Oleh Citra Setiowidiah*
Cinta adalah ungkapan gejolak rasa takjub dan terpesona—baik itu ditujukan kepada sesama manusia, alam, maupun Tuhan. Sementara ketakjuban dan keterpesonaan adalah pengalaman rohani atas sebuah kesaksian atas apa yang dilihat, dirasa, didengar. Itulah kesan pertama saat membaca Kumpulan Puisi Handoko F Zainsam berjudul “Ma’rifat Bunda Sunyi: Tahajud Cinta Para Kekasih”.
Kita seperti diajak dan diseret untuk memasuki ranah-ranah keterpesonaan dan ketakjuban, baik antar sesama (kekasih hati), alam, dan Tuhan. Hal ini mengingatkan pada beberapa perjalanan para darwis atau para sufi menemukan hakikat cintanya. Di sinilah perayaan cinta itu dilakukan oleh para kekasih.
Dipilihnya puisi sebagai medium penyampai memang memiliki kekuatan yang cukup mapan untuk mengungkapkan segala kegelisahan perasaan dengan mengusung keindahan melalui perangkat bahasa; kata. Hal ini lantaran puisi merupakan salah satu medium yang mampu menyampaikan sebuah rekaman dan interpretasi pengalaman penting manusia yang diubah dalam wujud yang memiliki kesan kuat guna mengekspresikan pemikiran melalui pola penyampaian yang singkat dan padat.
Puisi juga mampu membangkitkan perasaan, emosi, dan imajinasi. Memiliki irama dan menggunakan kata-kata kias yang terikat oleh konvensi bahasa yang harus dipatuhi yang akhirnya menjadi identitas puisi itu sendiri menjadi indah. Namun, puisi juga kerap melakukan pemberontakan melalui sarana puitik; imajinasi yang mencoba melakukan berbagai siasat agar dapat sedekatnya mewakili dirinya.
Lantas, bagaimana dengan puisi “Ma’rifat Bunda Sunyi (MBS) karya Handoko F Zainsam ini?
Dari total 89 puisi yang terbagi menjadi 3 bagian pembabakan yakni, “Aku dan Gelembung” (48 puisi), “Ma’rifat Bunda Sunyi” (26 puisi), dan “Munajad Keabadian” (15 puisi) menjadi cukup menarik untuk mendekati karya ini melalui pendekatan hermeneutik—pendekatan dengan mengutamakan pembacaan karya sastra berdasarkan konvensi sastra setelah dibaca secara berulang-ulang (retroaktif).
Pembacaan hermeneutik merupakan sebuah kajian terhadap sistem sastra yang lebih mendalam. Dalam hal ini, pembacaan hermeneutik akan memfokuskan pada makna secara keseluruhan yang memiliki konvensi tertentu yakni ketidaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak meliputi penafsiran penggantian arti—kata-kata kiasan menggantikan arti sesungguhnya, terutama metafora. Sedangkan, penyimpangan arti dalam puisi tersebut tentu akan banyak sekali terdapat makna ganda (ambiguitas) dan kontradiksi baik dalam kata-kata, frase, dan kalimat sebagai efek pemaknaannya.
Kekuatan diksi dan mapannya konstruksi estetika sastra menjadi kekhasan Handoko F Zainsam dalam penyampaian di beberapa puisinya. Tengok salah satu puisinya yang berjudul Pendoa Yang Gagal yang cukup mapan pembangunannya. // Aku tak bisa berdoa sungguh malam ini untukMu / Karena aku tak mampu menghentikan / Tarian jantungku yang berputar cepat / Saat namaMu menguasai gerak rasa dan pikiranku //
Metafora yang dibangun sebagai tulang penyangga estetikanya, cukup tegas dalam mengaitkan seorang hamba yang begitu mencintai Tuhannya, sampai-sampai ia tak mampu berkata-kata setiap menyebut namaNya.
//Aku tak bisa berdoa sungguh malam ini untukMu/ mengandung makna seorang hamba Tuhan yang tak bisa berdoa, memohon, atau meminta. Baris ke-2, ke-3, dan ke-4 /karena aku tak mampu menghentikan / tarian jantungku yang berputar cepat / Saat namaMu menguasai gerak rasa dan pikiranku // mengandung makna yang keseluruhannya mengacu pada baris sebelumnya bahwasannya ia tak mampu melakukan apapun karena setiap menyebut nama Tuhan.
Dalam bait ke-1 baris ke-3 /Tarian jantungku yang berputar cepat/ adalah gaya bahasa personifikasi dan mengandung makna detak jantung yang berdebar kencang, maka tarian jantungku atau detak jantungnya berdebar kencang. Bahkan, ia tak mampu mengendalikan seluruh rasa dan pikirannya karena kuatnya rasa takjub dan terpesona kepada Tuhan.
Pada bait ke-2 // Aku tak bisa berdoa sungguh malam ini untukMu / karena keringat dinginku tak bisa ku hentikan / Saat jiwaku terselubung kilau cahaya / dan melebur dalam rasi bintang / yang bersarang di jagad belantara raya/ mengandung makna ketika menyebut nama Tuhan, keringat dinginnya keluar dan tak bisa dihentikan lantaran rasa takjub yang amat dahsyat.
Saat jiwaku terselubung kilau cahaya/ merupakan metafor dari jiwa yang begitu dekat dengan Tuhan sang pencipta alam. Jiwanya berubah menjadi kilauan cahaya yang begitu luas tak terbatas. Jiwanya ’bersarang’ di jagad belantara raya. Artinya, jiwanya berada di segenap pelosok semesta raya. Jiwa yang dimaksud adalah ruh yang telah Tuhan titipkan dan suatu saat nanti akan kembali. Maka sesungguhnya jiwa adalah milik Tuhan sendiri.
Hal ini mengingatkan saya pada para pecinta atau para sufi yang begitu terpesona ketika ia berulang-ulang menyebut nama Tuhan. Seperti layaknya Jalaluddin Rumi, ia menemukan perasaan itu ketika ia bergerak memutar dalam tariannya; sama’.
Dalam konstruksi sastra (estetika puisi) penyimpangan arti terjadi bila dalam puisi ada ambiguitas dan kontradiksi. Kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda atau menimbulkan banyak tafsiran. Hal ini tertuang dalam bait ke-2 baris ke-5 pada kata /jagad belantara raya/ dapat diartikan alam semesta, bumi, langit dan isinya, tempat yang luas dan liar, dan lain sebagainya.
Bait ke-3 //Sungguh aku pendoaMu yang gagal / lantaran dalam ruangku / tak kutemukan siapa-siapa; selain aku!/ mengandung makna seorang hamba yang tidak dapat meminta apapun lagi ketika jiwanya telah dekat pada Tuhan karena tujuan utama dalam hidup adalah mencari ridha Tuhan. Di sinilah sesunguhnya esensi yang dicapai; penyatuan—yang dalam baris terakhir dituliskan tak kutemukan siapa-siapa; selain aku!
Dari keseluruhan pembacaan baris per baris, bait per bait dalam puisi Pendoa Yang Gagal ini dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang lelaku seorang hamba yang beriman kepada Tuhan dengan sungguh atau dengan seluruh. Ketika jiwanya yang sudah terasa dekat, dan bahkan seakan merasa menyatu dengan Tuhan, maka tidak ada keinginan yang hendak diutarakan lagi kepada-Nya. Karena ketika jiwa telah mendekat kepada Tuhan, maka seseorang tidak membutuhkan apa-apalagi sebab yang dicari telah didapatkan yaitu ridha Tuhan yang Maha Esa.
Pendoa yang Gagal adalah salah satu puisi yang sarat dengan kekuatan kata dan makna yang terangkai dalam keindahan bahasa—hal ini juga terdapat dijumpai dalam “Sajakku Pecah O Badai Darah”, “Sajak Cinta Untuk Dia (Menuak Kau! Aku! dan Tu(h)an)”, “Munajad Keabadian”, dan lainnya yang keseluruhannya terkumpul dalam “Ma’rifat Bunda Sunyi” ini.
“Ma’rifat Bunda Sunyi” merupakan kumpulan puisi yang menggambarkan pemahaman sebuah realita hidup manusia tentang cinta, rasa kemanusiaan, agama, seni, dan negara yang diramu menjadi satu dalam konteks perayaan cinta para kekasih.
Cinta para kekasih akan memberikan kedamaian dalam menjaga keharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Kehidupan sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya akan menjadi tertata jika dialirkan perasaan saling mencintai dan menyayangi. Pesan yang sangat kuat yang juga terdapat dalam judulnya, Ma’rifat Bunda Sunyi. Kata ‘Ma’rifat’ memiliki penyerahan diri.
Kata ‘Bunda’ memiliki keterkaitan erat dengan sosok yang sangat dekat dengan rasa cinta dan kasih sayang. Sedangkan ‘Sunyi’ adalah kondisi yang sangat sarat dengan nuansa kontemplasi dan perenungan.
Membaca MBS adalah membaca cinta para kekasih yang meluap-luap yang melahirkan kepasrahan, penyerahan, kasih sayang, dan perenungan. Menjadi pencapaian yang indah ketika seluruh umat manusia mampu menjalankan dan mengemban amanah cinta dan mencintai, sayang dan menyayangi. Di sinilah, seperti yang pernah disampaikan penulisnya, penyair hanyalah pengabar atas kegelisahan hati sebagai wujud tanggap terhadap kejadian-kejadian yang ada disekitarnya. “Dan saya hanyalah pengabar!”
Palembang, 1 Juni 2011
* Citra Setiowidiah, Lahir di Palembang, 17 Februari 1989. Sekarang sedang menyelesaikan tugas akhir di Universitas PGRI Palembang, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sumber: Kompas, 6 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar