Pages - Menu

20 September 2010

Tentara Dilarang Menulis


Oleh Abdul Walid*

Bila Anda bercita-cita menjadi tentara, jangan berharap bisa menulis opini dengan kritis! Bila ingin menulis, menulislah sesuai dengan kemauan atasan! Tapi, jangan anggap itu adalah tindakan pecundang!

Ungkapan tersebut bukanlah sebuah jargon di kalangan militer kita. Kalimat itu juga bukan ancaman bagi tentara yang ingin menjadi penulis. Ia juga tidak termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Pun, tidak ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tapi, itulah kenyataan yang dialami Adjie Suradji, prajurit aktif TNI berpangkat kolonel. Karena menulis di salah satu koran nasional bernada kritik terhadap kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia terancam sanksi. Goresan penanya yang berumbul Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan dianggap melanggar disiplin dan kode etik perwira karena menyudutkan Presiden SBY selaku atasannya di TNI (walaupun apa yang ditulisnya adalah kenyataan).

Dalam rambu-rambu militer, bawahan tidak boleh menulis ''aib'' atasan, apalagi mengkritik (tidak mencela) di media massa -di depan publik. Seorang prajurit TNI harus bersikap sam'an wa tha'atan terhadap atasannya, apa pun itu, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun, suka atau tidak suka, termasuk dalam menulis. Anda tentu bertanya, di mana roh kebebasan berekspresi yang diklaim sebagai dasar sistem negara kita?

Pertanyaan itu barangkali sudah dijawab oleh Ruhut Sitompul, politikus asal Partai Demokrat yang dikenal sangat loyal terhadap SBY. Larangan menulis aib atasan (baca: mengkritik atasan dalam tubuh TNI), kata dia, tidak berkaitan dengan demokrasi. Menurut Ruhut, anggota TNI dan Polri tidak bisa disamakan dengan masyarakat umum karena mereka terikat dengan Sapta Marga dan sumpah prajurit.

Terlepas dari subjektivitas dalih Ruhut, ada beberapa pelajaran yang bisa ditangkap dari kasus Adjie Suradji. Pertama, bangsa Indonesia -khususnya kalangan elite- belum mampu menerjemahkan dan membedakan antara bahasa verbal dan bahasa tulisan. Dalam tradisi dunia akademik, bahasa verbal tidak dikenal dengan ''perdebatan wacana''. Perdebatan dengan bahasa verbal, adu kriktik, acapkali mengedepankan emosi dan urat leher dan tidak mencerminkan peradaban modern.

Kebudayaan lisan yang dominan telah lama tertelan zaman sejak masa Kerajaan Mali Kuno di Afrika yang menganggap ajaran keilmuan mulai mati di tulisan. Namun, lambat laun, peradaban lisan di Kerajaan Mali tergusur oleh peradaban tulisan hingga era kita hari ini. Penyampaian ajaran, kritik melalui lisan dianggap lebih rendah jika dibandingkan dengan melalui ajaran tulisan. Jadi, kritik dengan tulisan selayaknya tidak bisa disamakan dengan kritik secara verbal (lisan).

Tulisan adalah ladang gagasan ilmiah yang mencerminkan keilmiahan dan karakter modern seseorang. Sebaliknya, orang yang ''membalas'' tulisan dengan lisan sebenarnya sedang berupaya ''hijrah'' ke peradaban klasik bernuansa hukum rimba.

Di negara lain, kasus yang dialami Adjie Suradji memang pernah terjadi. Di Angkatan Darat Amerika Serikat, misalnya, Jenderal Stanley McCrystal pernah menjelek-jelekkan Presiden Barack Obama saat bertugas di Afghanistan yang mengakibatkan dia dicopot dari jabatannya. Namun, harus diingat, Stanley McCrystal tidak mengkritik Barack Obama dengan tulisan, melainkan dengan lisan.

Kedua, di negara kita, kebebasan menulis yang dipayungi demokrasi tampaknya mengenal pengeculiaan. Seakan-akan kegiatan menulis dengan nalar kritis membangun hanya diperuntukkan kaum sipil, tidak bagi militer. Dalam dunia militer kita, trialektika (dialog tiga arah) antara penulis, teks, dan pembaca terhambat oleh alasan klasik, disiplin, dan kode etik perwira.

Kita perlu menyoal, apa sih bedanya antara tentara dan sipil bila yang ditulis adalah sebuah fakta dan kebenaran? SBY seharusnya merasa beruntung karena memiliki bawahan yang mau mengoreksi, menelaah, dan menyumbang gagasan terhadap kepemimpinannya melalui tulisan, bukan sekadar dengan celometan.

Ketiga, tidak adanya kebebasan menulis di internal militer menjadi penyebab miskinnya kajian keilmuan, sejarah, wacana dalam dunia militer kita dalam bentuk tulisan (buku). Itu sekaligus mengakibatkan minimnya penulis yang lahir dari kalangan militer. Akibatnya, pengetahuan masyarakat kita tentang kemiliteran sangat dangkal.

Di negara lain, seperti Amerika Serikat, buku-buku tentang militer sangat marak. Misalnya, Citizen Soldier dan Band of Brothers yang keduanya ditulis E. Stephen Ambrose. Ada juga buku berjudul Atlas of American Military History karya Stuart Murray. Bandingkan dengan di sini, nyaris tak pernah muncul buku fenomenal tentang militer ataupun karya-karya yang ditulis oleh militer. Sebab, tentara di sini ''dilarang'' menulis. (*)

*) Abdul Waid, mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta
Sumber : Jawa Pos, 19 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar