Pages - Menu

29 April 2011

Peringatan Hari Buku Sedunia 23 April Hadiah buku untuk anak


  UNESCO menentukan Hari Buku Sedunia pada 23 April untuk menghormati penyair asal Inggris, William Shakespeare, yang meninggal pada tanggal tersebut.
Salah satu karyanya yang menembus zaman dan sering diperbincangkan adalah Romeo and Juliet.

Semua tentu sepakat bahwa buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Buku bahkan disebut sebagai jendela dunia. Masalahnya, mengapa kita sering mengeluh soal rendahnya minat baca masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan generasi muda? Kita tahu manfaat membaca tetapi mengapa tidak bergegas meraih sebuah buku dan mulai menikmati isinya?

Soal minat baca memang menjadi keprihatinan bersama karena dari sanalah muasalnya orang menyukai buku. Anthony Dio Martin di rubrik Motivasi harian ini (Selasa, 12/4) mengatakan bahwa membaca adalah persoalan motif. Dio Martin memberikan ilustrasi dengan skenario menarik, “Ada seseorang sedang menderita penyakit yang sebentar lagi akan merenggut nyawanya. Pada hari itu, ia menerima sebuah buku tebal yang diberikan oleh seseorang yang mengatakan bahwa kunci untuk menyelamatkan nyawanya ada di buku itu. Saya berani bertaruh, kecuali orang itu sama sekali tidak peduli dengan nyawanya lagi, akan langsung membaca buku tersebut agar bisa menyelamatkan nyawanya.” Dio Martin benar dengan ilustrasi ini. Untuk membangkitkan minat baca, bangkitkan motifnya dulu.

Budaya buku

Sebagai ibu rumah tangga, saya sangat berkepentingan agar anak-anak saya menyukai buku. Anak-anak yang menyukai buku tentu memiliki minat baca dan lebih mudah untuk belajar. Jepang sering dijadikan contoh sebagai negara yang warganya yang gemar membaca karena anak-anak sejak usia dini (usia 2-3 tahun) sudah diperkenalkan dengan buku. Namun, menurut hemat saya, usia terbaik untuk memperkenalkan buku pada anak adalah sejak dalam kandungan ibu. Mulailah membacakan buku cerita sambil mengelus perut tempat si jabang bayi dikandung. Bukankah suara ibu yang kali pertama dikenal oleh bayi ketika lahir? Bayi berusia 5-6 bulan dalam kandungan sudah bisa mendengar dan pertama yang ia dengar tentu suara ibunya. Dan memang benar, bayi yang baru lahir yang belum bisa melihat akan bereaksi bila mendengar suara ibunya.

Ketika bayi kita belajar memegang, berikanlah buku. Di toko buku tersedia buku-buku mini dari kertas tebal sehingga tidak mudah robek oleh tangan anak. Tema binatang, alfabet, cerita tentang Winnie The Pooh dan masih banyak lagi buku-buku mini yang sesuai untuk anak Batita (bawah tiga tahun) dan Balita kita.

Ibu-ibu rumah tangga sering mengeluh soal harga buku yang mahal. Ini menjadi kendala. Namun, saya melihat banyak orangtua yang mampu membelikan aneka mainan yang harganya mahal untuk anak-anaknya. Kenapa mainan, bukan buku? Mengapa hadiah ulang tahun untuk anak-anak bukan berupa buku? Pada hal orangtua sering kali mampu memberikan hadiah dengan harga puluhan ribu bahkan ratusan ribu rupiah.

Membangun budaya buku memang dimulai dengan mengadakan buku di rumah kita. Cobalah kita mengubah kebiasaan membelikan mainan, diganti dengan buku untuk anak-anak kita. Anak-anak kita akan menjadikan buku sebagai teman bermain. Buku menjadi sesuatu yang menyenangkan apalagi kalau kita selalu menemani mereka sambil membacakan cerita.

Lingkungan keluarga memang menjadi tempat utama dan terpenting untuk membangun budaya membaca. Kita suka menonton televisi karena di ruang keluarga tersedia televisi. Bagaimana televisi di rak diganti dengan buku-buku? Bila hanya itu adanya, mau tak mau tangan anak-anak kita akan meraih buku dan membaca. Sekali lagi, ini soal lingkungan. Apakah suasananya memang memungkinkan anak-anak kita menemukan buku dalam rumah?

Kalau orangtua suka membaca, besar kemungkinan anak-anak akan meniru. Anak-anak mudah untuk meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Sebab itu, bila ingin anak-anak kita gemar membaca, kita pun harus suka membaca.

Membaca dan prestasi

Kebiasaan mendongeng dan membacakan buku cerita semakin menghilang sebagai kebiasaan keluarga. Bahkan anak-anak sering tertidur di depan televisi untuk menemani orangtua mereka yang masih menonton acara televisi. Tidak heran bila suara yang masuk dalam bawah sadar anak-anak kita adalah suara dari televisi. Bagaimana bila suara dari televisi adalah horor, amarah, kekerasan dan kebencian? Kita hanya menunggu waktu untuk memanen apa yang kita tanam pada bawah sadar anak-anak kita.

Buku dan budaya membaca dalam keluarga bisa kita bangun dan ciptakan. Buku dan membaca dalam keluarga harus dilakukan terus menerus agar menjadi kebiasaan. Kebiasaan itulah yang tumbuh menjadi budaya. Inilah awal bagi lahirnya budaya membaca. Anak-anak yang mengenal buku sejak dini, bahkan sejak dari kandungan ibu, terbuka kesempatan bagi mereka untuk bisa membaca lebih awal. Anak yang mampu membaca lebih dini sebelum masuk SD akan lebih mudah menyerap pelajaran di sekolah sehingga prestasi belajar anak menjadi lebih baik.

Sebuah survei dari International Educational Achievement (IEA), menempatkan kemampuan membaca anak-anak SD di Indonesia pada urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Rendahnya kemampuan membaca anak SD disebabkan tak adanya budaya membaca dalam keluarga. Orangtua sangat ingin agar anak-anak kita berprestasi di sekolah. Sebab itu, kita perlu menyiapkan buku-buku bacaan sesuai usia mereka di rumah. Demikian juga contoh dari orangtua dan lingkungan yang memungkinkan berkembangnya budaya membaca harus disiapkan. Sebagai orangtua, kita berkepentingan untuk mencetak generasi yang pandai, berilmu dan berakhlak mulia. Semuanya ada pada buku dan kuncinya adalah minat baca yang meluap-luap. - Oleh : M Tri Murjanti Ibu rumah tangga dua putra (Solo Pos, 23 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar