surah Al-Baqarah Ayat 183 yang terjemahannya sebagai berikut,” Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu siapa tahu dengan berpuasa kalian menjadi orang-orang bertakwa.”


Tidak ada ”penampakan” Allah sebagai pemberi perintah meskipun secara teologis sudah pasti Dia.

Apabila puasa sebuah kebaikan dan memang demikian umat Islam meyakini, kenapa Allah selaku Syari’ (pembuat syariah puasa) tidak menampakkan diri selaku pemrakrasa ibadah itu. Bahkan, jika mencermati perintah tersebut, Dia memilih menyamarkan diri. Sebagai konsekuensi dari hal itu, menurut saya, puasa lebih bergantung kepada kesadaran diri tiap mukmin apakah mau melakukan atau mengabaikan. Tentunya ketika menjalankan ibadah puasa harus dengan penuh ketertundukan dan keikhlasan.

Sepengetahuan saya, struktur seperti digunakan dalam Alquran ketika Allah memberikan pilihan kepada hamba-hamba-Nya; apakah mereka akan memilih perbuatan baik atau buruk. Ketika itu, Ia memberikan kesan mengambil ”jarak” dari keburukan (syarr) dan sebaliknya bersikap tegas dalam soal kebaikan bahwa perbuatan berasal dari-Nya dan itulah yang dikehendaki-Nya. Di antara contoh tersebut adalah Ayat 4 dalam Surah Jin yang terjemahannya sebagai berikut,” Sesungguhnya kami (para jin) tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu). Apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Allah menghendaki kebaikan bagi mereka.”

Abaikan Godaan

Dalam ayat itu, Allah melalui ucapan para jin dikesankan berjarak dari keburukan (syarr) sementara ketika berkaitan dengan kebaikan (rasyad) Allah begitu ditampakkan sembari menekankan hanya kebaikanlah yang Dia kehendaki. Meskipun baik dan buruk keduanya adalah ciptaan-Nya dan karena keburukan itu pulalah manusia bisa mengenal kebaikan. Artinya, baik dan buruk sama-sama dari Allah, hanya saja Ia menekankan bahwa kebaikanlah yang diharapkan dari setiap hamba-Nya.

Tetapi jika mencermati struktur perintah ibadah puasa pada bulan Ramadan yang secara nyata adalah kebaikan (rasyad), Allah ”menjauh” dari penisbahan seperti ketika mengambil ”jarak” dari keburukan di dalam Surah Jin tersebut. Sebab, dalam perintah berpuasa sebulan penuh di mana menurut sejumlah hadis Nabi banyak keutamaan bagi pelaku puasa selama ketika melakukan penuh keimanan dan ikhlas semata untuk-Nya, Ia tidak ”menampakkan” diri secara tegas selaku pemberi perintah.

Jika merujuk kepada pernyataan seorang profesor filsafat tersebut, menurut saya lantaran Allah menghendaki agar ibadah puasa —menurut Nurcholish Madjid—  di dalam sebuah bukunya terkait Ramadan sebagai penakluk nafsu— menjadi kesadaran setiap mukmin tanpa harus merasa bahwa hal itu semata-mata menjalankan perintah Allah. Sebab sesuai doktrin fikih jika seorang melakukan sesuatu sekadar perintah hanya akan melahirkan asas pemenuhan taklif (kewajiban) semata.

Dan, ketika itu sudah menjadi kebutuhan godaan apapun sudah pasti diabaikan. Di samping, anggota Satpol PP tidak perlu melakukan razia tempat remang-remang guna memaksanakan kesalehan umat. Keinginan Allah agar puasa menjadi kebutuhan hidup setiap mukmin bisa dimaknai pula bahwa setiap manusia khususnya mukmin bahwa hanya diri merekalah yang bisa mengendalikan aspek syaitaniyah dalam diri mereka yang berupa nafs ‘ammarah. Karena itu, dapat dimaknai pula hadis yang menyatakan bahwa setan dibelenggu adalah manusia itu sendirilah pembelenggu setannya sebagai akibat dari keimanan dan motivasi bahwa puasa memang kebutuhan hidupnya. (10)

— Dr Mahmudi Asyari, alumnus UIN Jakarta, peneliti dari ICIS Jakarta

Sumber: Suara Merdeka, 30 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar