Pages - Menu

13 Juni 2011

Rekonstruksi Gerakan Pers Mahasiswa

  • Oleh Muhammad Noor Ahsin
DEWASA ini, geliat perkembangan pers mahasiswa (persma), di tiap kampus mengalami dinamika yang menggairahkan. Hampir semua kampus telah memiliki lembaga pers yang dikelola oleh para mahasiswa sebagai media informasi, wahana pengembangan kreativitas, dan ajang pertukaran ide.

Dengan pers mahasiswa, beberapa informasi kegiatan, kebijakan kampus, opini mahasiswa, dan informasi lainnya dapat disajikan, baik dalam bentuk buletin, tabloid, ataupun majalah kampus. Menu informasi yang dibuat dan diolah oleh para awak media kampus tentunya dapat berkorelasi positif terhadap perkembangan dinamika bagi kebebasan berkreasi dan bersuara para mahasiswa untuk menunjang demokratisasi kampus.

Mendidik Pembaca

Fungsi persma atau bisa disebut pers kampus di antaranya adalah sebagai media informasi kampus dan alat pengontrol kebijakan publik. Selain itu, persma juga berfungsi menjadi corong bagi perjuangan gerakan mahasiswa melalui jalur tulisan, karena eksistensi persma diakui mampu memengaruhi opini publik.
Untuk itu, pers mahasiswa sudah semestinya dapat meningkatkan peran untuk ikut mendidik warga kampus, lewat berbagai tulisan yang kritis dari berbagai disiplin ilmu. Pers berbasis idealisme, seperti pers mahasiswa, misalnya, tidak saja menampilkan tulisan-tulisan ilmiah kaku yang tidak aplikatif, namun diharapkan juga dapat menyajikan pemikiran kritis segar, agar dapat menggugah kesadaran moral dan dapat mencerdaskan pembaca tidak hanya warga kampus, tapi juga masyarakat luas.

Rekonstruksi gerakan pers mahasiswa tersebut sudah semestinya menjadi perhatian bersama, agar ke depan persma lebih banyak berperan untuk turut mendidik masyarakat pembaca secala lebih luas.
Menilik ke belakang, dengan pers, para tokoh kemerdekaan Indonesia dahulu juga melakukan gerakan dan perjuangan melalui tulisan untuk memengaruhi publik dan mendidik masyarakat dalam upaya memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Walaupun tingkat pendidikan mayoritas rakyat saat perjuangan kemerdekaan Indonesia masih rendah, para tokoh pergerakan bangsa sangat sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme, selain mimbar-mimbar persatuan. Dengan pers pula, pesan dan gagasan memiliki tingkat aksebilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional.

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari gerakan pers para tokoh kemerdekaan bangsa. Dengan pers, para tokoh bangsa dahulu sangat getol menyuarakan gagasan, aspirasi, dan ide-ide tentang nasionalime serta perjuangan melawan penjajah.

Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita didirikan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Posisi para tokoh kunci pergerakan kebangsaan Indonesia,  dalam struktur pers umumnya adalah pemimpin redaksi atau paling rendah adalah redaktur.  Sebagai contoh, HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu ’’guru pergerakan’’ adalah Pemimpin Redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa.

Tiga serangkai, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr Tjipto Mangunkusumo menukangi De Express. Selain itu, ada nama Semaoen, diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia.
Sebelum berkosentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hajar Dewantara adalah Pemimpin Redaksi Persatoean Hindia dan bahu membahu bersuara dalam majalah Pemimpin. Adapaun Soekarno menjadi Pemimpin Redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat.

Setelah pulang dari Belanda dan menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohmmad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi Pemimpin Redaksi Banteng, serta masih banyak lagi (Taufik Rahzen, 2007).

Peran Penting Persma

Hal di atas merupakan sedikit kisah tentang gerakan pers para tokoh bangsa pada masa prakemerdekaan. Gerakan pers yang dilakukan para tokoh kemerdekaan zaman dulu dengan gerakan pers mahasiswa tentunya memiliki banyak perbedaan. Akan tetapi, keduanya tentu memiliki kesamaan, di antaranya untuk menginformasikan berita, alat kontrol publik, dan mendidik pembaca.

Fungsi mendidik pembaca sudah semestinya dijadikan spirit utama bagi gerakan Persma untuk lebih berperan dan berkontribusi secama luas. Dalam menyajikan tulisan, sisi kreativitas, dan daya inovasi awak persma sangat dibutuhkan dalam menentukan tema suguhan peristiwa agar menarik dan layak diinformasikan.  (24)

—Muhammad Noor Ahsin SPd, mantan aktivis pers mahasiswa di Tabloid Nuansa BP2M Unnes, pendidik dan peneliti sosial di Madrasah Aliyah NU TBS, Kudus.

Sumber: Suara Merdeka, 11 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar