Pages - Menu

01 September 2010

Problem Tapal Batas Indonesia-Malaysia


Oleh Saru Arifin

TENSI hubungan Indonesia-Malaysia yang terekam media menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Setidaknya, hal itu dipicu pernyataan Menlu Malaysia yang menolak meminta maaf atas insiden penangkapan petugas DKP beberapa minggu lalu. Sikap Menlu Malaysia tersebut dipersepsikan oleh publik Indonesia sebagai suatu arogansi yang bersifat menantang. Karena itu, hal tersebut malah memicu timbulnya berbagai reaksi masyarakat dalam bentuk demonstrasi maupun kampanye sentimen negatif terhadap negeri jiran itu.

Jika dirunut berdasar sejarah atau konteks sosial ekonomi yang dikenal dengan istilah Malindo, tampaknya hubungan Indonesia-Malaysia selalu mengalami pasang-surut, bahkan cenderung tidak menemukan fase yang harmonis sebagai bangsa serumpun. Empat prinsip dalam hubungan bertetangga, yakni saling mengambil manfaat (mutual benefit), saling menjunjung pengertian (mutual understanding), saling menghormati (mutual respect), dan bertetangga dengan baik (good neighboring countries/neighborhood), tidak lagi berjalan efektif.

Dalam konteks itu tentu ada aral atau duri sandungan sehingga idealisme hubungan bertetangga dua bangsa serumpun tersebut, yang berlandasan empat prinsip itu, tidak bisa ditegakkan. Berdasar penelitian penulis di wilayah perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar), ada dua persoalan mendasar yang menjadi aral bagi harmonisasi hubungan dua negara tersebut. Yaitu, masalah perbatasan dan TKI.

Persoalan Batas Negara

Beban masalah perbatasan Indonesia dengan Malaysia sejak republik ini berdiri sampai saat ini masih terdapat di lima titik. Satu titik terdapat di wilayah perbatasan darat antara Kalbar dan Sarawak, Malaysia Timur. Empat titik persoalan tapal batas lain terdapat di laut, yaitu Selat Malaka, Perairan Natuna, perairan Tanjung Datu (Kalbar), dan blok ambalat.

Secara intensif, dua negara itu telah berupaya menyelesaikan perundingan tapal batas tersebut dalam kurun waktu yang sangat panjang (sekitar 50-an tahun). Pembicaraan tapal batas terhenti pada 1963-an. Ketika itu terjadi konfrontasi di antara dua negara.

Mengapa pembicaraan perbatasan tersebut berjalan sedemikian lama? Pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Namun, lazimnya pembicaraan mengenai perbatasan di berbagai negara lain, kendala yang paling klasik adalah persoalan kepentingan setiap negara bertetangga yang dibungkus jubah kedaulatan. Jika sudah menyangkut hal itu, biasanya setiap negara menunjukkan harga mati.

Jawaban lain atas kerumitan penyelesaian sengketa perbatasan negara terdapat pada penggunaan peta geografis yang diwariskan oleh penjajah masing-masing, yang diinterpretasikan secara berbeda. Dalam kasus perbatasan Indonesia-Malaysia yang dijajah dua negara (Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia), sebenarnya telah ada payung hukum yang sama. Yaitu, tiga perjanjian perbatasan yang dibuat dua pemerintah kolonial tersebut pada 1891, 1915, dan 1918.

Produk hukum perjanjian perbatasan itu berisi titik koordinat, lokasi, serta tanda perbatasan dua negara. Secara teoretis, sebenarnya perjanjian tersebut telah memberikan gambaran final mengenai perbatasan dua negara itu. Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa Belanda memasang patok-patok perbatasan negara, khususnya perbatasan darat (Kalimantan dengan Sarawak dan Sabah) secara manual. Untuk keperluan tersebut, petugas pemerintah Belanda berjalan kaki mulai ujung timur Kaltim sampai ujung barat Kalbar selama delapan tahun. Namun, mengapa persoalan tapal batas masih membebani dua negara itu sampai kini?

Kelemahan Diplomasi

Berdasar pengalaman seorang aparat militer yang diwawancarai penulis di Kalbar, yang telah menapaktilasi titik perbatasan buatan pemerintah Belanda dengan berjalan kaki mulai Kaltim sampai Kalbar dalam kurun waktu yang lebih pendek, yakni empat tahun, banyak sekali perubahan geografis di sepanjang perbatasan Kalimantan. Penyebab perubahan tersebut adalah faktor alam maupun kesengajaan perusakan oleh pihak-pihak tertentu. Kondisi itulah yang memicu selisih pendapat di antara dua negara. Sampai kini, masih ada setidaknya sebelas perselisihan di perbatasan Kalimantan, satu persoalan di Kaltim, dan sepuluh masalah lain di Kalbar.

Dalam konteks itu, yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah menyiapkan ahli-ahli diplomasi yang tidak hanya mengetahui hukum internasional. Pemerintah negeri ini juga harus menyiapkan ahli-ahli lain yang terkait dengan masalah tersebut dan melengkapi mereka dengan bukti-bukti yuridis, sejarah, dan fisik. Sebab, dalam pengalaman perundingan perbatasan, khususnya di Kalbar, Malaysia selalu ngotot membuat peta perbatasan secara sepihak. Sementara itu, dalam beberapa segmen yang sudah dituangkan dalam MoU, Indonesia kadang ceroboh. Karena itu, ketika diminta merevisi MoU, Malaysia menolak, khususnya di sepuluh titik di Kalbar. Dengan demikian, pembicaraan perbatasan oleh dua negara tersebut stagnan. Namun, sekali lagi, ironisnya, pada daerah-daerah "sengketa" tersebut Malaysia secara aktif dan efektif melakukan tindakan-tindakan kedaulatan. Misalnya, penangkapan aparat DKP yang diklaim di wilayah mereka.

Kasus tersebut setidaknya memberikan dua pelajaran penting bagi Indonesia. Pertama, dalam mengklaim suatu batas wilayah negara yang diyakini benar, sebaiknya Indonesia bersikap tegas dan menggunakan prosedur hukum internasional dengan mendorong TNI sebagai pengawal di garda depan. Pengalaman berharga dari sikap tegas membela klaim perbatasan negara terlihat pada kasus perebutan Kuil Preahvihear antara Kamboja dan Thailand yang sama-sama mematok harga mati. Dalam konteks itu, yang perlu dilihat bukan kekerasan, melainkan sikap tegas dua negara tersebut dalam mempertahankan prinsip kedaulatan.

Kedua, pada wilayah yang diklaim sebagai bagian teritorialnya, meskipun masih mengandung perselisihan, tindakan-tindakan efektif dalam melaksanakan kedaulatan harus tetap ditegakkan sambil menunggu perundingan berhasil. Dalam konteks itu, pengalaman atas sengketa Sipadan dan Ligitan menjadi argumentasi yang efektif bagi Malaysia di Mahkamah Internasional, yakni effective occupation. Itulah gambaran singkat rumitnya penyelesaian tapal batas negara. (*)

*) Saru Arifin, peneliti perbatasan dan staf pengajar hukum internasional

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Sumber : www.jawapos.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar