Cerpen Ramdhani Nur
Hantu Marlinah muncul pagi ini. Duduk di meja nomor empat. Dia memesan nasi goreng sosis dan es jeruk. Pemilik warung makan di situ terbengong-bengong. Mana mungkin sepagi ini harus menyiapkan nasi goreng dan es. Kalau mie rebus dan kopi panas pasti bisa. Tapi konyol rasanya melakukan penolakan pada sesosok hantu.
Karenanya dengan sigap sang pemilik warung segera meracik bumbu dan membeli es batu di toko H. Emed yang memiliki kulkas sendiri. “Buat siapa?” tanya Bu H. Emed. “Marlinah!” jawab pelayan itu. “Marlinah? Marlinah yang itu? Ah, masa sih?” “Bener, Bu Haji.” “Kira-kira mau apa ya dia muncul lagi?” herannya sambil membungkusi es batu ke dalam kantong kresek. “Mana saya tahu, Bu Haji!” “Ya sudahlah, ini!” Gin pun bergegas kembali.
Persis seperti tampilan kuntilanak yang ada di sinetron-sinetron, hantu Marlinah memiliki tampang yang menyeramkan tapi manis. Memang kombinasi yang tidak sepadan. Tapi cukup masuk akal, karena dulu Marlinah adalah seorang penyanyi. Meski tidak terkenal, tapi predikat artis sudah terlanjur disandangnya. Kecantikan rupa dan penampilan selalu dijaganya. Makanya tak heran, ketika setelah menjadi hantu pun Marlinah tetap saja cantik. Agak pucat dan kusam, tapi tetap cantik.
“Sudah jadi belum, Gin?” tanya hantu Marlinah memecah hening di warung nasi itu. Suaranya serak dingin. Agak berbeda dengan suara saat dia masih hidup. Begitu merdu dan menggairahkan. Mungkin ini akibat terlalu lama berada di dalam kuburan. “Sebentar lagi, Non!” getar Gin gelagapan. “Jangan terlalu pedes ya, Gin!” “Iya, Non!”
Gin memasukan kecap ke dalam penggorengannya. Memasak khusus untuk hantu kali ini sedikit membuatnya gugup. Takut hasilnya kurang enak. Yaa…bagaimanapun Marlinah sudah menjadi hantu. Sedikit kesalahan yang membuatnya tidak berkenan mungkin akan berakibat buruk buat Gin di kemudian hari. Bagaimana jika di suatu malam dia terbangun dan hantu Marlinah sudah ada di hadapannya siap mencekik, hanya karena nasi goreng yang terlalu pedas. Hiyyy!!!
“Kamu belum nikah juga Gin?” kali ini Gin benar-benar kaget dengan sapaan lembut hantu Marlinah ini. “Cepatlah menikah! Mau nunggu apa lagi? Warung kamu ini kan selalu ramai. Kamu pasti sudah bisa mengumpulkan banyak uang untuk biaya pernikahan kamu nanti.” Gin tersenyum. “Kamu pasti sudah punya calon kan?” Gin tersenyum lagi. “Belum punya juga? Hihihihihihi…!” tawa khas kuntilanak menggema dari mulut hantu Marlinah. Gin merinding. “Jangan terlalu pilih-pilih! Asalkan dia baik dan setia. Nikahi saja langsung! Wanita seperti itu sudah jarang ada saat ini Gin.”
Senyum Gin hampir pecah, kalau saja dia tidak ingat yang dihadapinya ini adalah hantu. Nasihat perkawainan dari sesosok hantu. Aneh sekali! Karena semasa hidupnya Marlinah sendiri belum pernah menikah. “Ini sudah jadi, Non!” Gin mendekat ke meja itu membawa nasi goreng sosis dan es jeruk. “Tunggu di sini sebentar, Gin!” pinta hantu Marlinah mendesah. Mungkin lebih tepatnya duduklah bersamanya dan menemaninya makan. Eitts…tambah begidig jadinya. Baru kali ini Gin duduk sedekat ini dengan hantu. Takut dan gemeteran pasti. Wajah cantik dan kelembutan hantu Marlinah pagi ini tetap saja tidak membuatnya bisa tenang. “Mas Kusno masih tinggal disini?”
Glek! Pasti soal ini! Pasti soal Kusno yang pernah dikabarkan berhubungan dengan Marlinah pada saat dia masih hidup dan pada saat-saat dia mati. Hm, Gin bisa menerka-nerka maksud pertanyaan itu. Karena berita yang tersebar selama ini Marlinah mati diracun Kusno. Yaah…gosip umumlah! Kusno tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan Marlinah dan dia tidak mau berita ini sampai ketahuan istri, keluarga dan masyarakat. Walaupun sepertinya itu sudah terlambat. Karena masyarakat di sini lebih percaya gosip dari pada pernyataan Kusno di depan polisi atau pernyataan polisi di depan masyarakat.
“Gin!” sapa hantu Marlinah setelah habis mengunyah sosis diantara nasi gorengnya. “Mas Kusno masih disini nggak?” “Euh…, mungkin Non sendiri sudah tau.” Sebuah jawaban yang terasa konyol. Gin berpikir mestinya hantu lebih tahu keberadaan orang yang dicarinya. Dia bisa mencari sendiri tanpa hambatan. Ingatlah hantu bisa masuk ke setiap rumah tanpa harus mengetuk pintu. “Hihihihihihihihi…!” tawa hantu Marlinah kembali menggelagar. ”Kamu pikir begitu ya?” Nah, dia bahkan tahu apa yang dipikirkan Gin. “Aku akan membunuhnya, Gin! Hari ini juga setelah sarapan. Aku cuma ingin memastikan kalau dia ada di sini hari ini. Biar pada saat aku membunuhnya nanti, istri dan keluarganya bisa melihat langsung.”
Gustiiiii! Benar kan? Makin serem saja. Gin gelagapan bukan main. Mungkin dia juga tidak sadar kalau saat ini celananya sudah mulai basah. Seolah-olah dia sendiri yang menjadi sasaran pembunuhan hantu Marlinah. “Jadi masih di sini, Gin?” kali ini mata Marlinah yang lebih terlihat merah itu sedikit melotot “I…iiya!” “Bagus!” selanya sambil menjauhkan piring kosong dan mulai menyeruput es jeruk. “Hmmm, kira-kira bagaimana aku harus membunuhnya ya, Gin?”
Aduh ini lagi! Kok pembicaraannya jadi ke arah situ. Kenapa tidak tanya saja pada pembunuh bayaran. Saya cuma pemilik warung makan, yang saya tahu hanya memasak, membuat bumbu dan minuman. Saya tidak mengerti soal bunuh membunuh. Tolonglah jangan sudutkan saya pada persoalan pribadi yang pelik ini. Begitulah kira-kira kalau Gin berani berbicara tegas pada hantu Marlinah. Tapi bagaimana bisa Gin ngomong seperti itu, saat ini untuk bernafas saja dia sudah tersengal-sengal.
“Pikirkanlah Gin! Tentunya kamu pernah dikhianati seseorang, pernah dikecewakan dan dicampakkan. Walaupun aku yakin kamu belum pernah dibunuh. Pikirkanlah sebuah upaya pembalasan yang layak untuk seseorang seperti itu! Bisa kan?” Gin menelan ludah. “Gin! Bisa kan?” “Euh…iya!” Gin telah terlanjur mengangguk. Hal bodoh telah dimulai. Gin sudah terjebak dalam pembicaraan ini. Bisa jadi ini karena kenangan cinta masa lalu, bahwa Gin pun pernah merasa dikhianati juga dalam hidupnya. “Gimana kalau dengan pisau, Gin? Pisau dapur misalnya. Saya gorok langsung lehernya…atau saya tusuk saja jantungnya. Lebih kejam yang mana Gin? Hmm, tapi saya lebih suka dengan cara menggorok. Bayangkan banyaknya darah yang keluar dari situ… Pasti keluarganya teriak! menjerit-jerit histeris” “Iiiitu…terlalu tragis!” Eehh…!! Ngomong apa dia? “Begitu ya?” hantu Marlinah termenung kemudian melirik lembut pada Gin. “Jadi bagaimana menurut kamu Gin?”
Gin menarik nafas panjang. Bibirnya komat-kamit hendak mengeluarkan kata-kata. Ada dilema disana. Lalu seperti menerima bisikan entah dari mana, tiba-tiba saja Gin bersuara. “Dengan tangan…”
Edan! Gin sudah edan. Kok bisa-bisanya dia terperosok dalam percakapan soal rencana pembunuhan gila ini, dengan sesosok hantu pula. Apa manfaatnya buat dia? “Maksudnya?” hantu Marlinah mendelik penasaran.
“Mungkin saya akan memilih membunuh dengan tangan,” jelas Gin kemudian. Ah, Gin pasti sudah kemasukan setan dari sisi gelapnya sendiri. Dia seperti menemukan inspirasi hebat soal rencana bunuh-membunuh ini.
”Saya tidak mau menggunakan alat lain untuk melampiaskan rasa sakit hati saya pada seseorang. Saya akan merasa puas kalau dengan tangan saya sendiri saya bisa menuntaskan dendam saya. Rasanya kita benar-benar bisa menikmati kemenangan saat tangan kita mencekik lehernya kuat-kuat. Puas menyaksikan wajahnya memerah kekurangan oksigen, atau tangannya yang meronta-ronta, kemudian lemas, kemudian pasrah dan akhirnya mati…” “Wow!” mata hantu Marlinah berbinar bundar. “Ide yang luar biasa Gin.
Rasanya saya akan memakai cara kamu. Makasih ya Gin!” Gin tersenyum. Gin yang sudah terbawa edan itu kini tersenyum. “Jadi saya harus membayar berapa?” tanya hantu Marlinah bersiap beranjak dari situ. “Nggak perlu bayar, Non! Dikunjungi saja saya sudah senang.” “Sungguh nih?” senyum hantu Marlinah memanja.
“Sekali lagi terima kasih ya, Gin!” Kemudian hantu Marlinah mendekat pada Gin. Dan cuuup! Satu kecupan mendarat di pipi Gin tanpa dia sadari. Satu kecupan dari hantu cantik. Serrrrr… tiba-tiba Gin terduduk lemas.
Tubuhnya kemudian seperti melayang ringan dan tenang.
* * * Besoknya koran-koran lokal santer memberitakan tewasnya seorang calon bupati dicekik oleh seorang pemilik warung makan yang kesurupan. *****
Cirebon, cerpen masa lalu
Sumber: Kompas, 25 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar