Susianah Affandy - detikNews
Tiap 5 Juni kita merayakan Hari Lingkungan Internasional. Dalam perayaan hari lingkungan tahun 2011 ini, sudah saatnya Indonesia menunjukkan komitmen pelestarian lingkungan kepada dunia internacional sebagai salah satu capaian program pembangunan millinium 2015.
Sebab dalam hemat penulis permasalahan lingkungan mulai dari pemanasan global, jual beli karbon dan degradasi lahan tak bisa diatasi secara parcial dan sektoral tanpa melibatkan keterhubungan satu negara dengan negara lain.
Kita bisa mengambil contoh, ketika kebakaran hutan terjadi di Kalimantan akibatnya dirasakan langsung oleh negara tetangga. Begitupun ketika lautan negara-negara tetangga tercemari oleh limbah juga dirasakan langsung oleh Indonesia.
Meningkatkan kelestarian lingkungan hidup selain menjadi salah satu issu utama dalam pencapaian target pembangunan milenium, juga merupakan program yang mendapat perhatian banyak pihak selama dua puluh tahun terakhir.
Pemerintah men "drive" langsung secara teknis gerakan hijau, gerakan menanam sejuta pohon dan sejenisnya diselenggarakan tak hanya bertopang pada satu kementrian namun juga melibatkan intansi lain di jajaran pemerintah.
Selain itu Pemerintah juga secara tegas mewajibkan BUMN dan sector swasta agar memperhatikan aspek pembangunan sosial menjadi bagian dalam perencanaan perusahaan. Bagaimana efektifitas gerakan hijau tersebut?
Politik Pengelolaan Lingkungan Hidup
Tak hanya Indonesia, upaya melestarikan lingkungan di Negara-negara sedang berkembang berangkat dari kesadaran bahwa degradasi lingkungan disebabkan ulah manusia.
Kesalahan perilaku manusia kepada lingkungannya berakar dari kesalahan cara pandangnya tentang dirinya sendiri, alam dan hubungan manusia dan lingkungannya.
Oleh karena itu menurut Keraf (2010), untuk mengatasi dan melestarikan lingkungan hidup saat ini harus dimulai dari perubahan cara berfikir atau cara pandang dan perilaku manusia kepada lingkungannya.
Kesadaran menjaga keseimbangan pembangunan ekonomi dengan tetap melestarikan lingkungan sebenarnya sudah ada sejak adanya deklarasi dan perjanjian internasional melalui Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nation Conference on Environment and Development) di Rio de Janiero pada 1992.
Namun pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan penerapan modernisasi dalam kebijakan di negara berkembang menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di Ibu pertiwi ini melalui beroperasinya perusahaan-perusahaan multinasional sehingga mengabaikan kelestarian lingkungan.
Dalam perjalanannya, pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menjadi kendala serius untuk menjaga komitmen dan menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan.
Ambisi manusia untuk mengekspolitasi alam berwajah pembangunan adalah faktor utama yang menenggelamkan komitmen untuk menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan.
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di Ibu pertiwi ini melalui beroperasinya perusahaan-perusahaan multinasional.
Dan sumber daya alam adalah komponen berkembangnya kapitalisme yang di poles oleh negara barat dengan wajah lain "pembangunan" selain komponen lain yakni sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi (Susianah, 2010).
Jika dirunut ke belakang, rupanya kita sebagai bangsa memiliki sejarah panjang dalam mengeksploitasi lingkungan khususnya hutan produksi.
Hadirnya undang-undang atau kebijakan tentang lingkungan yang berorientasi pada ideology pengawetan dan konservasi kerap bertabrakan dengan ideology pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang juga memiliki legitimasi politik.
Kita bisa merunut sejak masa penjajahan sampai pemberlakuan otonomi daerah, semua kebijakan masih mengedepankan ekonomi politik. Di masa penjajahan Belanda terdapat UU Agraria 1870 yang mengatur semua hutan adalah milik Negara untuk kepentingan Negara
Dalam konteks ini sangat nyata bagaimana kepentingan masyarakat local terpinggirkan sehingga menimbulkan pergolakan kaum tani (khususnya Jawa).
Pasca kemerdekaan, lahirnya PP no 64/1957 yang mengatur kewenangan pejabat Provinsi dalam mengelola sumberdaya hutan, UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, UU no 5/1967 (Undang-undang Pokok Kehutanan), di sana ada peran aktif militer baik di tingkat pusat sampai tingkat Kabupaten. Pengelolaan hutan produksi menjadi lahan bisnis yang basah kelompok militer dengan tameng "perlindungan politik" bagi pengusaha swasta.
Ideologi konservasi sumberdaya alam hayati beserta ekositemnya sebenarnya menjadi salah satu ruh UU No 5/1990. Dalam UU tersebut pemerintah memiliki otoritas menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata sebagian atau seluruhnya dengan pertimbangan kelestarian sumber daya alam hayati.
Selain mendapat pertentangan keras dari masyarakat lokal yang akses atas sumberdaya alamnya terhambat, undang-undang ini juga sangat bertolak belakang dengan undang-undang yang hadir belakangan. Dalam UU 41/1999 jo UU No 19/2004 dan PP no 6/2007, nampak jelas kepentingan ekonomi pasar mendominasi kepentingan kelestarian alam.
Perkembangan selanjutnya pelaksanaan otonomi daerah dalam pandangan penulis justru melahirkan eksploitasi lingkungan hidup berkali lipat ketika masih bersifat sentralisasi. Para raja-raja kecil di daerah (baca : bupati) dalam prakteknya telah melakukan "pungli" kepada pemegang HPH. APHI (2001) mencatat biaya pengurusan ijin mencapai 43% dari keseluruhan biaya operasional.
Arah Gerakan Hijau
Akibatnya dari berbagai evaluasi upaya pelestarian lingkungan melalui gerakan hijau di Indonesia, seringkali hanya dimanfaatkan oleh para elit khususnya elit politik untuk mengkampanyekan partai dan golongannya sebagai gerakan yang pro rakyat.
Gerakan hijau menjadi sebuah gerakan yang populis karena gerakan ini menentang upaya-upaya eksploitasi lingkungan untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan pembangunan ekonomi. Gerakan hijau juga dikenal sebagai gerakan yang menjunjung tinggi keadilan sosial karena meletakkan keberpihakan kepada rakyat sebagai asasnya.
Gerakan hijau yang terpusat pada bangsa "laki-laki" sebagai aktornya di daerah-daerah tanah air banyak yang berakhir sia-sia. Gerakan hijau tidak menuai hasil karena hanya mengedepankan sisi seremonial dan bersifat sporadis.
Gerakan hijau yang dimotori pemerintah ini kemudian mengundang praduga para aktivis sosial sebagai gerakan yang hanya bertujuan untuk menarik simpati masyarakat karena seringkali selesai pada proses tanam tanpa dibarengi kegiatan perawatan tanaman.
Banyak sekali tanaman yang mati sia-sia karena tidak mendapat perawatan. Program hijau juga seringkali berakhir dengan dipenjarakannya penanggung jawab proyek yang telah terbukti memanipulasi data dan laporan keuangan yang banyak mendapat mark up.
Kita patut memberikan apresiasi kepada pemerintah yang dipimpin oleh SBY, di mana dalam gerakan hijau tidak lagi terpusat pada pemerintah dan bersifat top down. Pemerintah menggerakkan semua elemen baik itu perusahaan, LSM, perguruan tinggi, ormas sampai perempuan di pedesaan dalam gerakan hijau yakni;
Penanaman 1 milyar pohon, Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Indonesia Menanam dengan semboyan "Kecil Menanam, Besar Memanen", "Tebang Satu Tanam Seribu", serta "Santri Menanam, Kyai Memanen, Anak dan Cucu Memanen", "Duta Tanam Sekolah". Namun gerakan hijau tidak akan bermakna jika kasus illegal logging yang melibatkan hubungan antar negara untuk kepentingan ekonomi politik secara hukum tidak mampu ditanggulangi.
Dalam banyak kasus, illegal logging banyak melibatkan pejabat lokal, pusat, aparat keamanan dan pengusaha dari negara lain. Inilah tugas berat Indonesia yang saat ini mendapat mandat pemimpin ASEAN harus mampu memberi komando yang tegas kepada negara-negara ASEAN terhadap komitmen mewujudkan pencapaian pelestarian lingkungan hidup bagi kehidupan yang berkelanjutan.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB
Sumber: DetikNews, 5 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar