Oleh: Ardi Winangun*
Keinginan Joni Malela untuk berjabat tangan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akan pernah kesampaian. Sebab, ketika dirinya antre untuk bisa bersilaturahmi dengan SBY dalam open house Idul Fitri 1431 H di Istana, ajal menjemput dirinya sebelum keinginan itu tercapai.
Open house kali ini sebenarnya oleh Joni Malela dan ribuan orang lain merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu. Sebab, mereka akan bisa bertemu langsung dengan presiden. Entah apa alasannya Joni Malela dan peserta open house lainnya rela berduyun-duyun datang ke istana untuk ikut antre, apakah hanya ingin berjabat tangan langsung dengan presiden, sekadar ingin masuk Istana, ingin curhat, atau entah motif-motif lain, yang penting mereka senang bila diberi ruang untuk bertemu dengan presiden.
Bertemu presiden oleh sebagian masyarakat merupakan sebuah harapan dan keinginan yang diidam-idamkan. Meski penyandang tunanetra, itu bukan halangan bagi Joni Malela untuk tetap berkeinginan bertemu SBY. Lain dengan menteri, pejabat lembaga negara, dan orang-orang di sekitar presiden, bertemu dengan presiden secara langsung adalah sesuatu yang sulit tercapai oleh masyarakat kalangan bawah.
Panjangnya antrean dan tewasnya Joni Malela saat open house menjadi sebuah pelajaran dan petunjuk bagi kita semua bahwa selama ini ada saluran-saluran yang mampet atau buntu untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Selain itu, terkesan sebuah citra bahwa selama ini terbentang jarak yang lebar antara istana dan rakyat jelata. Sehingga, ketika ada sebuah kesempatan bertemu presiden di Istana, rakyat berduyun-duyun pergi ke sana rela antre.
Jauhnya presiden dan Istana dengan rakyat ini bisa terjadi karena. Pertama, Presiden SBY selama ini justru lebih banyak mencurahkan masalah yang dihadapi kepada rakyat. Kita lihat SBY sedikit-sedikit mengeluh. Keluhan SBY yang diekspos media selama ini seolah-olah mengatakan, "Wahai rakyat, aku sedang dizalimi, oleh karena itu aku mengeluh kepadamu." Seringnya SBY curhat kepada rakyat inilah yang membuat SBY lupa akan tugas yang seharusnya menerima aspirasi dari rakyat.
Curhat SBY kepada rakyat itu, kalau dihitung, sangat banyak. Misalnya, ketika ada aksi terorisme pada Juli 2009, SBY saat konferensi pers membawa foto dirinya yang sedang ditembak di wajah dan foto itu diperlihatkan kepada rakyat walau sebenarnya foto itu tidak ada hubungannya dengan masalah terorisme yang terjadi. Kemudian, saat SBY disindir demonstran dengan fable seekor kerbau, dia pun curhat kepada rakyat. Demikian pula saat seorang politikus senior selalu mengkritik SBY dalam setiap acara, dia pun mengeluhkan kritik itu kepada rakyat.
Bila rakyat mendengar apa yang dikeluhkan SBY, mendengarkah SBY ketika ribuan suara rakyat mengeluh saat tabung gas elpiji meledak, NKRI dirongrong Malaysia, rumah-rumah digusur, tarif listrik naik, dan saat TKI dan TKW divonis mati? Sepertinya SBY tidak mendengar keluhan itu. Karena SBY tidak mendengar itulah, rakyat akan "berteriak" secara langsung saat bertemu di Istana.
Kedua, mampetnya saluran kepada presiden bisa jadi disebabkan institusi-institusi yang seharusnya membantu dirinya tidak berfungsi secara maksimal. Institusi yang membantu presiden, kementerian, sepertinya lebih cenderung mengurus diri sendiri daripada mengurus rakyat. Para menteri dari beragam partai politik selama ini lebih disibukkan dengan urusan dengan partai politiknya. Mereka mengurusi rakyat, tapi rakyat yang berada di sekitar kekuasaan dan rakyat yang bernaung di bawah bendera partai politiknya.
Bahkan, yang lebih menyakitkan. Ada pembantu presiden, yakni menteri, yang kasus perselingkuhannya terbongkar di publik. Ini suatu aib yang memalukan. Seharusnya mereka sibuk mengurus rakyat tapi lebih sibuk berselingkuh. Nah, karena menteri-menteri itu selingkuh, urusan rakyat tidak dikerjakan. Waktu-waktu yang seharusnya digunakan menteri itu untuk bekerja dipakai untuk selingkuh.
Ketiga, jarak fisik yang begitu jauh antara presiden dan rakyat bisa terjadi karena pola pengamanan yang diterapkan Paspampres selama ini terlalu ketat, kaku, tidak ramah, dan arogan. Dalam kondisi demikian, seolah-olah rakyat diposisikan sebagai ancaman bagi keselamatan presiden. Presiden harus diamankan dari kerumunan massa dan rakyat harus disingkirkan dari jarak dekat dengan presiden.
Jangankan dari kerumunan orang dewasa, dari kerumunan anak kecil pun Paspampres bertindak arogan. Lihat saja saat Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli 2010. Satu bocah peserta HAN, Clara, awalnya merasakan gembira karena bisa berjabat tangan dengan SBY saat acara itu. Namun, kegembiraan Clara hanya sebentar karena ada Paspampres yang menoyor gadis kecil itu. Alasannya, Paspampres ingin membuka jalan bagi SBY. Akibat peristiwa itu, disebut Clara shock, trauma, dan menangis. Tidak hanya kasus Clara dari kakunya acara protokoler SBY. Disebut dalam acara itu anak-anak batal membacakan delapan butir hasil Kongres Anak Indonesia 19-24 Juli. Pembatalan itu disebabkan keterbatasan waktu presiden.
Keempat, rakyat rela antre panjang saat open house dengan presiden menunjukkan bahwa rakyat lebih percaya kepada pemerintah daripada kepada lembaga legislatif, DPR. Adakah antrean panjang di Senayan? Sepertinya tidak ada. Rakyat semakin jengkel dengan anggota DPR sehingga tidak mau lagi mencurahkan segala permasalahannya kepada wakil rakyat itu.
Meski Presiden Soekarno dan Soeharto dikatakan otoriter, kedua presiden itu cukup familier dengan rakyat. Kefamilieran Soekarno itu terlihat dalam foto-foto dirinya yang begitu dekat dengan rakyat. Dalam salah satu foto terlihat Soekarno dikerumuni rakyat tanpa Paspampres. Foto yang lain menggambarkan juga Soekarno bersama anak-anak yang semuanya tertawa ceria. Meski foto-foto Soeharto tidak sefamilier Soekarno, Soeharto sering mengadakan sambung rasa. Dari acara itulah semua keluhan rakyat didengar dan diserap oleh Soeharto. (*)
*) Ardi Winangun, pengurus Presidium Nasional Masika ICMI
Sumber www.jawapos.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar