Oleh Alois A Nugroho
Plagiarisme ternyata tidak hanya terjadi di negeri-negeri dengan tradisi akademik yang belum kukuh. Skandal plagiarisme terkini tengah melanda Jerman dan Inggris, dua negeri yang memiliki rekam jejak akademik yang kukuh dan panjang.
Karl Theodor zu Guttenberg, anak ajaib dalam dunia politik Jerman, pada 1 Maret 2011, terpaksa mundur sebagai menteri pertahanan sesudah kontroversi yang membuat namanya diolok-olok koran Tageszeitung Berlin sebagai Googleberg.
Di Inggris skandal plagiarisme telah menyebabkan The London School of Economics terancam diplesetkan menjadi The Libyan School of Economics.
Nonakademisi
Yang menarik ialah kedua kasus plagiarisme akademis itu menyangkut tokoh-tokoh yang tidak pertama-tama dikenal sebagai akademisi.
Karl Theodor zu Guttenberg ialah politisi muda (39), keturunan bangsawan, karismatis, berbakat, dan disebut-sebut sebagai calon pengganti Angela Merkel. Pada 23 Februari 2011 Universitas Bayreuth mencabut gelar doktor dalam ilmu hukum, yang pada 2007 diperoleh anak ajaib Jerman itu sesudah lima tahun menduduki kursi parlemen.
Kasus itu mulai terbuka setelah pada 16 Februari 2011 sebuah koran Jerman memberitakan bahwa karya akademis yang bersangkutan mendasarkan diri pada koran-koran Jerman dan pada situs Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat tanpa menyebut sumber-sumber itu.
Para pemirsa stasiun televisi Al Jazeera dan CNN hari-hari ini juga dikejutkan oleh kaitan antara putra mahkota Khadafy dengan The London School of Economics. Saif al-Islam ternyata alumnus LSE yang belajar di sana antara 2003 dan 2008, meraih MSc dan kemudian PhD. Karena sering disorot media, para pemirsa tahu bahwa judul disertasinya adalah The Role of Civil Society in the Democratization of Global Governance Institutions dengan dibimbing oleh nama besar dalam pemikiran globalisasi, Profesor David Held.
Selain kasus dana penelitian yang mengalir dari Libya ke LSE, tuduhan plagiarisme juga membayangi disertasi sang putra mahkota. Saif al-Islam diduga menggunakan ghost writer dan penelitiannya mungkin tidak dilakukan sendiri.
Para penyandang gelar akademis yang dipersoalkan dalam kedua kasus ini tidak bekerja di bidang akademis. Kalau begitu, apakah kaidah-kaidah etika akademik sebagaimana diperikan oleh Edward Shils berlaku pula untuk para politisi, tentara, selebriti, pebisnis, dan lain-lain yang bergelar akademis?
Ada yang cenderung menjawab ”tidak”. Ibu Kanselir Merkel, misalnya, membela mati-matian posisi menteri pertahanannya, bahkan hingga dua minggu sesudah kasus Googleberg meledak di media. Menurut dia, kinerja zu Gutttenberg sebagai politisi tidak dipengaruhi oleh kinerja akademisnya. Ia juga mengingatkan, yang ia rekrut adalah zu Guttenberg sebagai politisi, bukan sebagai asisten peneliti.
Namun, ada juga yang menjawab ”ya”. Paling tidak, ini terlihat dari protes yang terus mengalir. Seperti diberitakan Christian Science Monitor, 51.500 sarjana mengirim petisi kepada Merkel untuk memberhentikan menteri pertahanan itu. Profesor Neugebauer dari Freie Universitaet Berlin menyatakan bahwa kejadian ini merupakan tonggak sejarah ketika seorang politisi dimakzulkan bukan oleh ulah para politisi lain, melainkan oleh keprihatinan para akademisi.
Etika akademik
Ada dua alasan untuk bersikap bahwa gelar akademis yang disandang para tokoh nonakademis itu tidak sah bila terbukti bahwa gelar itu diperoleh dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh etika akademik.
Pertama, pada waktu mengerjakan karya ilmiah, mereka adalah anggota civitas academica. Dengan demikian, pembuatan karya ilmiahnya terikat oleh etika akademik. Tidak mematuhi etika akademik berarti menanggung risiko untuk diragukan integritasnya dalam berbagai aktivitasnya: politik, bisnis, militer, LSM, dan sebagainya.
Kedua, pada umumnya para tokoh nonakademis yang bergelar akademis itu memperoleh manfaat dari gelarnya, terutama untuk menaikkan pamornya. Dalam kasus Googleberg, menteri pertahanan dengan gelar doktor tentu lebih bernilai dibandingkan dengan menteri pertahanan lulusan strata satu atau dua.
Wakil rakyat atau pejabat eksekutif bergelar doktor akan memiliki citra lebih kuat dibandingkan dengan yang bergelar master, yang bergelar master lebih tinggi nilainya dibanding dengan yang bergelar sarjana, dan seterusnya.
Kalau tidak percaya, lihat saja papan-papan dan poster-poster kampanye politik kita sampai ke pelosok-pelosok desa, yang dipenuhi oleh foto lengkap dengan gelar akademis berderet-deret. Kalau gelar akademis tidak terlalu relevan, seperti kilah Ibu Merkel, tentu tidak ada gunanya memajang deretan gelar itu.
Karena pada kenyataannya gelar akademis relevan bagi kerja politik dan bisnis, cara perolehannya pun relevan pula untuk dipersoalkan.
Siapa tahu, gelar akademis itu hasil jual beli. Siapa tahu, karya ilmiahnya hasil jual beli. Siapa tahu, saat menulis memakai metode copy and paste. Siapa tahu, penelitiannya disubkontrakkan. Bahkan, siapa tahu yang tanda tangan di presensi kuliah juga sekretaris atau ajudannya.
Kondisi pascamodern
Kondisi pascamodern oleh Fredric Jameson dikritisi sebagai zaman kapitalisme lanjut. Kapitalisme lanjut memperdagangkan banyak hal yang dulunya tidak dianggap sebagai komoditas. Maka, kegiatan sosial budaya yang namanya pendidikan, sekarang ini, menjadi kegiatan ekonomi yang namanya industri jasa pendidikan. Gelar akademis ikut menjadi barang dagangan.
Kalau sebelumnya yang disebut ”benda modal” itu uang atau mesin yang dapat dipakai untuk berproduksi, Bourdieu mengajak kita untuk melihat jenis-jenis modal lain dalam kondisi pascamodern. Bagi para politisi, pebisnis, tentara, dan selebriti, gelar akademis tampaknya menjadi semacam modal simbolis yang dapat menaikkan pamor mereka.
Karena kemajuan teknologi membuat gelar akademis tidak harus mengacu lempang pada usaha ilmiah, pada tirakat masa kini, pada diskursus ilmiah yang dijalankan di ruang-ruang akademis, maka ada banyak dampak yang bisa terjadi.
Gelar akademis lalu hanya menjadi label yang gagah, yang tak selalu mencerminkan berapa banyak otak sendiri diperas, keringat sendiri dikucurkan, air mata sendiri diteteskan dalam kerja ilmiah untuk memperolehnya. Begitulah, gelar akademis menjadi apa yang oleh Jean-Baudrillard disebut sebagai simulakrum.
Bangsa ini sudah menyoroti plagiarisme yang dilakukan oleh para akademisi, baik dalam kerja ilmiah mereka maupun dalam aktivitas mereka sebagai intelektual publik. Kini sudah waktunya kita menyoroti keabsahan gelar-gelar akademik dari para tokoh nonakademisi. Perekrutan politisi sebaiknya memerhatikan aspek ini.
Alois A Nugroho Profesor Filsafat/Etika di Fakultas Ilmu Administrasi dan Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya Jakarta; Staf Senior pada Pusat Pengembangan Etika
Sumber: Kompas, 12 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar