Oleh: Robertus Robet
Pengantar
Librisida atau ‘pembunuhan terhadap buku’ memiliki sejarah panjang di dunia.[2] Terdapat beragam sebab dan latar belakang mengapa buku dilarang dan dihancurkan. Majalah Times mengungkapkan bahwa di dunia barat ‘tradisi’ melarang suatu penerbitan setidaknya bisa dirujuk kembali pada tahun 1557 yakni ketika Paus Paul IV menetapkan “indeks buku-buku terlarang’ (The The Index of Prohibited Books). Sebuah ketetapan berisi daftar buku-buku apa yang ‘haram’ dibaca. Itu dikeluarkan dalam tujuan to protect Catholics from controversial ideas.[3]
Namun demikian, ‘pelarangan; rupanya boleh dibilang sebuah bentuk kekerasan yang relatif lembut dan termasuk ‘baru’ dalam sejarah kebencian terhadap buku. Selain pelarangan, sejarah mencatat bahwa ketakutan dan kebencian terhadap buku seringkali lebih banyak mengambil bentuk-bentuk penghancuran yang ekstrim yakni pembakaran! Pembakaran bukan hanya terhadap buku, tetapi juga perpustakaannya bahkan penghancuran terhadap manusia atau para pengarangnya. Fernando Baez mengungkapkan bahwa praktik pembakaran buku sudah dilakukan di Sumeria pada masa Antik yakni antara tahun 4100-3300 SM. Ia menyajikan temuan ekskavasi para antropolog di lantai empat sebuah kuil di kota Uruk. Penemuan itu, menurutnya, mengungkap sisi paradoksal dalam peradaban barat yakni bahwa salah satu penemuan buku paling awal terjadi justru pada tanggal yang sama dengan temuan penghancuran kepada buku pertama kali.[4]
Kekejian terhadap buku yang paling mutkahir yang dicatat dalam sejarah adalah penjarahan yang diikuti dengan pembakaran dan penghancuran National Library of Bagdad, Irak yang terjadi pada hari-hari penjatuhan Saddam antara tanggal 9-10 April 2003. Lebih dari satu juta koleksi hilang dan dibakar. Ini belum termasuk koleksi-koleksi lain yang musnah terbakar di Museum Arkeologi, Arsip Nasional dan kantor-kantor kementrian.[5]
Di Indonesia bentuk-bentuk librisida sudah terjadi semenjak masa kolonial. Banyak penulis menyebut beberapa kejadian penting seperti pelarangan buku Student Hidjo Karya Mas Marco Kartidikromo dan penangkapan sejumlah aktivis pergerakan oleh karena tulisan-tulisan mereka yang menyerang pemerintah kolonial. Setelah tahun 1945, pelarangan buku dipraktikan dalam masa Demokrasi Terpimpin. Beberapa buku yang dilarang di masa itu adalah Hoa Kiau di Indonesia karya Pramudya Ananta Toer dan Demokrasi Kita karya Hatta. Selain itu hampir semua karya Sutan takdir, Idurs dan Mochatar Lubis dilarang. Setelah muncul Manifes Kebudyaaan, hampir semua karya penandatangan Manifes dilarang karena dicap “kontrarevolusioner”. Di saat yang bersamaan, militer juga melarang puisi penyaor kiri, Agam wispi “Matinya Seorang Petani”.
Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi “kebenaran” politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiakan kiri.
Setelah kekuasaan Soeharto jatuh, Indonesia memasuki masa kebebasan; termasuk kebebasan dalam dunia penulisan dan penerbitan. Meski kita tidak bisa memastikan volume atau perbandingan jumlah peredaran buku di masa kini dengan di masa era Soeharto, namun suasana kebebasan itu jelas terasa. Toko-toko buku boleh dibilang bisa menjual karya penulis siapa saja: mulai dari versi bahasa Inggris Mein Kampf, terjemahan das Kapital, hingga propaganda para teroris sekalipun. Di sini – pada mulanya- kepercayaan akan kemampuan berfikir publik dan kebebasan menikmati bacaan muncul. Akan tetapi, suasana kebebasan iu rupanya tidak bertahan lama.
Pada tanggal 19 April 2001 sebuah organisasi yang menamakan diri Aliansi Anti Komunis, sebelum menyatakan akan melakukan sweeping dan membakar semua buku-buku ‘kiri’, menyulut api dan membakar sebuah buku karangan Prof. Magnis berjudul Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme”. Gerakan itu, dilandasi oleh alasan bahwa karena pemerintah saat itu tidak menjalankan TAP MPRS NO XXV Tahun 1966 yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan penyebarluasan Marxisme-Leninisme.[6]
Keganjilan dan pesimisme terhadap kebebasan ‘membaca’ kemudian juga makin dikokohkan pada tangal 19 Juni tahun 2007 yakni ketika Kejaksaan Tinggi Semarang yang diikuti dengan Kejaksaan Tinggi di beberapa daerah menghancurkan ribuan buku Pelajaran Sejarah SMP dan SMA yang mengacu ke Kurikulum 2004.[7] Penghancuran buku-buku sejarah ini dilandasi oleh Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/2007 tanggal 5 Maret 2007. Surat Keputusan Kejaksaan itu sendiri keluar oleh karena adanya keberatan atas dihapuskannya kata PKI dari kebiasaan penyebutan Orde Baru : ‘G.30 S PKI’ .
Dari pelarangan dan pembakaran buku tahun 2007 ini, Kejaksaan Agung kemudian terus bergerak dengan terbitnya keputusan Jaksa Agung RI yang melarang peredaran lima judul buku yakni Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa, Suara Gereja Umat Penderitaan: Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Dharmawan, Mengungkap Misteri Keragaman Agama ditulis oleh Syahruddin Ahmad. Selain itu, penghancuran dan kekejian paling mutakhir tarhadap buku dilakukan pada September 2009 oleh mereka yang menamakan dirinya Front Anti Komunis di Surabaya. Kelompok ini membakar buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono.
Tiga insiden kebencian yang disertai pelarangan dan pemusnahan terhadap buku ini menandai sebuah pembalikan esensial dalam politik kebudayaan Indonesia karena ketiganya berlangsung dalam matriks demokrasi kontemporer. Dari sini kita bisa mengajukan pertanyaan bagaimana dan proses sosial apa yang mendasari praktik pembakaran buku dalam suatu masyarakat demokratis? Apakah pelarangan buku memang merupakan sebuah praktik ‘universal’, sebagai sejenis ‘kemalangan’ yang memang bisa menimpa sebuah buku dalam konteks apa saja. Ataukah ia hanya sejenis penanda dari semacam masalah atau kekuarangan yang akarnya justru ada di dalam demokrasi sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menelusuri secara ringkas beberapa kasus besar pelarangan dan penghancuran buku yang pernah terjadi di dunia untuk kemudian membandingkannya dengan ketiga insiden pelarangan dan perusakan buku yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru.
Momen-Momen Librisida
Kebencian terhadap buku entah yang pertama-tama diekspresikan dalam beragam pelarangan dan sensor, maupun yang ditumpahkan langsung dalam penghancuran perpustakaannya, serta pembakaran buku-buku itu dihadapan umum adalah gejala suatu jaman. Ia menandai proses sosial-politik yang kompleks: kemandegan, konflik serta pergeseran-pergeseran dalam pandangan dunia suatu masyarakat. Berdasarkan pengalaman sejarah, para ahli menunjuk beberapa momen penting di mana gejala penghancuran terhadap buku biasanya muncul. Ragam momen ini menunjukkan suatu persilangan beragam alasan dalam pembakaran buku. Sebuah rejim fundamentalis agama bisa melakukan pemusnahan terhadap buku –misalnya yang dilakukan Taliban di Afganistan, akan tetapi sebuah rejim sekuler di Kamboja era Pol Pot atau kekuatan Komunis dalam Revolusi Kebudayaan juga melakukan kekejian sistematis terhadap buku secara bersama-sama dengan rejim Nazi Hitler.
Dari segi konteks, pembakaran, penghancuran dan pelarangan buku juga bisa dijumpai dalam suatu jaman pergolakan seperti dalam situasi perang dan revolusi juga bisa dijumapi dalam jaman normal. Pertama, perang. Perang biasanya merupakan kejadian pertama yang secara brutal bisa menjadikan buku sebagai korban. Sebagaimana berlangsung semenjak penghancuran Roma yang diikuti dengan pembakaran buku oleh kaum vandal pada tahun 455 sebelum Masehi hingga penghancuran perpustakaan Bagdad di abad ‘kebebasand an posmodernisme’ ini.
Yang kedua, pembakaran dan penyerangan terhadap buku juga seringkali menandai sebuah gerak kemunculan sebuah rejim baru. Pembakaran buku di era Pol Pot di Kamboja serta pelarangan dan pembakaran buku-buku yang berisi ‘adat dan paham tua’ di masa “Revolusi Kebudayaan” merupakan salah satu contoh. Sementara itu, pembakaran buku dan penghancuran perpustakaan sebagaimana yang dilakukan oleh Rejim Fasis Hitler, secara lebih masif melampaui kedua momen ini. Fasisme tidak hanya membakar buku-buku yang mereka benci sebagai penanda dari kemunculan kekuatan dan propaganda jaman baru yang mereka dengungkan, mereka juga secara sengaja menghancurkan perpustakaan dalam selama masa Perang Dunia II sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Perpusataan Inggris di London.
Yang Ketiga adalah penghancuran dan kebencian buku selama masa Revolusi. Salah satu yang bisa kita ambil contoh adalah sensor yang terjadi selama dan sesudah Revolusi Perancis. Darnton mentata bahwa selama tahun 1659 hingga 1789s sekitar seribu orang yang terkait dengan buku dan penerbitan dipenjarakan di Bastille. Beberapa karya Voltiare dibakar di Paris dan Genewa sementara karya Rousseau, Emile, dihujat dan diminta untuk dibakar. Pada puncaknya, di ujung Revolusi Perancis sendiri lebih dari empat juta buku termasuk 25 ribu manuskrip dimusnahkan sebagai bagian dari ‘penghapusan’ kaum klerik setelah Revolusi.[8]
Yang keempat adalah bibliokasisme modern dan kebencian atau penghancuran buku yang secara resmi disponsori oleh negara/pemerintah dalam situasi normal. Sebagaimana kita ketahui, penghancuran dan pelarangan buku yang didasarkan atas argumen orthodoks dengan tuduhan suatu buku memuat ide-ide ‘murtad’ merupakan praktik yang sering dilakukan. Istilah biblioklasisme (biblioclasm) merujuk pada apa yang disebut oleh Rebecca Knuth dengan praktik penghancuran dan pelarangan buku yang didasarkan atas sebuah argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu. Istilah ini sendiri muncul pertama kali pada tahun 1864 dalam sebuah buku mengenai teori agama. Ia digunakan oleh seorang imam Katolik untuk menyebut dan melawan praktik pembakaran manuskrip-manuskrip Aztec dan Maya oleh seorang uskup pada masa penjajahan Spanyol.[9] Praktik semacam ini yang kemudian sedikit banyak memberikan dasar bagi praktik pelarangan buku secara resmi oleh pemerintahan-pemerintahan di barat dan negeri-negeri lain kemudian.[10]
Pada momen semacam ini, pelarangan yang biasanya atau dengan mudah diikuti dengan pembakaran buku muncul sebagai bagian dari suatu kebijakan politik tertentu. Ia tidak muncul dalam sebuah momen perubahan dan gejolak melainkan ada dalam suatu situasi normal.
Pelaku : Kaum Intelektual dan Vandal
Sebagaimana dikemukakan oleh Fishburn bahwa, buku dan perpustakaan dihancurkan serta dilarang bukan semata-mata oleh karena fungsinya di dalam masyarakat, akan tetapi buku, terutama yang muncul pada abad keduapuluh, dianggap musuh oleh karena mengandung gagasan humanisme. Lebih jauh dari itu, menurut Fishburn, dengan penghancuran dan pelarangannya, maka keterkaitan buku dengan produksi intelelektual dan kaum terpelajar termasuk sejarawan terputus.
Dari pandangan Fishburn ini, kita bisa menarik semacam kesimpulan bahwa pelarangan dan penghancuran buku mencerminkan kerja dan pertarungan intelektual dalam masyarakat. Peran kaum intelektual demikian sentral bukan hanya karena posisi mereka yang memungkinkan suatu rejim politik melihat bahaya dari suatu buku terhadap kekuasaanya, akan tetapi, juga oleh karena biasanya setiap rejim yang memiliki niat untuk melarang atau menghancurkan buku memiliki semacam ‘cita-cita” atau fantasi mengenai suatu jenis masyarakat masa depan yang ditopang oleh para intelektualnya. Di Jerman, proyek ‘cuci ras’ Nazi ditopang oleh ‘intelek’ semacam DR. Goebels. DI Indonesia, pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung diprovokasi oleh usulan sejumlah intelektual, penyair pendukung Orde Baru.
Biasanya, para intelek berfungsi menyuguhkan argumen h, biasanya argumen historis, mengenai mengapa buku-buku tertentu harus dilarang dan dimusnahkan, dari situ pembakaran mendapatkan pembenarannya. Di sinilah kemudian, intelek itu bertemu dengan kaum vandal. Vandal melanjutkan pembenaran intelektual ke dalam aksi pembakaran.
Istilah sendiri vandal atau kaum vandal muncul dalam nuansa sebagaimana yang kita pahami saat ini semenjak Revolusi Perancis (1789-1799).[11]
Vandal pada mulanya menunjuk pada sekelompok orang yang di dalam revolusi menghancurkan monumen-monumen, lukisan dan buku-buku serta berbagai dokumen publik sebagai ekspresi kegirangan atau perayaan akan kebebasaan dari despotism. Vandal pada awalnya adalah ampas dari suskes suatu Revolusi. Istilah ini dipopulerkan oleh Abbé Grégoire, seorang anggota Konvensi Nasional yakni badan yang memerintah selama Revolusi) dan menyamakan vandalisme dengan barbarisme. Ia mengingatkan bahwa vandalisme akan menenggelamkan Revolusi dalam kehancuran dan melahirkan kembali tirani.
Dari pengertian ini, vandal pada dasarnya adalah gejala destruksi yang didasari oleh suatu mental kemenangan dan kejayaan. Tidak ada komitmen sosial apaun di dalam vandalisme. Dalam konteks jaman di mana revolusi tidak sedang musim, maka vandalisme tidak lebih dari pelecehan kepada lawan dengan ‘kekerasan telanjang’ dan dominasi.
Keterkaitan kaum vandal, intelektual dan mental dominasi ini secara pas terungkap dalam pikiran Prof. Amminudin Kasdi yang dalam arogansi mengatakan bahwa “ sejarah adalah sejarah mereka yang menang.’ Ini diungkapkan yang bersangkutan setelah secara bersama-sama dengan Forum Anti Komunis Surabaya, membakar buku karangan Soemarsono di depan kantor Harian Jawa Pos.[12]
Api: Dari Librisida ke Genosida
Selain keterkaitan intelektual dan vandal, yang selalu juga muncul dalam peristiwa penghancuran buku adalah api. Mengapa membakar? Seorang wartawan New York Times yang menjadi salahs atu saksi dalam sebuah upacara pembakaran buku dalam masa Nazi, mengutip sebuah pidato seorang pelaku ketika upacara pembakaran buku dimulai:
“Api ini tidak hanya menandai akhir dari suatu era lama namun juga menerangi era yang baru. Belum pernah sebelumnya, orang-orang muda bertindak dalam kebenaran dalam membersihkan kerikil di masa lalu…Yang lama hancur bersama bara, yang baru akan muncul dari cahaya di dalam hati kami…”[13]
Dalam sejarah librisida, Nazi paling dikenal dengan ritual api. Waktu favorit untuk pembakaran biasanya dilakukan pada masa pertengahan musim panas di mana ‘api tradisional’ dimasukkan ke dalam ritual inisiasi untuk penerimaan anggota baru ormas “Remaja Hitelr”. Puncak inisiasi adalah ketika setiap peserta mengelilingi sebuah api unggun sambil secara bersama-sama merapalkan syair yang khas yakni:
We are the fi re, we are the fl ame.
We burn before Germany’s altars.
We carry the drums across the land:
We are the fanfares of the battles.[14]
Dengan demikian, api adalah lambang klasik yang khas yang mencerminkan instrumen atau jembatan kepada penghancuran untuk kemurnian. Apabil dalam tradisi agama-agama lama, api adalah jembatan antara dunia atau materi kini yang perlu disucikan dengan dunia sesudahnya. Maka dalam librisida, api mengkonfirmasi cita-cita suatu masyarakat higienis. Masyarakat yang bersih dari unsur-unsur yang tidak dikehendakinya. Api adalah lambang atau kobaran dari fantasi akan suatu masyarakat masa depan yang utuh.
Dalam praktik fasisme Jerman fantasi masyarakat total higienis ini nampak dalam sebuah proses yang sistematis di mana librisida biasanya dimulai terhadap buku-buku orang Jerman terlebih dahulu yang dianggap bisa menimbulkan ‘masalah’, setelah orang Jerman dilanjutkan kepada buku dari mereka yang berasal dari ras ‘menyimpang’ yakni Yahudi, diteruskan kepada buku dari mereka ‘ras inferior’ yakni orang Polandia dan baru kemudian buku dari ‘tukang melawan’ yakni Inggris. [15]
Dengan demikian librisida adalah bagian dari proses homogenisasi masyarakat, pengahancuran hak-hak individual dan intelektual atas nama sejarah dominan dan fantasi akan masyarakat yang utuh serta higienis. Di titik ini, librisida mencerminkan bahaya atau ancaman kemanusiaan yang lebih serius.
Fantasi akan masyarakat yang higinies dan total (dalam kasus Nazi higienis artinya masyarakat dan Eropa hanya boleh diisi oleh kaum aria, masyarakat mesti steril dan bersih dari ras di luarnya) adalah jembatan ke arah pemusnahan manusia. Di titik ini pandangan lama yang menegaskan bahwa ‘kemampuan dan ketegaan manusia untuk memusnahkan sesamanya pertama-tama tidak disebabkan oleh suatu penyimpangan individual melainkan oleh karena sesuatu yang diyakininya’. Berkaitan dengan librisida, Knuth menemukan adanya hubungan timbal balik antara librsida dan genosida. Menurutnya dalam sejarah buku dengan segera dan secara mudah bisa dikonversi lamngsung kepada manusia, secara antropologis esensi buku bisa secara langsung menunjuk kepada manusia. Konversi, juga didukung dengan fakta-fakta sejarah mengenai kecendrungan manusia untuk memandang dan memperlakukan buku sebagai ‘mahluk”.[16]
Kesimpulan
Melalui penelusuran ringkas sebagaimana disampaikan di atas, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan umum mengenai fenomena librisida. Pertama, librisida baik yang dimulai dengan pelarangan maupun langsung penghancuran pada dasarnya merefleksikan berlangsungnya kontestasi dan pertarungan gagasan. Umumnya antara pandangan humanis yang mengedepankan kebebasan dan keragaman dengan pandangan totalitarian. Kedua, librisida dengan mudah terjadi dalam suatu masyarakat yang dipimpin oleh suatu gagasan politik yang ekstrim. Ketiga, librisida sebagai suatu gejala seringkali juga mencerminkan gejolak dan kemunculan tipe baru dari suatu rejim kekuasaan. Keempat, librisida selalu melibatkan kerjasama kaum intelek-propagandis yang bekerjasama dengan kaum vandal. Kelima, fenomena librisida selalu merupakan alarm dan ancaman bagi kemanusiaan di masa depan.
Penutup: Pelarangan Buku di Masa Demokrasi
Sebagai penutup, kembali kepada pertanyaan pada awal tulisan ini yakni apa yang bisa kita katakan mengenai pelarangan buku di sebuah rejim demokratis.Bagaimana kita memahami sebuah rejim yang di satu sisi mengakui demokrasi dan hak asasi tetapi di sisi lain mensponsori librisida?
Di negara demokratis, pelarangan dan pembakaran buku memang bisa dan sering terjadi, akan tetapi dari kasus yang ada ia biasanya dilakukan oleh suatu kelompok dalam masyarakat (misalnya pelarangan buku Harry Potter oleh sekelompok fanatik di Amerika, atau pelarangan buku 1984 karya Orwell oleh sekelompok fanatik lain dengan alasan konyol bahwa Orwell menyamakan manusia dengan binatang).[17] Yang lebih “unik” adalah pelarangan Mein Kampf di Jerman dan di beberapa negara bekas korban nazi seperti Polandia, Perancis dan Inggris. Dalam kasus Mein Kampf, pelarangan dilakukan dengan argumen bahwa buku itu mempropagandakan superioritas ras yang sama sekali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sebuah masyarakat beradab.[18]
Dalam paham hak asasi, prinsip Siracussa yang diacu oleh PBB, pelarangan buku juga ‘bisa’ dilakukan sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Inti dari sikap di atas adalah ‘pelarangan buku dibolehkan sejauh dalam rangka melindungi hak asasi’ dan dilakukan dalam kerangka negara hukum demokratis’. Dengan itu artinya setiap pelarangan buku mesti diuji dengan pertanyaan: apakah buku yang dimaksud memang berisi ancaman terhadap hak asasi (misalnya menganjurkan penyiksaan, kebencian ras, intolransi dan pelecehan terhadap perempuan). Kedua, pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang ia harus diputuskan di muka pengadilan. Ketiga, si penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di muka pengadilan.
Dalam kasus pelarangan buku di Indonesia belakangan ini, yang kita saksikan adalah kebanyakan buku yang dilarang justru adalah buku yang mempersoalkan praktik hak asasi di Indonesia (dalam hal ini termasuk buku-buku sejarah alternatif mengenai tragedi 65), sementara buku-buku yang menyebarkan kebencian dan intoleransi bebas beredar. Ini menunjukkan semacam cacat atau kekonyolan dalam demokrasi di Indonesia.
Demokrasi mensyaratkan penerimaan akan pluralitas gagasan dan ideologi. Demokrasi hanya ada sebagai demokrasi apabila syarat ini dipenuhi. Di Indonesia, melalui jaksa agung dan api di tangan kaum vandal, demokrasi hendak ditawar dengan suatu praktik pengecualian yang membahayakan yakni ‘demokrasi kami terima tapi pluralisme dan perbedaan ide kami tolak’. Pada hari-hari belakangan pengecualian itu diberlakukan kepada buku-buku dan orang-orang ‘kiri’, di masa depan daftar pengecualian ini akan terus bertambah. Hasil akhirnya adalah, kita akan tiba diujung menemui sebuah demokasi tapi demokrasi yang hanya dihuni oleh satu golongan ideologi dandengan otoritas kebenaran tunggal; demokrasi tanpa demokrasi di dalamnya? Persis seperti ‘demokrasinya Orde Baru’.
Selain itu, lebih jauh lagi, buku pada dasarnya adalah koleksi dari teks. Sementara teks selalu terikat pada konteks. Buku memang abadi akan tetapi pemaknaan masyarakat terhadap buku senantiasa bergeser dan berubah-ubah. Membaca Manifesto Komunis di awal abad duapuluh di saat di mana gelora revolusi masih membara di Eropa tentu akan lain dengan membaca buku yang sama di sebuah kantin universitas tahun 2000an. Pada yang pertama kita membaca dengan sebuah referensi dan cakrawala sebuah praktik perubahan langsung, pada yang kedua kita membaca lebih sebagai seorang arkeologis yang mencoba memahami teks dan konteks pemikiran seorang tokoh yang sama sekali tidak berkaitan lagi dengan tema perubahan langsung jaman kini. Degan kata lain, di hadapan konteks, pada hakaketnya, kita tidak dapat melarang sebuah buku dengan alasan apapun.
Akhirnya, di titik ini buku tidak menunjukkan ide dari suatu jaman, akan tetapi penerimaan terhadap suatu buku –pada saat yang lain- menunjukkan mentalitas masyarakatnya. Suatu masyarakat demokratis yang sehat, terdidik –apalagi dengan embel-embel Pancasilais dan relijius- mestinya bisa lebih santai dan percaya diri dalam menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan. Momen dalam berhadapan dengan sebuah buku, adalah momen di mana politik kebudayaan itu diuji; apakah kebudayaan kita masih dikungkung oleh suatu kebencian fasistik ataukah makin cukup terbuka untuk maju.
[1] Disampaikan sebagai draft untuk materi Kuliah Umum mengenai ‘Pelarangan Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia’, Kerjasama Elsam dan Dewan Kesenian Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010. [2] Saya menggunakan istilah librisida yang diterjemahkan dari konsep Libricide yang bersumber dari Rebbeca Knuth. Di dalam Knuth, librisida menunjukkan adanya suatu praktik yang sistematis dari suatu rejim terhadap buku yang dilakukan dengan maksud pencapaian suatu tujuan-tujuan ideologsi jangka pendek maupun jangka panjang. Librisida juga mengindikasikan adanya kelompok di dalam masyarakatyang hendak mendominasi negara dan memiliki gagasan ekstrim mengenai masyarakat. Lihat dalam Rebecca Knuth,(2003), Libricide : The Regime-sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth. Westport, Connecticut, London: Preager. Hlm. viii.
[3] Paus Paul VI kemudian menghapuskan ketetapan itu 409 tahun kemudian. Meskipun sesudah itu, beragam usaha untuk melarang dan membatasi buku masih terus berlangsung di berbagai belahan dunia. Lihat dalam M.J. Stephey, Cencorship in Modern Times dalam Times Magazine, Monday, Sep. 29, 2008.
[4] Dalam bukunya Baez tidak secara persis menjelaskan bentuk material dari apa yang disebut buku pada masa Sumeria kuno. Ia hanya menyebutkan bahwa buku dalam periode itu berbentuk ‘tablet-tablet’. Dengan melihat sisa-sisa temuan, Baez menduga, penghancuran buku pada masa pertama itu terjadi akibat perang antar kota. Fernando Baez, (2008), A Universal History of the Destruction of Books: From Ancient Sumer to Modern Iraq. New York: Atlas and Co. Hlm. 22-23.
[5] Lihat dalam Baez, A Universal History of the Destruction of Books, hlm. 270-271.
[6] http://www.suarapembaruan.com/news/2001/05/22/utama/ut000/ut000.html
[7] Buku-buku yang dimusnahkan itu antara lain: Kronik Sejarah Kelas 1 SMP terbitan Yudhistira, Manusia Dalam Perkembangan Zaman terbitan Ganeca Exact, Sejarah 2 dan Sejarah 3 Terbitan Erlangga, Sejarah Nasional 1 terbitan Bumi Aksara, Sejarah Nasional dan Umum 1 SMA terbitan Balai Pustaka.
[8] Matthew Fishburn, (2008), Burning Books. New York: Pelgrave. Hlm. 6.
[9] Lihat dalam Rebbeca Knuth, (2006), Burning Books and Leveling Libraries : Extremist Violence and Cultural Destruction . Westport, Connecticut: Praeger. Hlm. 3.
[10] Akan tetapi banyak penulis juga mencatat bahwa praktik pelarangan buku oleh negara atau institusi resmi yang dilakukan pada masa norma pertama kali dilakukan oleh Penasihat Agung Li Shu di Tiongkok pada tahun 213 SM. Pada masa itu Tiongkok di bawah kekuasaan Kaisar Shi Huang Ti.
[11] Rebbeca Knuth, (2006), Burning Books and Leveling Libraries : Extremist Violence and Cultural Destruction . Westport, Connecticut: Praeger. Hlm. 4.
[12] http://indonesiabuku.com/?p=1505
[13] Lihat dalam Matthew Fishburn, (2008), Burning of Books, hlm.35.
[14] Matthew Fisburn, (2008), Burning of Books, hlm. 36.
[15] Lihat dalam Rebecca Knuth ,(2003), Libricide : The Regime-sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth. Westport, Connecticut, London: Preager. Hlm. 235-237.
[16] Rebecca Knuth, (2003), Libricide, hlm. 2
[17] Untuk lengkapnya lihat dalam Dawn. B. Sova, (2006), Literature suppressed on Social Grounds. New York: Fact on File Inc.
[18] Mengenai pelarangan Mein Kampf lihat dalam Nikolas. J. Karolides (2006), Literature Suppressed on Political Ground. New York: Fact on File Inc. Hlm. 332-343.
Sumber: www.indonesiabuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar