Pages - Menu

28 Juli 2011

Indonesia: dari Paha Hingga Agama

Judul: Puisi dan Bulu Kuduk (perihal sastra dan budaya)
Penulis: Acep Zamzam Noor
Editor/Penyunting: Mathori A Elwa/Faiz Manshur
Pengantar: Jakob Sumardjo
Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung, Juli 2011
Harga: Rp 48.000

Buku ini merupakan kumpulan esai-esai sastra, bahasa dan budaya yang ditulis oleh seorang penyair kenamaan dari Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor.



Melalui proses kreatif yang mahir, sang penulis berhasil memotret fenomena kebudayaan nasional melalui paham yang dianutnya, yakni sastra. Sebagai sastrawan yang memiliki mindset berpikir universal, Acep mencoba melakukan rekonstruksi pemikirannya sendiri atas apa yang terjadi pada fenomena politik, budaya, agama dan seksualitas di Indonesia.

Puisi dijadikan sebagai judul merupakan simbolisasi dari bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi paling penting di dalam proses kebudayaan manusia. Sedangkan Bulu Kuduk merupakan simbolisasi perasaan di mana seseorang yang memiliki kepekaan tertentu seringkali bulu kuduknya merinding. Jadi puisi dan bulu kuduk kalau digabung bisa bermakna luas berupa fenomena bahasa nasional yang membuat banyak orang merinding.

Bulu Kuduk seseorang bisa merinding manakala melihat paha lawan jenisnya--sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa bagian esai di buku ini. Tetapi seseorang juga bisa merinding melihat perilaku orang beragama yang lakunya bertentangan dengan etika agama yang dipeluknya. Seseorang bisa merinding karena melihat banyak anak muda dengan idealisme yang kelewat gila, tetapi ia pun bisa merinding melihat banyak elit politik berpaham humanis dan bahkan religius tetapi perilakunya kelewat serakah, bahkan biadab.

Dengan memahami simbolisasi seperti itulah kita bisa menikmati kehebatan karya ini. Melalui ijtihad berpikirnya, Acep menawarkan banyak ide-ide brilian untuk melihat Indonesia, bahkan tak jarang memberikan solusi jenius. Cara pandang yang ditawarkannya berbasis kearifan batin dengan visi jauh “upaya memajukan dan memanusiakan” kehidupan berbangsa.

Ada banyak persoalan nasional selama 10 tahun terakhir yang dilihat oleh Acep. Beberapa naskah yang memotret persoalan nasional itu di antaranya: “Puisi, Posisi Saini, Sepuluh Sajak Goenawan, Cerpen-cerpen Puitik Danarto, Puisi Anggur Omar Khayam, Pesantren, Santri, Puisi, Bahasa, Identitas, Akar Tradisi, BRB , In Memoriam Irzadi Mirwan, Puisi dan Bulu Kuduk, Puisi dan Ketulusan Hati, Dari Pertemuan Kecil ke Pasar Bebas, Perlukah Sastrawan Indonesia Berserikat? Salju dan Nyanyian Bunga Mei, Para Penyair Salaf, Puisi yang Mengingatkan, Kidung Purnama, Kreativitas dan Pemicunya, Melati di Paha Yunis, Mengolah Realitas, Puisi dan Batu Akik, Sekitar Proses Kreatif Saya.”

Di tengah-tengah miskinnya tradisi penulisan kreatif berbentuk esai bermutu, Acep melalui penerbitnya berani menawarkan hal-hal baru. Para penyair, bahkan sastrawan secara umum harus diakui memang miskin dalam melahirkan karya bermutu. Acep adalah sedikit penyair yang selain mahir berpuisi juga mahir menulis esai bermutu.
Dari sekian manfaat bagi pembaca, saya menilai dua kelompok terpenting yang semestinya membaca buku ini. Pertama adalah guru dan dosen yang berhubungan dengan bahasa dan komunikasi. Melalui goresan pena yang didukung daya intelektualitas tinggi, sang penulis memberikan isi (konten) berupa ilmu pengetahuan yang baik untuk mengapresiasi sebuah karya. Murid-murid sekolah SMA dan mahasiswa sastra dan komunikasi akan mendapatkan banyak manfaat dari paradigma yang ditawarkan penulis.

Kedua, bermanfaat bagi para penulis. Para penulis, terutama penulis pemula, yang selama ini mengalami kebuntuan di masa-masa awal akan terbuka melalui cakrawala penggunaan bahasa, cara melihat objek/fenomena yang akana ditulis dan juga bagaimana seharusnya memilih topik dengan angle penulisan yang kokoh dan berkarakter. Lebih dari itu, para penulis juga akan mendapatkan dorongan agar berani keluar dari pakem-pakem penulisan formal yang menjebak proses kreatif.

Setelah membaca karya ini, sebenarnya kita tidak perlu ragu lagi menyebut Acep sebagai seorang pembaru dalam bidang sastra dan budaya. Ketajaman analisa dan daya intelektualitasnya lebih segar dari para sastrawan tua seperti Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, dan budawayan lain. Bisa disebut bahwa Aceplah yang saat ini mampu menjadi “empu”nya sastra di Indonesia.

Arifin Hakim. Peminat Kajian Sastra dan Agama. Tinggal di Cirebon.

Sumber: kompas, 25 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar