Pages - Menu

04 Juni 2011

Nostalgia Kepemimpinan Pak Kalla

Judul Buku: "Pak Kalla dan Presidennya"
Penulis: Wisnu Nugroho
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetak: Pertama, Februari 2011 
Tebal: xviii + 204 halaman
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*

Setelah bergulirnya Tetralogi Sisa Lain SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), kini sosok Pak Kalla (Jusuf Kalla) menjadi obyek bahasan Wisnu Nugroho. Pun, sama seperti buku sebelumnya, buku yang mengupas sisi lain dari Pak Kalla ini juga berisi banyak hal yang luput dari pemberitaan media massa.

Apa yang terpikirkan pertama kali dari sosok Pak Kalla, menurut sebagian masyarakat, adalah Pak Kalla yang cekatan. Tidak lamban ketika mengambil keputusan. Penuh dengan inovasi dan berbagai terobosan.


Pak Kalla memang terkenal akan kecekatannya. Cepat dalam mengambil keputusan untuk sebuah kebijakan yang tidak populer sekali pun. Tidak lamban. Walau cepat dalam mengambil keputusan, toh, bukan berarti beliau tidak berpikir untung-ruginya. Untuk soal itu, janganlah diragukan lagi karena Pak Kalla adalah seorang pengusaha sejak mudanya.

Kecekatannya juga bisa dilihat dari gerak-geriknya ketika menjadi pembicara di berbagai tempat. Pembawaannya yang tidak kaku dan juga tidak terlalu formal menguntungkan dirinya untuk lebih leluasa menyapa para audiens. Jarang kita saksikan Pak Kalla berpidato dengan menggunakan naskah pidato yang telah disiapkan oleh "tim back-up naskah pidato’. Pak Kalla justru kerap mencampakkannya karena substansi naskah pidato hanya merupakan copy dan paste dari pidato-pidato sebelumnya yang selalu sama dalam berbagai acara sekali pun.

Beliau juga lebih komunikatif dalam pidatonya. Para audiens justru merasa senang karena gaya pidato yang semacam itu tidak membosankan. Untuk soal ini, kita tentu tidak pernah menjumpai Pak Kalla marah-marah karena semisal ada audiens yang tertidur tidak mendengarkan pidato beliau.

Terkait urusan pidato serta tanya jawab, Pak Kalla selalu mengenakan dua benda ”keramatnya”: bolpoin dan notes yang seukuran telapak tangan dewasa untuk menampung pertanyaan yang diajukan kepadanya. Soal bolpoin, sebagian dari kita mungkin kaget. Pasalnya, bolpoin yang digunakan Pak Kalla adalah bolpoin yang harganya terlalu terjangkau untuk semua kalangan. Bolpoin Pak Kalla bukan sebuah bolpoin yang sering diiklankan oleh majalah-majalah impor yang lazimnya dikoleksi para elite negeri ini.

Kenangan lain dari Pak Kalla adalah sifatnya yang humoris. Di setiap pidatonya, beliau tak pernah lupa menyisipkan selera humornya yang tinggi. Tawanya selalu mengembang. Sayang sedikit, intonasi berbicaranya terlalu cepat sehingga tak jarang membuat audiens sukar mencernanya.

Jumpa pers yang biasanya kita temukan kaku dan terlalu formal menjadi nihil ketika bertempat di Istana Wapres setiap selepas shalat Jumat. Sebaliknya, ajang "ger-geran" khas Pak Kalla pun menjadi makanan wajib para kuli tinta selain jamuan berupa nasi kotak tentunya. Wartawan bebas bertanya apa saja.

Pertanyaan yang akan diajukan kepada Pak Kalla pun juga tidak diatur-atur. Maka, tak heran jika hari Jumat, para wartawan Istana Wapres kerap kebanjiran berita karena banyak sekali pernyataan Pak Kalla yang terlontar. Saking penuh tawa dan nuansa keakraban, jumpa pers rutin ala Pak Kalla dipelesetkan oleh penulis buku dengan istilah jumpa canda.

Cara Pak Kalla dalam menghadapi pengunjuk rasa juga perlu diapresiasi. Sewaktu Hari Buruh, seperti biasa, ribuan buruh mendatangi Istana Merdeka untuk bertemu RI-1 guna menuntut kesejahteraan. Nah, karena Istana Presiden waktu itu kosong ditinggal penghuninya, ribuan pengunjuk rasa yang diliputi kekecewaan karena tidak bisa bertemu RI-1 kemudian langsung menuju Istana Wapres (hal 121).

Di sana Pak Kalla ada di tempat dan langsung menyambutnya. Beliau menawarkan dialog. Kemudian beliau mempersilakan perwakilan pengunjuk rasa masuk Istana Wapres untuk menyampaikan aspirasinya. Hal yang sama beliau lakukan saat pengunjuk rasa menghadang kedatangannya ketika meninjau korban bencana Situ Gintung. Bukannya menghindar, beliau justru menghampirinya lalu mengajak berdialog dengan mereka.

Hal yang paling penting dari buku yang dianggap oleh penulisnya sendiri menyajikan informasi yang kurang penting ini adalah bagaimana peranan Pak Kalla yang besar dalam menghadapi pelbagai permasalahan bangsa waktu itu. Rasanya beliau pula yang secara langsung mempraktikkan bahwa keberadaan wakil presiden bukan sekadar lagi sebagai ban cadangan, melainkan ibarat sebagai ban mobil sebelah kiri yang fungsinya sama sejajar dengan ban sebelah kanan (presiden).

Setidaknya hal itu tergambar ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) lebih dari 100 persen dan tatkala ketika menghadapi para pengunjuk rasa: baik unjuk rasa kenaikan harga BBM tersebut maupun unjuk rasa kaum buruh. Di situlah keberadaan Pak Kalla sebagai Wapres benar-benar terasa.

Terakhir, soal cara kerja Pak Beye dan Pak Kalla, di bagian akhir buku ini telah menyuguhkan pertanyaan yang cukup nakal: (jadi, di antara dua tokoh ini), siapa pemimpin sesungguhnya?  Kita semua tentu tahu jawabannya.   *Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Sumber: Kompas, 31 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar